YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS ! Syeikh Abul Qosim - TopicsExpress



          

YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS ! Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatang­kan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 54). Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r. Bukhari). Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi Saw, dari Jibril as. yang memberitahukan bahwa Tuhannya Allah Swt telah berfirman: “Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.). “Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-­ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Mardawieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.). Syeikh Abdul Qadir al JilaniHari Ahad pagi, 13 Jumadil Akhir 545 H di zawiyahnya. Siapa yang melihat orang yang mencintai Allah Azza wa-Jalla maka orang itu telah melihat orang yang melihat Allah Azza wa-Jalla dengan hatinya dan masuk dengan rahasia hakikat jiwanya. Tuhan kita Azza wa-Jalla adalah yang Maujud dan Terlilihat. Nabi SAW bersabda:“Kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat matahari dan bulan, sama sekali tidak bisa disembunyikan penglihatan dalam pandangannya.”Sekarang (di dunia) Allah dilihat melalui matahati, sedangkan besok (di akhirat) dengan mata kepala. “Tidak ada seuatu apa pun yang menyerupainNya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”Para pecinta senantiasa ridlo hanya kepadaNya, bukan lainNya. Mereka memohon pertolongan hanya kepadaNya dan membatasi yang lainNya. Kepedihan faqir adalah kemanisan bagi mereka, lebih pada meraih RidloNya, mendapatkan nikmat dariNya. Kecukupan mereka pada kefaqiran mereka, kenikmatan mereka pada duka mereka, kemesraan mereka pada gentarnya mereka. Rasa dekat mereka pada jauh mereka, istirahat mereka pada beban mereka. Sungguh baik dan indah bagi mereka wahai yang bersabar, wahai yang ridlo, wahai mereka yang fana dari nafsunya dan hawa nafsunya. Wahai orang-orang sufi, berselaraslah kalian dengan Allah swt dan ridlolah kepadaNya atas Af’alNya yang diberikan padamu dan sesamamu. Janganlah kalian semua mengajariNya dan merekayasa dengan akalmu kepadaNya, karena Dia lebih mengerti dari dirimu. “Allah Maha Tahu sedangkan kalian tidak mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 216)Berhentilah di hadapanNya dengan jejak-jejak kekosongan dari akal dan pengetahuanmu serta ilmumu, agar kalian meraih ilmuNya. Biarkanlah dirimu dan jangan memilih, biarkan dirimu agar Dia memilihkan pengetahuanNya padamu. Membiarkan diri, lalu meraih pengetahuan, kemudian sampai pada yang diketahui, lalu sampai pada tujuan.Awalnya adalah kehendak, kemudian meraih maksud kehendak. Beramallah, sesungguhnya aku hanyalah pemintal tali, dimana aku memintal tali kalian yang putus. Aku tidak punya sedikit pun kepentingan kecuali semua ini adalah kepentinganmu. Aku tak pernah susah kecuali susahmu. Aku terbang kemana pun kalian jatuh aku temukan.Yang terpenting bagi kalian adalah batu-batu yang terlontarkan, wahai orang yang hanya duduk-duduk, penuh dengan benan berat yang ditimbun oleh nafsu dan terikat oleh kesenangan nafsumu. Ya Allah rahmati aku dan rahmati mereka. Cinta Kepada Ahlulbait – Cinta Yang Menyelamatkan Salah satu bukti kecintaan kita kepada Nabi Muhammad saww adalah dengan berusaha mencintai keluarga Nabi Muhammad saww. Dalam sejarah banyak disebut betapa banyak penderitaan yang dialami oleh mereka yang menunjukkan kecintaan kepada keluarga Nabi saww. Allah berfirman dalam Surat al-Syura ayat 20-24,”Barang siapa yang menginginkan tanaman akhirat, Kami akan tambah tanamannya. Siapa yang menginginkan tanaman dunia, Aku berikan juga sebagian dari padanya, tetapi dari akhirat dia tidak memperoleh bagian sedikit pun. Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang membuat bagi mereka serikat-serikat agama yang tidak diizimkan oleh Allah. Seandainya tidak ada kalimat yang sudah ditentukan oleh Allah tentulah sudah diselesaikan diputuskan diantara mereka. Sesungguhnya orang zalim itu bagi mereka azab yang pedih. Orang-orang yang zalim merasa takut melihat amal-amal yang mereka lakukan yang hadir nyata dihadapan mereka. Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh Allah tempatkan dalam taman -taman surga. Bagi mereka apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka dan itulah anugerah yang besar. Demikianlah yang Allah kabarkan sebagai kabar gembira kepada hamba-hamba-Nya yaitu yang beriman dan beramal saleh. Katakan oleh kamu (wahai Muhammad) aku tidak meminta upah dari kamu semua kecuali kecintaan pada al-Qurba (kerabat Rasulullah). Siapa yang melakukan kebaikan dengan mencintai keluarga Rasulullah saw, Aku tambahkan baginya kebaikan itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Pembalas kebaikan dengan kebaikan. Apakah mereka sudah berkata bahwa Muhammad ini sudah berbohong mengatas namakan Allah (padahal hanya untuk kepentingan keluarganya). Kalau Allah kehendaki Allah bisa menghapus kebaikan dan tegakan kebenaran dengan kalimatnya. Seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam dada. Pada umumnya, kitab tafsir memulai paragraf “Katakan oleh kamu…” Itu dari man kaana (siapa yang mengiginkan akhirat – ayat 20), tetapi Sayyid Alamah Thabathaba’i, dalam tafsir Mîzân, memulai paragraf ini dari ayat 17. Jadi ketika Allah menjelaskan bahwa Dia menurunkan al-Kitab dengan kebenaran dan untuk menegakkan keadilan, di situ digambarkan ada orang yang tidak mau menerima kitab ini sebagai pedoman hidup mereka sehingga mereka berada dalam kesesatan. Dan setelah itu Allah menyuruh Rasulullah untuk menyampaikan kepada umatnya agar selain berpegang kepada al-Kitab, mereka juga harus berpegang kepada kecintaan kepada keluarga Nabi saw seperti yang disebutkan dalam ayat 23 di atas. Dalam ayat 22, disebutkan bahwa orang-orang zalim ketakutan melihat amal yang mereka lakukan. Thabathaba’i menyatakan bahwa berdasarkan ayat inilah, orang kafir akan ketakutan melihat amal-amal mereka. Cinta Yang Mendatangkan Syafa’at Ada satu konsep yang menurut para ahli tafsir disebut dengan nama berwujudnya amal-amal kita. Artinya nanti amal-amal kita akan diberi wujud oleh Allah swt.. Al-Qur’an menyebut tentang hal itu seperti dalam Surat Al-Kahfi (QS 49),” Mereka menemukan apa yang mereka amalkan itu hadir di depan mereka.” Dalam Surat Al-Zalzalah ditegaskan bahwa amal-amal manusia akan bisa dilihat nanti,” (QS. 6). Ibnu Qayyim Al-Jauzi meriwayatkan dalam salah satu kitabnya, Al-Rûh, menyatakan riwayat tentang apa yang akan terjadi ketika kita meninggal dunia. “Waktu itu para sahabat sedang berada di sekitar pemakaman. Saat itu Rasulullah datang bersama kami,” kata para sahabat. Lalu Rasulullah bercerita: Apabila seorang mukmin meninggal dunia, sejauh-jauh penglihatan terdapat malaikat(Katakanlah upacara penjemputan jenazah Mukmin). Para malaikat itu berbaris; sementara malaikat maut duduk dekat kepala si Mukmin dan berkata,”Hai ruh yang indah, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridaan-Nya.” Lalu Rasul menggambarkan dengan indah nyawa mukmin itu seperti tetesan air dari wadah air. Begitu mudahnya ruh itu keluar, kemudian malaikat mengambil ruh itu dan tidak melepaskan dari tangannya sekejap mata pun. Ruh itu itu mengeluarkan bau semerbak yang memenuhi seluruh alam malaikat. Ketika ruh jenazah itu lewat, para malaikat bertanya,”Siapakah ruh ini?.” Malaikat maut menjawab,”Inilah ruh fulan bin fulan.” Lalu dibawalah ia ke langit untuk menghadap Allah swt, ia diterima oleh Allah dengan segala keridaan-Nya. Kemudia ia dikembalikan lagi ke alam barzakh dan saat itu datang malaikat yang menanyai siapa Tuhannya dan siapa yang diutus datang kepadanya. Ia menjawab pertanyaan malaikat itu bahwa Tuhannya adalah Allah dan utusan yang datang kepadanya adalah Rasulullah. Malaikat melanjutkan pertanyaanya; dari mana ia tahu tentang Rasulullah; dia menjawab bahwa ia mengetahuinya dari kitab, dan ia beriman dan mencintainya.. Mendengar jawab hamba Allah yang saleh itu terdengarlah suara keras dari langit. Rasulullah melanjutkan ucapannya: Apabila seorang kafir atau ahli maksiat meninggal dunia, turunlah malaikat ke bumi dengan wajah yang menakutkan. Kemudian malaikat maut duduk di samping kepalanya dan berkata,”Hai jiwa yang kotor keluarlah kamu menuju kemurkaan Allah dan azab-Nya.” Betapa susah ruh itu keluar darinya, sampai-sampai seluruh tubuhnya seakan-akan akan pecah berkeping-keping. Dan ketika malaikat memegang ruh orang kafir itu, bau menyengat seperti bangkai memenuhi seluruh alam malaikat. Ketika malaikat bertanya siapakah ruh yang busuk itu, disebutlah ia dengan nama yang paling jelek di dunia ini. Kemudian ia dibawa ke langit dan pintu-pintu langit ditutup baginya, jenazahnya dilemparkan kebumi. Ketika malaikat bertanya kepadanya, ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu dengan baik. Maka disempitkanlah kuburannya sesempit-sempitnya. Setelah itu datanglah makhluk yang wajahnya sangat menakutkan dengan bau yang sanag menjijikan. Ketika ditanya siapakah dia? Makhluk itu menjawab,”Akulah amal burukmu, dan aku akan menemani kamu sejak barzakh sampai mahsyar nanti.” Diriwayatkan ada sebuah kisah sufi yang menceritakan bahwa amal saleh dan buruk bisa berwujud kelak di akhirat. Diceritakan bahwa Malik bin Dinar (seorang sufi) pada mulanya adalah seorang ahli maksiat. Pekerjaanya setiap hari adalah minum-minuman keras. Suatu saat ia ditanya oleh seseorang,”Apa yang menyebabkan Anda kembali kepada jalan yang benar?” Malik bin Dinar menjawab,”Dahulu aku mempunyai anak perempuan yang aku sayangi. Setiap hari pekerjaanku meminum arak. Setiap saat aku hendak meminum arak, tangan anakku selalu menepiskannya kepada tanganku; seolah-olah ia melarang aku untuk meminumnya. Sampai suatu saat anakku meninggal dunia. Aku berduka luar biasa. Dalam keadaan duka aku tertidur dan bermimpi seakan-akan aku berada di padang Mahsyar. Saat itu aku seperti berada di tengah-tengah orang yang kebingungan. Dalam keadaan bingung aku melihat sosok seekor ular yang sangat besar. Ular itu bergerak dan mengejarku. Aku lari untuk menghindari ular itu, di tengah jalan aku berjumpa dengan seorang tua yang berwajah sangat jernih. Aku berhenti di samping orang tua itu dan meminta kepadanya perlindungan. Orang tua itu jatuh iba kepadaku. Sambil menangis ia berkata kepadaku,” Aku ingin menolong kamu tetapi aku terlalu lemah.” Karena rasa takut yang mencekam segera aku pergi dari sisi orang tua itu dan sampailah aku pada tepian neraka jahanam. Hampir saja aku loncat ke dalamnya karena rasa takut yang memuncak. Tetapi saat itu aku mendengar suara,”Tempat kamu bukan di sana.” Dalam keadaan lemah aku berlari mendekati orang tua tadi untuk meminta pertolongannya lagi, ia menjawab,” Aku tak bisa menolongmu karena aku terlalu lemah. Berangkatlah ke bukit Amanah, mungkin di sana ada titipan buatmu.” Aku berangkat menuju tempat itu, di sana aku bertemu dengan seorang anak-anak kecil yang wajahnya sangat indah. Tiba-tiba aku melihat anaku sendiri, ia mendekatiku dan memegang tanganku seraya berkata,.”Inilah bapakku.” Lalu dengan tangannya yang lain dia mengusir ular besar itu. Kemudian anak itu berkata,’Apakah belum datang waktunya kepada orang beriman untuk takut kepada Allah.’ Aku bertanya kepadanya,’Apakah kamu bisa membaca Al-Qur’an’ Anakku menjawab,’Pengetahuanku tentang Al-Qur’an di sini lebih baik daripada pengetahuan bapak.’ Kemudian aku bertanya tentang orang tua yang berwajah jernih, ia menjawab,’Dia adalah amal saleh yang setiap hari bapak lakukan, karena amal saleh bapak sedikit, amal itu menjadi lemah dan tidak sanggup membantu bapak.’ ‘Lalu siapakah ular itu?’ Anakku menjawab,’Itulah maksiat yang setiap hari bapak perkuat tenaganya karena dosa yang bapak lakukan.’ Sejak itu, kalau aku berbuat maksiat aku ingat bawa hal itu akan memperkuat ular berbisa yang menakutkan itu. Dan setiap kali aku lelah dalam beramal saleh, aku ingat hal itu akan memperkuat amal salehku.” Cerita Malik bin Dinar itu sesuai dengan hadis yang menunjukkan bahwa amal-amal kita akan hadir di hadapan kita. Percayalah, kita akan di temani dua makhluk, makhluk yang baik dan buruk; keduanya akan bertarung di alam barzakh. Kalau makhluk yang baik itu menang, terusirlah makhluk yang jelek; maka kita di alam barzakh itu akan ditemani makhluk yang baik. Sebaliknya, amal jelek pun bisa mengusir amal baik yang perbnah kita lakukan. Kita semua percaya bahwa amal saleh yang kita lakukan jauh lebih sedikit daripada amal salah yang sering kita lakukan. Oleh sebab itu, kita bisa menduga bahwa di alam barzakh nanti yang paling banyak menemani kita adalah amal buruk kita. Maka malang betul kita semua, kalau di alam barzakh itu kita hanya mengandalkan amal saleh yang kita lakukan. Oleh karena itu, karena kasih-Nya kepada kita, Allah swt memberi wewenang kepada Rasulullah saw untuk memberi syafaat kepada kita. Alangkah bahagianya kita di alam barzakh nanti ketika makhluk yang menakutkan berjubal penuh mengelilingi kita dan amal baik sudah terusir dari kita, lalu datanglah syafaat Rasulullah saw dan makhluk jelek itu tersingkir dan kita hanya ditemani oleh amal saleh kita sampai hari akhir. Tidak ada kebahagiaan yang paling besar selain memperoleh syafaat Rasulullah saw. Lalu, kepada siapakah syafaat rasulullah itu diberikan? Rasulullah bersabda dalam sebuah hadisnya,”Syafaatku aku khususkan kepada dia yang mencintai keluargaku diantara umatku.” Mudah-mudahan kita memperoleh syafaat rasulullah saww dengan wasilah kecintaan kita kepada keluarganya. (Tarikh Baghdad ; al-Khatib Al-Baghdadi juz II). Siapa saja keluarga Nabi saww yang harus kita cintai? Imam az zamakhsari (ulama tafsir Qur’an) meriwayatkan hadis ketika membaca ayat,”Aku tidak meminta upah kecuali kecintaan kepada keluargaku.”Ya Rasulullah siapa keluarga yang harus kita cintai itu? Rasulullah bersabda,”Ali, fatimah, kedua anaknya, dan keturunan mereka.” Orang tua kita dahulu tahu bahwa kecintaan kepada Ali, Fatimah, dan kedua putranya bisa memadamkan bencana; terutama bencana di alam kubur. Mereka juga percaya bahwa hal itu bisa memadamkan bencana yang terjadi pada saat sekarang. Oleh karena itu, kalau ada bala bencana di sebuah kampung, mereka sering membaca syair: Li khamsatun utfi bihâ haral wabâ wal khâtimah Al-Musthafâ wal murtadhâ wabnahumâ wal Fâtimah Aku mempersembahkan yang lima kepada Allah Untuk memadamkan panasnya bencana yang mengerikan kita memohon berkah dari lima yang suci Yaitu Al-Musthafa (Rasulullah saww), Al-Murtadha (Sayidina Ali), Dan kedua putranya (Hasan dan Husain) serta Fatimah. Imam Fakhrurazi, dalam kitabnya Mafâtihul al-Ghaib, menyebutkan,”Sudah teguhlah dalil bahwa yang empat orang itu adalah keluarga Nabi saw. Dan apabila sudah teguh dalil itu, sudah pastilah mereka yang dikhususkan untuk kita muliakan dengan kemuliaan yang lebih dari manusia yang biasa. Tentang hal ini ada beberapa dalil. Pertama, adalah mawaddah bil qurbâ. Kedua, tidak meragukan lagi bahwa Nabi saw sangat mencintai Fatimah. Rasul bersabda,”Fatimah adalah belahan jiwaku, sebagian dari diriku, siapa yang menyakiti Fatimah, ia menyakitiku.” Rasulullah juga mencintai Ali dan kedua cucunya ; Hasan dan Husain. Karena sudah teguh keadaanya, wajiblah bagi umatnya untuk meniru Rasulullah saw. Artinya, karena Rasulullah mencintai kereka , wajiblah kita mencintai mereka ; Allah berfirman,” Katakanlah: Hai manusia sesunguhnya aku aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya. Dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk.”(QS. Al-Araf: 158 ) dalam ayat lain Allah menyebutkan,”Maka hendaklah takut orang-orang yang menentang perintah Rasul.” Ketiga, sesungguhnya khusus untuk keluarga Nabi saw; dalam tasyahud, ketika salat, kita harus membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Hal ini merupakan suatu kehormatan yang tidak diberikan selain kepada keluarga Nabi Muhammad saw. Semuanya itu, kata Al-Fakhrurazi, menunjukkan bahwa kecintaan kepada Muhammad dan keluiarganya adalah wajib. Al-Fakhrurazi mengutip ucapan Imam Syafi’i,” Jika Rafidhi itu mencintai keluarga Muhammad, hendaklah jin dan manusia menyaksikan bahwa aku ini adalah Rafidhi.” Hadis tentang Buah Cinta Kepada Ahlul Bait Bentuk kecintaan kepada Nabi saw dan keluarganya diantaranya diwujudkan dengan membaca shalawat kepadanya. Berikut hadis tentang buah shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya. Seseorang bertanya kepada Abu Abdillah tentang firman Allah swt, Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (Al-Ahzab 56). Abu Abdillah berkata,” Shalawat dari Allah swt kepada Nabi adalah rahmat-Nya, dari malaikat adalah pensuciannya, dan dari manusia adalah doanya.” Adapun firman Allah swt wasallimû taslîmâ, yakni ucapkanlah salam kepadanya, kemudian ia berkata kepadanya,”Bagaimana kami mengucapkan shalawat kepada Nabi dan keluarganya?” Abu Abdillah berkata,” Katakanlah: ‘Shalawâtullâhi wa shalawâtu malâ’ikatihî wa an biyâihî wa rasûlihî wa jamî’i khalqihî ‘ala muhammadin wa âli muhammad wasallamu ‘alaihi wa âlihim wa rahmatulâh wa barakâtuh.’” Lalu ia berkata, Apa balasan orang yang membacakan shalawat kepada Nabi saw? “Dikeluarkan dari dosa-dosanya, demi Allah sama seperti ketika ibunya melahirkan dia.” Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata,”Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sepuluh kali, Allah akan mengirimkan rahmat dan para malaikat akan mengucapkan doa kepadanya seratus kali.” Dalam Hadis lain Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata,” Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya seratus kali, Allah akan kirimkan kesejahteraan kepadanya, para malaikat akan mendo’akannya seribu kali. Bukankah kamu mendengar perintah Allah swt, “Ialah Allah yang mengirimkan rahmat-Nya kepada kamu dan para malaikat-Nya untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya, dan dia sangat penyayang kepada kaum mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 43). Masih dari Imam Ja’far,”Semua data yang dibacakan orang untuk menyeru Allah swt tertutup dari langit , sampai dia membaca shalawat kepada Muhammmad dan keluarganya.” “Nanti pada hari kiamat, tidak ada yang lebih berat dalam timbangan selain shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.” Imam Ali Ridha berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu menghapuskan seluruh dosanya, perbanyaklah bacaan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, karena itu akan menghapuskan dosa.” “Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Nabi saw pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.” Itulah buah membaca shalawat. Shalawat adalah ungkapan kecintaan kita kepada Rasulullah dan keluarganya. Kalau orang banyak membaca shalawat, insya Allah, kecintaan kepada Rasulullah akan bertambah. Bagi seorang intelektual, hal ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan: Mengapa? Tapi, buat orang-orang bodoh, believing is seeing. Shalawat itu membawa kecintaan kepada pada rasulullah. Mereka tidak memikir-mikirkan lagi, kerinduannya bangkit di dalam shalawat-shalawat itu dan terasa pada diri mereka. Tetapi bagi orang-orang intelektual tidak; bagi mereka seeing is believing. Dalam teori komunikasi, ada teori yang disebut dengan mere exposure theory; teori semata-mata terpaan saja. Suatu saat kepada mahasiswa diperlihatkan beberapa transparansi foto. Ada beberapa foto yang sering tampak pada saat itu, dan ada beberapa foto yang jarang tampak. Foto itu ada yang ditampakkan sepuluh kali, delapan kali, dan lima kali. Setelah itu kepada mahasiswa diberikan seluruh foto yang tadi diperlihatkan di layar. Ada hal yang menarik dalam kejadiaan itu; mereka diperintah untuk memilih foto mana yang paling mereka sukai. Ternyata mereka menyukai foto yang paling sering muncul.; bukan karena apa-apa, hanya karena sering muncul saja, mere exposure. Hal ini bisa dianalogikan, jika ada orang yang sering muncul dihadapan kita, lama-kelamaan kita akan menyukai orang tersebut. Dengan seringnya kita membaca shalawat, kita selalu menghadirkan nama Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya akan tumbuh dengan sendirinya kecintaan kepada orang-orang yang sering kita sebut. Dan hal ini termasuk juga ke dalam teknik iklan atau propaganda. Agar orang itu suka akan sesuatu, lakukanlah iklan itu berkali-kali (diulang-ulang). Shalawat, insya Allah akan menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah saww. Lewat kecintaan itulah insya Allah kita akan meniru perilaku orang yang kita cintai. Kecintaan kita kepada keluarga Rasulullah saw merupakan ungkapan cinta kepada Rasulullah juga. Al-Zamakhsary dalam kitabnya Al-Kasyaf, menulis, “Rasulullah saww bersabda: ‘Barangsiapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati syahid. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad saww, dia mati dengan ampunan-Nya. Ketahuilah barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada kelurga Nabi saww, dia mati sebagai orang mukmin yang sempurna imannya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Nabi saww, dia mati dalam keadaan Malaikat Maut akan menggembirakannya dengan surga, kemudian Munkar dan Nankir akan menghiburnya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia akan diiringkan masuk ke surga seperti diiringkannya pengantin ke rumah suaminya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan bukakan pintu surga pada kuburannya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan memabawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saww, Allah akan jadikan kuburannya tempat berkunjung Malaikat Rahmah. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati sebagai ahlu sunnah wal jama’ah.” “Siapa yang mati dalam kebencian kepada keluarga Muhammad saw, dia akan datang pada hari kiamat dengan tulisan pada kedua matanya;’Inilah orang yang putus asa dari rahmat Allah.’ “ Rasulullah Saww bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling baik daripada kalangan Tabi‘in ialah seorang lelaki yang dipanggil Uwais, dia mempunyai seorang ibu, dan dengannya ada tanda keputihan (sopak), maka hendaklah kalian meminta kepadanya (Uwais) untuk memintakan ampun bagi kalian semua.” Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Uwais mempunyai seorang ibu yang dia (Uwais) berbuat baik kepadanya, jika dia bersumpah (memohon) kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Oleh karena itu jika engkau berupaya (untuk menemui Uwais) untuk memohonkan ampun bagimu, maka lakukanlah hal itu.” (HR. Muslim) Sayyidina Uwais al Qarni adalah orang yang tidak pernah sekalipun bertemu dengan Rasulullah Saww secara fisik. Selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun beliau memendam hasrat kerinduan kepada manusia paling agung itu, namun hasrat hati itu terhalang oleh kondisi harus merawat ibu kandungnya yang telah tua renta. Dalam kurun waktu yang lama, Uwais selalu memikirkan dan mencari cara agar dapat bertemu dengan Rasulullah Saww. Siang dan malam beliau merenung dan bermunajat dengan penuh pengharapan kepada Allah Azza wa Jalla agar dapat bertemu dengan Rasulullah Saww, serta agar dapat dikelompokkan kedalam golongan para pengikutnya. Sampai akhirnya doa dan tangisan Uwais dijawab oleh Allah Ta’ala, sehingga Allah memberikan wahyu Nya kepada baginda Rasulullah Saww, mengenai keberadaan orang yang sangat mencintai beliau. Karena itulah kita mengenal sabda Rasul Saww, “Akan datang Nafas Sang Maha Pengasih dari arah Yaman.” Kemudian dengan izin Allah Ta’ala, Rasulullah Saww menemui Uwais dalam alam spiritual, pada pertemuan itu Rasulullah Saww bersabda kepada Uwais, agar jangan meninggalkan ibundanya, sebagai tanda bakti kepada orang tua dan kepatuhan terhadap sunah, dan Rasulullah Saww menyebutkan bahwa Uwais telah termasuk kedalam kelompok pengikut beliau Saww, namun ketika itu Uwais menghendaki hal yang lebih dari itu yakni dia ingin menjadi murid Rasul. Maka Rasulullah Saww akhirnya bersabda bahwa untuk menjadi murid, Uwais harus tetap memelihara rabithah (hubungan batin) dengan Rasulullah Saww itu melalui ketaatan kepada syariat dan sunah serta kecintaan kepada Ahlulbait, bila rabithah itu tetap terjaga, kelak Uwais akan menjadi murid spiritual dan berbai’at kepada penerus beliau Saww yang akan datang mengunjungi Uwais dikemudian hari (Dapat dipahami mungkin inilah dasar dari hadits Rasulullah Saww yang memerintahkan kepada Imam Ali kw dan Sayyidina Umar untuk mengunjungi Uwais al Qarni). Setelah peristiwa itu, Uwais merasakan kebahagiaan yang sangat tak terbendungkan, bahkan kadang-kadang ditengah jalan beliau menyenandungkan syair-syair memuja Rasulullah Saww, dan terkadang masyarakat melihat Uwais (dalam kondisi tafakur) seperti berbicara seorang diri sambil menangis tersedu-sedu. Bahkan karena kecintaan yang mendalam terhadap diri Baginda Rasul Saww, ketika mendengar bahwa dalam perang Uhud beliau terluka sehingga giginya patah, maka Sayyidina Uwais memukul giginya sampai patah dan berdarah, agar beliau turut merasakan sakit yang dialami oleh Rasul. Maka karena berbagai perilakunya yang dipandang aneh itu, masyarakat menganggap Uwais sebagai orang yang kurang waras atau hilang ingatan. Namun walau bagaimanapun juga beliau tetap memelihara ketaatan kepada syariat dan sunah sebagaimana diwasiatkan oleh Rasulullah Saww. Sampai kemudian tibalah waktunya Imam Ali kw dan Sayyidina Umar mengunjungi Sayyidina Uwais al Qarni. Ketika mereka mencari dan menanyakan kepada masyarakat, tidak seorangpun mengenalnya, hingga disebutkanlah ciri-ciri Uwais al Qarni yang memiliki tanda sopak, barulah masyarakat menunjukkan dan menyebut Sayyidina Uwais sebagai orang aneh dan tidak waras yang selalu menyendiri. Ketika bertemu dengan Imam Ali kw, Sayyidina Uwais al Qarni mencium tangan Imam dan memohon bai’at kepada beliau. Uwais pun berkata, selamat datang wahai maula (Junjungan), wahai penerus Rasul, engkaulah orang yang selama ini aku tunggu dan aku rindukan, engkaulah yang aku harapkan menjadi “Jalan untuk memperoleh doa Rasul.” (Qur’an surah at Taubah ayat 99). Kemudian Imam Ali kw membai’at Sayyidina Uwais al Qarni didalam suluk. Beberapa saat setelah peristiwa itu, Sayyidina Umar bertanya kepada Sayyidina Uwais al Qarni, “Bagaimana mungkin engkau yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah Saww dapat memperoleh kedekatan dengan beliau, dan memiliki kedudukan khusus disisi Allah Ta’ala?” Mendengar itu, Sayyidina Uwais al Qarni balik bertanya kepada Sayyidina Umar, “Apa yang engkau ketahui tentang Rasulullah Saww?” Kemudian Sayyidina Umar menyebutkan ciri-ciri fisik Rasulullah Saww, Sayyidina Uwais al Qarni menjawab,”Itu hanyalah fisik dari Sayyidina Muhammad Saww, sungguh rugi jika engkau yang selalu bersama Rasulullah Saww hanya mengenal beliau dari sisi itu, sedangkan aku yang berada jauh, mengetahui wujud cahaya beliau Saww yang sempurna.” Semenjak kejadian itu, sayyidina Umar bin Khattab seringkali menyesali dirinya yang tidak maksimal dalam mengambil berkah manfaat dari kehadiran Rasulullah Saww, barangkali karena hal inilah sehingga kita temukan didalam riwayat : “Pada suatu kali Umar mendatangi tempat Mu’adz ibnu Jabal ra, kebetulan ia sedang menangis, maka Umar berkata: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Mu’adz?” Kata Mu’adz: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Para Wali Allah adalah orang-orang yang paling dicintai Allah, yakni mereka yang bertakwa yang suka menyembunyikan diri, jika mereka tidak ada, maka tidak ada yang mencarinya, dan jika mereka hadir, maka mereka tidak dikenal. Mereka adalah para imam pemberi petunjuk dan para pelita ilmu. Umar pun kemudian menangis mendengar hal itu.” (Hadis riwayat an Nasa’i, Al Bazzar dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya jilid I hal. 6) Sayyidina Uwais al Qarni tidak memperoleh ilmu dari Rasulullah Saww melalui penglihatan dan pendengaran panca inderanya, namun beliau memperolehnya secara ruhani melalui ketaatan dan kecintaan kepada Rasulullah Saww. Sayyidina Uwais al Qarni membentuk dan memelihara rabithah (Ikatan batin) dengan Rasulullah Saww, karena itulah beliau diangkat kepada kedudukannya yang tinggi. Hikmah dari kisah tersebut diatas menjelaskan bahwa seorang pencari jalan ketika belum menemukan pembimbing yang mampu menuntun untuk menempuh perjalanan spiritual, hendaknya terus menerus memohon kepada Allah dengan tulus, dan dengan disertai ketaatan kepada segala perintah Nya. Apabila seseorang melakukan hal ini, niscaya Allah akan mempertemukannya dengan seorang mursyid haq yang merupakan pewaris dari Rasulullah Saww, sebagaimana Sayyidina Uwais akhirnya dipertemukan dengan Imam Ali kw. Kemudian hikmahnya bagi para pengikut thariqah, belum tentu seseorang yang selalu bersama dengan syaikh secara fisik dapat mencapai derajat kedekatan dengan syaikh. Namun tentunya lebih utama lagi apabila orang yang secara fisik selalu berdekatan dengan syaikh, memelihara silaturahmi, serta mengambil manfaat dari ilmunya lahir dan batin. Kedekatan derajat dengan Syaikh ditentukan oleh kepatuhan dalam mengamalkan setiap ajarannya, demikian pula halnya mengenai kedekatan dengan Rasulullah Saww dan Ahlulbaitnya. Keberkahan dan keselamatan akan senantiasa tercurah manakala didalam hati seseorang telah tertanam rasa cinta kepada pembimbingnya, karena sang pembimbing yang sah adalah jalan untuk memperoleh cinta dan doa Rasulullah Saww. Sebagaimana terdapat dalam kisah Sayyidina Uwais al Qarni, dengan kecintaan kepada pembimbing spiritualnya, beliau rela mengorbankan jiwa dan raga mengikuti peperangan membela sang Mursyid Imam Ali kw melawan Muawiyyah di perang Shiffin. Tentunya rasa cinta itu harus dibuktikan dengan melalui perilaku yang nyata, dengan melalui pelaksanaan adab! Sayyidina Uwais al Qarni sangat memelihara adab, sehingga beliau senantiasa merasakan kehadiran Rasulullah Saww kapanpun dan dimanapun, beliau merasa seolah-olah dirinya secara fisik dan ruhani senantiasa disertai dan diawasi oleh Rasulullah Saww, inilah yang disebut dengan ihsan dalam tahapan thariqah. Apabila kita membuka kitab hadits, maka yang disebut ihsan adalah suatu kondisi dan perbuatan dimana kita beribadah, kita merasa seolah-olah melihat Allah, atau kita merasa seperti diawasi oleh Allah. Sesungguhnya inti dari ihsan adalah adab, sehingga kami katakan bahwa ihsan itu adalah engkau melakukan suatu amal dengan disertai pelaksaan adab. Ketika engkau sedang dimonitor oleh atasan dalam pekerjaan misalnya, maka tentunya engkau akan berusaha agar terlihat bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh, ini adalah demi munculnya perhatian dan penilaian yang baik dari atasan kepada dirimu. Lalu bagaimana pula dengan amaliah ibadah kita kepada Allah? Mengapa kita dalam melaksanakan ibadah itu seenaknya, malas-malasan, dan tidak menggunakan sopan santun dalam beribadah? Seringkali kita temukan orang yang shalat dengan memakai pakaian yang sudah kumal, padahal dia memiliki pakaian yang bagus, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Sedangkan ketika menghadap raja misalnya, seseorang akan berusaha agar terlihat rapi dan bersih, lalu dimanakah adab kita terhadap Rajanya alam semesta, Allah Azza wa Jalla? Memang kenyataannya bagi kebanyakan manusia, ihsan adalah hal yang sangat sulit dilakukan, karena mereka tidak mengenal siapa Allah, mereka tidak mengenal Keagungan dan Kebesaran Nya. Kebanyakan manusia telah sedemikian terikatnya dengan alam materi, sehingga segala sesuatu selalu saja dikaitkan dengan hal-hal yang berbau materi, itulah sebabnya Allah Ta’ala kemudian mengutus Sayyidina al Musthafa Muhammad Saww. Allah mengutus Rasul dan Anbiya Alaihimu Shalatu wa Salam dari kalangan manusia, hal ini sebagai wujud Kemurahan Nya, karena Allah menghendaki kemudahan bagi umat manusia agar dapat berada pada jalan yang benar. Firman Nya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Qur’an surah al Baqarah ayat 185). Dengan diutusnya Rasulullah Saww, Allah Menghendaki agar aturan-aturan dan pesan-pesan Ilahiyyah kepada umat manusia menjadi jelas, sehingga manusia dapat mengikuti jejak langkah Rasulullah Saww dalam rangka mengikuti aturan-aturan Nya, guna memperoleh keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki. Allah Ta’ala Berfirman : “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qur’an surah Ali Imran ayat 31) Ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa manusia yang mengharapkan cinta Allah, hendaknya mengikuti Rasulullah Saww dengan penuh kecintaan kepada beliau Saww. Dalam ayat itu Allah tidak menyebutkan “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, cintailah Muhammad.” Namun lebih lengkap dari hal itu, dijelaskan bahwa bukti dari kecintaan itu adalah dengan mengikuti, yakni dengan mencontoh segala ahlak dan perilaku yang diperbuat oleh Rasulullah Saww. Tanpa adanya ittiba (mengikuti), cinta hanyalah omong kosong belaka, cinta harus dibuktikan dengan perbuatan yang nyata. Orang yang mencintai Allah harus mencintai Rasulullah Saww, orang yang mentaati Allah harus taat kepada Rasulullah Saww. Demikian pula halnya dengan ihsan, seseorang yang betul-betul ihsan didalam ibadahnya kepada Allah, maka dia harus senantiasa merasakan bahwa dia sedang bersama-sama dengan Rasulullah Saww, dan senantiasa diawasi serta diperhatikan oleh beliau Saww. Seperti itulah Sayyidina Uwais al Qarni, sehingga beliau mendapatkan gelar Nafas ar Rahman, dan selanjutnya beliau memperoleh peningkatan maqam dengan menghubungkan diri dan menjadi murid dari Imam Ali kw, inilah syarat dari suatu hubungan dengan Allah, yakni engkau harus berhubungan dengan orang-orang yang dicintai oleh Nya. Kalian harus memohon hal itu sebagaimana Rasulullah Saww sendiri memohon : “Yaa Allah anugerahkanlah kepadaku kecintaan kepada Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai Mu, dan amalan yang akan menyampaikanku kepada mencintai Mu. Jadikanlah kecintaanku terhadap Mu lebih aku cintai daripada kecintaan terhadap istri dan anak-anakku serta lebih dari cintanya seorang yang kehausan kepada air yang dingin.” (HR. Tirmidzi) Lihatlah, betapa Rasulullah Saww memohon agar dapat mengetahui dan mencintai orang-orang yang mencintai Allah, karena beliau mengetahui bahwa setiap orang akan dikelompokkan berdasarkan golongannya masing-masing, inilah sebabnya beliau Saww mampu mengetahui orang yang mencintai Allah dimanapun orang tersebut berada, seperti pada kisah Sayyidina Uwais al Qarni diatas. Bahkan saat ini pun, meski jasad Rasulullah Saww terbaring di kuburannya yang suci, namun beliau akan mengetahui, dan beliau akan mencintai kepada seluruh manusia yang didalam hatinya terdapat kecintaan kepada Allah Ta’ala. Karena beliau Saww tidaklah meninggal, beliau tetap hidup, sebagaimana Allah Berfirman : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Qur’an surah Ali Imran ayat 169) Didalam doa Rasulullah Saww tersebut menjelaskan bahwa kecintaan kepada Allah harus diikuti juga dengan kecintaan terhadap orang-orang yang mencintai Nya. Orang yang mencintai Allah harus mencintai juga kepada segala sesuatu yang dicintai Nya, juga harus membenci segala sesuatu yang dibenci Nya. Oleh karena itu, mencintai para waliyullah dan orang-orang shaleh adalah suatu keharusan dalam syariat Islam, ini adalah syarat mutlak apabila kita ingin memperoleh cinta Allah. Dan membenci para waliyullah adalah suatu kesesatan dan kejahilan, sebagaimana Rasulullah Saww bersabda, “Allah Ta’ala Berfirman : “Barangsiapa memusuhi wali Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya.” (HR. Bukhari) Semua orang yang terhubung dengan Allah menjadi representasi Nya diatas permukaan bumi ini, para Ahlullah (waliyullah) adalah mereka yang jika dilihat, maka orang yang melihatnya akan mengingat Allah, mereka adalah kaki, tangan, mulut, mata, dan telinga Allah, mereka adalah af’al Allah Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah Saww bersabda bahwa Allah Ta’ala Berfirman : ”Melalui amalan-amalan nawafil hamba-hamba Ku menjadi sedemikian rupa dekatnya dengan Ku, sehingga Aku menjadi telinganya yang dengannya dia mendengar, Aku menjadi matanya yang dengannya dia melihat, aku menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, dan aku menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan.” (HR. Bukhari) Seperti itulah para Ahlullah, mereka adalah para waliyullah yang menjadi kekasih Nya, mereka adalah para pewaris ilmu kenabian. Semua orang yang terhubung dengan Allah, terhubung pula dengan Rasulullah Saww, sebagaimana Allah telah memerintahkan seluruh manusia untuk menghubungkan diri (bershalawat) kepada Rasulullah Saww. Allah Ta’ala Berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qur’an surah an Nisa ayat 59) Ulil amri didalam ayat tersebut secara khusus merujuk kepada para Ahlulbait Rasulullah Saww, sedangkan secara umum merujuk kepada para waliyullah dan para pemimpin yang shaleh dan taat, serta setiap orang yang terhubung kepada Rasulullah Saww. Oleh karena itu menghubungkan diri dengan para waliyullah dan orang-orang shaleh merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim. Kalian harus mencintai para waliyullah, kalian harus mencintai orang-orang yang shaleh, harus berusaha untuk bergaul dan bersilaturahmi dengan mereka. Karena ketika kalian bertemu dengan para waliyullah serta orang yang shaleh, cahaya dan energi-energi kebaikan mereka memancar kesekelilingnya, apabila kalian datang dengan hati yang tulus, maka kalian akan mampu untuk menyerap pancaran cahaya dan energi itu, engkau akan merasakan semangat baru didalam menjalankan ibadah, engkau akan merasakan kesegaran. Betapa besar manfaat pertemuan dengan mereka, namun tidak cukup dengan pertemuan secara fisik, engkau harus berusaha menghubungkan diri secara ruhani dengan mereka, mengikuti ahlak dan perbuatannya, karena dengan menghubungkan diri kepada mereka, berarti engkau menghubungkan dirimu dengan Allah dan Rasulullah Saww. Pada masa sekarang ini, secara fisik Rasulullah Saww tidak lagi bersama kita, hanya orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan beliau Saww secara langsung, namun diantara umat terdapat para pewaris beliau, mereka adalah para waliyullah yang telah dianugerahi tugas “al Irsyad”, yakni tugas-tugas untuk membimbing umat manusia. Sehingga setiap orang yang menghendaki untuk terhubung kepada Rasulullah Saww hendaknya menghubungkan diri dengan mereka. Inilah yang dimaksud dengan “Jalan untuk memperoleh doa Rasul” didalam surah at Taubah ayat 99. Oleh karenanya ihsan berarti juga senantiasa terhubung dengan kebaikan dan para pelakunya, inilah yang dimaksud didalam hadits Rasulullah Saww, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” Dan secara khusus bagi para pengikut thariqah, ihsan adalah kalian beribadah dengan perasaan sebagaimana layaknya kalian bersama-sama dengan syaikh, dan selalu merasa diawasi oleh syaikhmu, hanya dengan cara inilah engkau dapat mengambil manfaat lahir dan batin dari keberadaan seorang syaikh. Inilah adab yang sesungguhnya didalam thariqah, manakala seorang salik selalu merasa bersama-sama dengan syaikhnya, maka dia akan masuk kepada tahapan fana fi syaikh, ini adalah tahap awal untuk sampai kepada tahap fana fillah penyatuan dengan Sang Kekasih, yakni Allah Azza wa Jalla. Hanya dengan cara inilah seorang salik dapat menapaki tangga demi tangga perjalanan spiritual sehingga mencapai suatu maqam kedekatan dengan Allah Ta’ala. Din an Nasihah – Agama adalah Cinta Dalam sebuah hadis yang teramat populer, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Al-Dînu nashîhah.” Ucapan Nabi ini seringkali diterjemahkan secara keliru ke dalam Bahasa Indonesa menjadi: Agama itu nasihat. Saya anggap keliru karena dalam hadis itu diceritakan setelah Rasulullah bersabda itu, para sahabat bertanya, “Kepada siapa nashîhah itu, ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kepada seluruh kaum muslimin.” Di situlah letak kekeliruan terjemahan itu. Bagaimana mungkin kita harus memberikan nasihat kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para imam? Dalam bahasa Arab, kata nashîhah selain berarti nasihat, juga berarti mengikhlaskan, memurnikan, atau membersihkan kecintaan seseorang. Orang yang memiliki kecintaan yang tulus disebut sebagai nâshih. Taubat yang keluar dari hati yang tulus disebut sebagai taubatan nashûha. Orang Arab menyebut madu yang murni sebagai ‘asalun nâsh. Jadi, kata nashîhah berarti kecintaan yang tulus. Oleh karena itu, hadis di atas sebenarnya berarti, “Dasar agama itu adalah kecintaan yang tulus.” Dasar yang pertama tentu saja adalah kecintaan yang tulus kepada Allah swt. Dalam hadis yang lain, Rasulullah membagi kaum muslimin ke dalam dua golongan. Satu golongan ia sebut dengan kaum nashâhah dan satu golongan lagi ia sebut dengan kaum ghasâsah. Nashâhah (bentuk jamak dari nâshih, red.) adalah golongan orang yang selalu menampakkan kecintaan yang tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para Imam, dan seluruh kaum muslimin. Adapun ghasâsah, menurut Rasulullah, adalah para pengkhianat yang tidak memiliki hati yang bersih. (lihat Al-Targhîb, II: 575) Masih dalam kitab yang sama diriwayatkan sabda Rasulullah saw yang menjelaskan hadis di atas: “Kaum mukmin itu satu sama lain saling mencintai walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Tetapi kaum yang durhaka itu satu sama lain ghasâsah (saling mengkhianati) sesama mereka walaupun tempat tinggal mereka berdekatan.” Kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya adalah ikatan yang dapat mempersatukan seluruh mazhab. Al-Zamakhsyari, penulis kitab Tafsir Al-Kasyaf, menulis sebuah syair tentang ikhtilaf di kalangan kaum muslimin dan jalan keluar dari perpecahan itu: Banyak sekali keraguan dan pertentangan Masing-masing merasa di jalan yang benar Aku berpegang pada kalimat lâ ilâha ilallah Dan kecintaanku kepada Ahmad dan Ali Berbahagia anjing karena mencintai Ashabul Kahfi Bagaimana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi Al-Quran menceritakan seekor anjing yang memiliki karamah mampu tidur selama tiga ratus tahun. Keberuntungannya itu disebabkan karena kecintaan anjing itu kepada Ashabul Kahfi. Maka, bagaimana kita bisa celaka karena kecintaan kepada keluarga Nabi? Kecintaan terhadap keluarga Nabi disepakati oleh semua mazhab. Imam Syafii pun dikenal sebagai orang yang mencintai ahli bait Nabi. Imam Syafii pernah berkata, “Aku sangat heran bila aku sebut nama Ali Al-Murtadha dan Fathimah Al-Zahra, orang segera berdiri dan berteriak: Ini Rafidi!” Imam Syafii lalu bersyair: Kalau yang disebut Rafidi itu adalah mencintai keluarga Nabi Hendaknya menyaksikan seluruh jin dan manusia, bahwa aku ini Rafidi Mencintai keluarga Nabi adalah bagian dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan: Katakan olehmu Muhammad: Aku tidak minta upah dalam mengajarkan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku. (QS. Al-Syura: 23). Mendengar ayat ini, para sahabat bertanya, “Lalu siapa keluarga yang wajib kami cintai itu?” Rasulullah saw menjawab, “Ali, Fathimah, dan kedua putranya.” Hadis itu disebutkan dalam seluruh kitab tafsir dan disepakati oleh semua mazhab. Akan tetapi mengapa dalam perkembangannya orang dijauhkan dari ahlul bait? Salah satunya adalah alasan politis. Sepanjang sejarah Islam, kelompok ahlul bait adalah mereka yang tertindas secara politik. Kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi. Secara perlahan, ahlul bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan ahlul bait dihapuskan dari salawat kaum muslimin. Menurut saya, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu bila kita ingin mempersatukan kaum muslimin, persatukanlah mereka dari titik pertemuan ini; yaitu kecintaan kepada keluarga Nabi. Dalam penjelasan hadis “Agama itu nashîhah”, selanjutnya disebutkan tentang kecintaan yang tulus atau nashîhah kita terhadap sesama kaum muslimin. Kecintaan kita kepada kaum muslimin dapat ditampakkan dalam usaha untuk menjaga kesatuan kaum muslimin. Lawan dari nashîhah adalah ghasâsah; mengkhianati kaum muslimin, berlaku tidak jujur, memfitnah mereka, dan bahkan mengkafirkan saudara-saudaranya. Hal ini termasuk kepada dosa besar. Oleh sebab itu kelompok ini dipisahkan oleh Rasulullah dari kaum mukmin dan disebut sebagai kelompok pengkhianat. Dalam hadis yang dapat kita baca dalam Hayâtush Shahâbah, terdapat riwayat sebagai berikut: Pada suatu saat, ketika Rasulullah saw berkumpul dengan para sahabatnya di Masjid, beliau berkata, “Sebentar lagi akan muncul seorang penghuni surga….” Tak lama kemudian masuk ke dalam masjid seorang lelaki dengan mengepit sandal di tangan kanannya. Dengan janggut yang masih basah oleh air wudhu, ia lalu salat. Keesokan harinya, Rasulullah menyebutkan hal yang sama dan lelaki yang sama kemudian masuk ke dalam masjid dan salat. Begitu pula keesokan harinya lagi. Tiga kali Rasulullah mengucapkan hal itu dan selalu lelaki yang itu pula muncul di masjid. Abdullah bin Amr bin Ash merasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang dilakukan oleh lelaki itu sehingga Nabi yang mulia menyebutnya sebagai penghuni surga. Abdullah lalu mengunjungi rumah lelaki itu dan berkata, “Aku bertengkar dengan ayahku. Aku tak bisa tinggal serumah dengannya sementara ini. Bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk beberapa malam?” pinta Abdullah. “Silahkan,” lelaki itu membolehkan. Tinggallah Abdullah di rumahnya. Setiap malam ia mengawasi ibadah orang itu. “Tentulah ibadahnya sangat menakjubkan sampai Nabi menyebutnya penghuni surga,” pikir Abdullah. Tapi ternyata tak ada yang istimewa dalam ibadahnya. Lelaki itu tak salat malam; ia baru bangun menjelang waktu subuh. Terkadang ia bangun di tengah malam, tapi itu hanya untuk menggeserkan tempat tidurnya, berzikir sebentar, lalu tidur lagi. Selama tiga malam, Abdullah tidak melihat sesuatu yang khusus yang dilakukan orang itu. Akhirnya Abdullah pamit. Sebelum pergi, Abdullah berkata terus terang, “Sebetulnya aku tak bertengkar dengan ayahku. Aku hanya ingin tahu apa yang menjadikanmu sangat istimewa sehingga Nabi menyebutmu penghuni surga?” Orang itu menjawab, “Aku adalah seperti yang engkau lihat. Memang itulah diriku.” Abdullah pun akhirnya pergi. Tapi setelah agak jauh, lelaki itu memanggil kembali Abdullah. Ia menjelaskan, “Aku memang seperti yang engkau lihat. Hanya saja aku tak pernah tidur dengan menyimpan niat jelek terhadap sesama kaum muslimin.” Abdullah berkata, “Justru itulah yang tidak mampu aku lakukan; tidak menyimpan rasa dendam, benci, dan dengki terhadap sesama kaum muslimin….” Mungkin kita semua seperti Abdullah bin Amr bin Ash, kita tak bisa membuang niat jelek kita terhadap sesama kaum muslimin. Boleh jadi kita mampu berlama-lama salat, mampu mengisi malam dengan zikir, tapi seringkali kita tidak mampu untuk menyingkirkan dendam di hati kita terhadap sesama kaum muslimin. Salah satu bentuk kecintaan kita terhadap kaum muslimin adalah dengan menghilangkan rasa benci kita terhadap mereka. Apa pun mazhab mereka, bagaimana pun mazhab mereka, seperti apa pun golongan mereka, mereka adalah saudara kita dalam Islam. Bila ada sebesar debu saja kedengkian kita terhadap kaum muslimin, berarti kita sudah melanggar ajaran al-dînu nashîhah. Agama itu kecintaan yang tulus.
Posted on: Wed, 11 Sep 2013 03:20:18 +0000

Trending Topics



ass="sttext" style="margin-left:0px; min-height:30px;"> Fake Universities Bihar Maithili University/Vishwavidyalaya,
New Global Quest! The Bronze Warrior By the gods - we
good morning to all you lovelies, hope you are all well. there
Hey YAll!! Its been a great day off work. Ive ran errands all

Recently Viewed Topics




© 2015