Waspadalah manhaj shahafi penyebab perselisihan di antara kaum - TopicsExpress



          

Waspadalah manhaj shahafi penyebab perselisihan di antara kaum muslim Pengakuan yang sering mereka lontarkan yang dapat membuat orang awam terperosok mengikuti mereka adalah bahwa mereka beragama mengikuti pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) Permasalahannya adalah bagaimana mereka mengetahui pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) sedangkan mereka tentu tidak lagi bertemu dengan para Sahabat. Apakah ketika mereka membaca hadits maka dapat dikatakan mereka telah mengetahui pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) ? Mereka berijtihad dan beristinbat dengan pendapat mereka terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf). Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad dan istinbat mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad dan istinbat mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat. Jika telah memfitnah para Sahabat maka bersiap-siaplah akan menempati tempat duduknya di neraka Jadi pada kenyataannya “ajakan” untuk mengikuti pemahaman para Sahabat, jalannya para Sahabat atau manhaj Sahabat (manhaj Salaf) adalah ajakan untuk “kembali kepada pada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri. Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2013/09/18/dari-lisan-ke-lisan/ bahwa belajar dari buku dengan bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi , bertemu atau mengaji dengan guru. Pada hakikatnya ruh ilmuNya mengalir diantara lisan ke lisan para ulama yang sholeh secara turun temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat. Begitu juga mendengarkan kaset atau melihat dan mendengarkan siaran televisi atau rekaman video juga tidak termasuk bertalaqqi karena tidak terjadi interaksi sehingga sama dengan berguru dengan buku Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad) Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ? Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10) Salah satu ulama yang memelopori mendalami ilmu agama bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri adalah Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang dapat kita ketahui dari biografinya seperti contoh informasi dari zakiaassyifa.wordpress/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/ ***** awal kutipan ****** Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri. ***** akhir kutipan ****** Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu? Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka! Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana? Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok/ sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari) Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36:“Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.” Pada umumnya orang-orang yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak, memahaminya dari sudut arti bahasa dan istilah saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2013/07/24/arti-bahasa-saja Contohnya kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits. Tentunya pedagang Arab tersebut tidak akan berani berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja. Diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan sesat dan menyesatkan. Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan ***** awal kutipan ***** “rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya. Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung didalamnya. Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan” ***** akhir kutipan ***** Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98). Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dan pada umumnya memahaminya dari sudut arti bahasa saja atau memahaminya selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) kemungkinan besar akan berakibat negative seperti, 1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2013/07/06/shalat-yang-fasidah/ 2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2013/06/24/mengaku-hanabila/ Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-FatawaAl-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Haditsitu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)” Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu: “Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihiwasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandungnasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam haditsjuga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih sepertihadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir (makna dzahir) daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202) Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya sehingga beliau wafat di penjara sebagaimanayang dapat diketahui dalam tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2012/04/13/ke-langit-dunia atau pada mutiarazuhud.wordpress/2013/01/07/arsy-tidak-kosong/ Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat. Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203) Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada mutiarazuhud.files.wordpress/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf Sebagaimana tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 diterangkan sebagai berikut: ****** awal kutipan ****** Sebagian lagi ada golongan yang mengikuti kepada pendapat Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho. Mereka mengikuti kepada perbuatan bid’ah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi. Golongan ini mengharamkan apa yang telah disepakati oleh mayoritas umat Islam untuk dilaksanakan sebagai sunnah Nabi, seperti berziarah ke makam Rasulullah. Mereka menolak semua hal yang telah disebutkan di atas dan hal-hal lainnya. Ibnu Taimiyah dalam kitab “Fatawi”-nya berpendapat: Apabila seseorang melakukan ziarah ke makam Rasulullah, karena yakin bahwa ziarah itu perbuatan taat, ziarah yang dianggapnya menurut Ibnu Taimiyah adalah haram yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka ziarahnya adalah perbuatan yang haram secara pasti. Menurut Al-’Allamah Syeikh Muhammad Bahit Al-Hanafi Al-Muthi’i dalam kitabnya yang bernama “Tathirul Fu’adi min Danasil I’tiqod” (Mensucikan Hati Dari Keyakinan Yang Kotor), ia berpendapat: “Bahwa golongan ini merupakan cobaan besar bagi umat Islam yang salaf (tempo dulu) maupun yang kholaf (modern)”. Mereka adalah aib, pemecah belah umat, dan sebagai organ yang rusak yang harus dipotong, sehingga tidak menular ke organ lainnya. Ia bagaikan penyakit kusta yang harus dihindari. Mereka adalah golongan menjadikan agama sebagai permainan. Mereka mencaci maki ulama salaf dan ulama kholaf, mereka sambil berkata: Mereka semuanya tidak ma’shum (tidak terpelihara dari perbuatan dosa), maka tidak layak untuk mengikutinya dan tidak ada bedanya yang hidup dan yang mati. Golongan tersebut mendiskreditkan ulama dan menciptakan persoalan-persoalan syubhat, kemudian menyebarkannya secara luas ke masyarakat awam supaya orang awam tidak mengerti terhadap kekuarangan yang ada pada golongan tersebut. Tujuan mereka… adalah menebar permusuhan dan kebencian. Mereka berkeliling di atas muka bumi untuk menciptakan kerusakan. Mereka berkata bohong tentang Allah, padahal mereka tahu tentang hal yang sebenarnya. Mereka berdalih sedang melakukan “amar ma’ruf nahyi munkar” (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran). Mereka mengajak manusia mengikuti agama yang mereka jalankan dan menjauhkan bid’ah (menurut mereka). Padahal, Allah tahu bahwa mereka adalah para pendusta. Menurut pendapat saya, sangat mungkin mereka adalah para pelaku bid’ah yang selalu mengikuti hawa nafsu mereka. Imam Qadhi ‘Iyadh berkata: Kehancuran terbesar dalam agama sampai urusan dunia adalah karena ulah perbuatan mereka dengan menimbulkan permusuhan antar umat Islam, yang menyebabkan mereka terperangkap dalam masalah urusan dunia. ****** akhir kutipan ****** Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada hanifsalleh.blogspot/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html ***** awal kutipan ***** Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu. Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah. ***** akhir kutipan ***** Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada rumahfiqih/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masasalaf, alias di masa lalu. Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah RasulullahSAW wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahirtahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-ImamAhmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf? Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf. Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita. Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya. Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab. Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja. Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya. Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri. Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang. ***** akhir kutipan ***** Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“. Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya). Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya. Pada hakikatnya, sebagian besar yang disampaikan oleh para perawi hadits adalah perkataan Rasulullah bukan hasil pemahaman atau ijtihad dan istinbat dari para perawi hadits. Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan masa sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.” Jadi pada kenyataannya slogan manhaj salaf atau mazhab salaf atau “kembali kepada Al Qur’an dan as Sunnah” adalah ajakan untuk mendalami ilmu agama bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri yang akan menimbulkan perselisihan dan bahkan berujung saling bunuh-membunuh. Konflik-konflik yang terjadi di negara kaum muslim berada seperti Somalia, Afghanistan, Irak, Libya, Pakistan, Mesir dan lain lain, pada kenyataanya disebabkan mereka yang memaksakan syariat Islam berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah namun bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) atau memahaminya berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Hal ini telah disampaikan dalam tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2013/07/29/solusi-atasi-konflik/ Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam. Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran negara tersebut terjadi diakibatkan orang-orang yang memaksakan syariat Islam bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya masing masing sehingga timbul perselisihan di antara faksi. Sebagaimana diketahui, setelah Syarif diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009 lalu, faksi pejuang Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan penentang. Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun), Harakah Tajammu’ Al Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi menyatakan dukungan kepada Syarif. Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami. Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintahan transisi menegaskan, “Islam adalah dasar dalam setiap gerak pemerintah Somalia.” Akan tetapi Syeikh Syarif menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya masih jauh dari konsep Islam ideal. Agama Islam terdiri dari tiga pokok yakni Tentang Islam diuraikan dalam ilmu fiqih Tentang Iman diuraikan dalam akidah atau i’tiqod atau ushuluddin Tentang Ihsan diuraikan dalam tasawuf atau akhlak Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11) Dalam masalah fiqih , kaum muslim tinggal mengikuti apa yang telah dikerjakan atau dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat. Tidak perlu membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak memiliki kompetensi sebagai ahli istidlal akan sesat dan menyesatkan. Dalam masalah i’tiqod atau ushuluddin kita tinggal mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) dan para pengikutnya. Dalam masalah i’tiqod di antara mazhab yang empat tidak ada perbedaan karena i’tiqod bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah. Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2013/09/09/ibadah-tidak-diterima/ atau pada mutiarazuhud.wordpress/2013/09/16/di-puncak-gunung/ Dalam masalah akhlak tinggal mengikuti para ulama tasawuf sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan pada mutiarazuhud.wordpress/2013/07/29/bertambah-ilmu-namun/ Sedangkan dalam masalah kekinian yang berhubungan dengan agama maka kita tinggal mentaati ulil amri setempat. Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih karena berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil amri setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59) Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas. Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara. Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah. Syarat-syarat atau kompentensi sehingga termasuk ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut, ***** awal kutipan ***** a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’). b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya. c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah. d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah. e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah. Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya. Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu: - Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit; - Imam Malik bin Anas; - Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan - Imam Ahmad bin Hanbal. Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini. Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12). Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya. Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu. Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid. Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain ***** akhir kutipan ***** Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat. Para pakar fiqih yang dipimpin seorang mufti agung lah yang dapat “berkomunikasi” dengan Allah Azza wa Jalla melalui ayat-ayat qauliyah (Al Qur’an) maupun melalui ayat-ayat kauniyah atas kejadian, peristiwa atau segala apa yang telah ditampakan oleh Allah Azza wa Jalla yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya Firman Allah ta’ala yang artinya “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53) “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran [3]:191). “Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101). Para pakar fiqih yang dipimpin seorang mufti agung adalah termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah Azza wa Jalla sehingga mereka dapat mendengar kalam Allah atau petunjukNya tidak melalui alat pendengaran (telinga) namun melalui hati yang disebut dengan ilham maupun firasat Firman Allah ta’ala yang artinya maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 ) “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10) Sedangkan firasat, yakni lintasan pikiran yang terbit dari kekuatan iman dan kedekatan dengan Allah. Dengannya seseorang bisa menyaksikan apa yang tersembunyi dari mata kepala. Sejenis dengannya adalah karamah, yaitu tampilnya hal-hal ajaib dari seseorang yang bukan Nabi yang muncul begitu saja sesuai kehendak-Nya. Berikut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Habib Munzir tentang bagaimana contoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendengar kalam Allah (petunjukNya) ****** awal kutipan ***** Ketika diantara wanita itu terdapat Juwairiyah, putri kepala Qabilah Bani Musthaliq, maka Rasul shallallahu alaihi wassalam tidak tega menjadikan putri Raja Qabilah itu sebagai budak. Rasul shallallahu alaihi wassalam memerintahkan agar menahan Juwairiyah untuk tidak diperbudak, maka ayahnya datang untuk memohon pada Rasul shallallahu alaihi wassalam agar putrinya dibebaskan, ia membawa uang dan dua ekor unta untuk menebus putrinya, namun ditengah jalan ia ragu, dan membatalkan dua ekor untanya dan ditinggal di tengah jalan lalu menghadap Rasul shallallahu alaihi wassalam Ketika sampai pada Rasul shallallahu alaihi wassalam maka ia berkata : wahai Muhammad, aku ingin menebus putriku dengan uang ini, maka Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda : kau kemanakan dua ekor unta yang sudah kau niatkan juga untuk menebusnya?, maka Harits (ayah Juwairiyah) kaget, maka ia bersyahadat dan masuk islam. ****** akhir kutipan ****** Begitupula diceritakan bahwa Imam Syafi’i dan Muhammad bin al-Hasan pernah melihat seorang laki-laki. Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya lelaki itu adalah seorang tukang kayu.” Sedangkan Muhammad bin al-Hasan berkata, “Sesungguhnya lelaki itu adalah seorang pandai besi.” Lantas keduanya bertanya kepada lelaki tersebut tentang profesinya. Lalu di menjawab, “Dulu saya seorang pandai besi dan saya sekarang tukang kayu.” Indikator ulama yang baik adalah ulama yang dengan ilmu dan amalnya menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan karena karunia hidayah dari Allah Azza wa Jalla sehingga selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11) Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28) Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad) Firman Allah ta’ala yang artinya, “Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4) “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21) Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya. Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)” Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“ Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari) Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati” Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.” Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki. Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya. Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat. Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar. Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Firman Allah ta’ala yang artinya, shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18) shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171) “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46) “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72) Ulama yang baik adalah ulama yang dengan ilmu dan amalnya menjadikannya muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah sehingga menjadi ulama yang dekat dengan Allah dan dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau ulama yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) di sisiNya dan akan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Firman Allah ta’ala yang artinya, ”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21) “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47) “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13) “Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7) “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69) Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan atau disucikan atau dipelihara oleh Allah ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh). Mereka adalah para kekasih Allah atau wali Allah Hubungan yang tercipta antara Allah ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi. Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda. Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni ‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi), ‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali), ‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya). Kesimpulannya jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jika mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia. Jadi Imam Mazhab yang empat, para ulama yang sholeh yang mengikuti mereka termasuk para ulama yang sholeh dari kalangan Habib atau ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam memang tidak maksum namun mereka boleh saja mendapatkan ishmah para wali sesuai dengan manzilah (maqom / derajat) atau kedekatan mereka dengan Allah Azza wa Jalla. Berikut contoh pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kekasihNya Imam asy-Syafi’i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”. Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata), ternyata dikarenakan beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya. ‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syûra [42]: 30)- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147) Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.. Sedangkan ulama su’u adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak. Wallahu alam
Posted on: Thu, 07 Nov 2013 14:08:46 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015