VICKIISME DARI MASA KE MASA. Hari-hari ini di Twitter orang ramai - TopicsExpress



          

VICKIISME DARI MASA KE MASA. Hari-hari ini di Twitter orang ramai menertawakan sesuatu yang pantas ditertawakan: bagaimana seorang bernama Vicky Prasetyo berbicara dengan kata-kata asing yang kedengaran keren tapi salah tempat dan salah pakai. Juga dengan kalimat yang jelas maksudnya. Ada orang yang menganggap sebuah isi pikiran yang "dalam" dicerminkan oleh kalimat-kalimat yang sulit dipahami. Memang, soal-soal yang kompleks dan dalam (misalnya filsafat, matematika, dan lain-lain) tidak mudah segera dipahami. Tiap kalimat harus diurai, dan tenaga untuk itu tak sedikit. Diperlukan pembaca yang punya daya analitis yang kuat dan siap bersusah-payah. Tapi rupanya ada yang ingin agar tulisannya terkesan dalam dan orisinal dengan menggunakan kalimat dan istilah yang seperti hutan belukar yang sulit ditembus. Vickiisme jenis ini sejak lama ada. Bukan di kalangan pejabat, tapi di kalangan seniman yang menulis. Coba telaah kembali majalah-majalah kebudayaan Zenith, Seni, dan lain-lain dari tahun 1950-an. Saya pernah tak paham sampai bertahun-tahun sebuah esei Sitor Situmorang di majalah Seni dan beberapa esei Wiratmo Sukito dalam majalah Indonesia. Di tahun yang lebih belakangan -- seingat saya tahun 1980-an -- ada tulisan-tulisan (misalnya di Kompas) oleh satu dua orang penulis yang ya-oloh ruwetnya. Tapi tidak ada yang berani mengritik atau mencela; takut disangka bodoh. Hanya sekali tampil sikap yang terus terang. Seorang pastur diminta menulis pengantar sebuah buku dari seorang penulis yang terkenal "ruwet" karyanya. Sang pastur dengan terus terang menulis, ia tak paham apa yang mau diutarakan sang penulis.. Tapi Vickiisme ini menjalar ke kalangan lain. Saya ingat padfa suatu hari di akhir 1970-an atau awal 1980-an Jenderal Ali Moertopo mengumpulkan para seniman dan "budayawan" (kata ini juga tidak jelas maksudnya). Kami didatangkan ke salah satu dari Pulau Seribu. Di sana, dengan panjang lebar dan dengan kalimat yang tidak jelas arahnya, tanpa teks, Ali Moertopo berbicara tentang "aquakultur". Kami mencoba menebak-nebak. Tampaknya ia ingin mengaitkan kebudayaan dengan kelautan (maklum, tempat ceramah itu kami dikelilingi laut). Seorang yang hadir berbisik kepada saya, tapi tidak ada yang berani memberi tahu sang jenderal, bahwa "aquakultur" itu tak ada hubungannya dengan kebudayaan, tapi dengan "seafarming". "Kultur" di situ adalah kata yang juga dipakai dalam "hortikultur".... Jadi: kami tak paham apa yang hendak dikatakan sang jenderal, karena ia sendiri juga tidak paham. Vickiisme adalah gejala dari tidak bekerjanya daya analitik dalam berbahasa, tetapi lebih dari itu, juga gejala dari sebuah kecemasan: cemas untuk ketahuan bahwa si penulis atau si pembicara mirip tong kosing dengan bunyi yang rumit. ***
Posted on: Wed, 11 Sep 2013 11:58:22 +0000

Trending Topics



="sttext" style="margin-left:0px; min-height:30px;"> Clearance Sale Oopsy daisy Eric Carle, ?s The Very Hungry
>
The brief news story below reports that the terrorists associated

Recently Viewed Topics




© 2015