…bahwa Andreas telah menemukan media seni lukis yang membebaskan dirinya dari luapan emosi kemarahan sekaligus menjadi wahana mengusung wacana aktivismenya dalam medan seni rupa. Jejak emosi itu membentuk identitas ekspresinya. Coba perhatikan sapuan kuasnya yang sangat tekstural. Hampir semua karyanya memperlihatkan jejak sapuan kuas yang kuat, kadang tampak sebagai imaji atau bentuk, menjadi ritme yang spontan tidak teratur, emosinya berselancar mengejar effek dramatis dan juga membentuk atmosfir yang ingin dia hadirkan. Saya bisa membayangkan bagaimana dia bekerja menata emosinya ke dalam warna, ke dalam bentuk, ke dalam ruang, dan berhasil membentuk kualitas tekstur ekspresif. Sangat ekspresif seakan memiliki kekuatan gerak yang menabrak imaji yang telah ada, atau menyembunyikannya bahkan menghilangkan yang ada. Dalam hati saya bertanya apakah dia sedang menawarkan suatu nilai metafora dalam karyanya? … saya pribadi menyampaikan penghargaan atas upaya dan terlebih lagi atas keyakinannya pada seni untuk mengungkap kebenaran. Art is a a lie that realizes the truth, kata Picasso. (dipetik dari tulisan ‘pembacaan kritis’ Dolorosa Sinaga) Boleh dibilang, karya-karya Andreas yang menggunakan objek petani, buruh atau masyarakat pesisir tengah memvisualisasikan secara artistik metabolisme sosial yang berlangsung di berbagai kompartemen sosial-ekonomi di mana energi beralih bentuk (dissipative compartments). Seperti manufaktur, pertanian, kehutanan, pertambangan, atau kelautan. Karya-karya Andreas adalah karya rupa terkait multi-dimensi, tentang yang ekonomi-politik, yang sosial, sekaligus yang biofisikal. Kalau kita cermati, kita akan melihat sebuah lingkaran – sebagai matahari, sumber energi yang agung, atau sebagai bulan yang merefleksikan terang matahari di malam hari – kerapkali hadir dan memberi semacam benang merah tematis untuk panggung karya-karyanya. Pada pandangan pertama, karya-karya Andreas seperti sedang “melagukan mati”, mengutip ungkapan S. Sudjojono tentang berkesenian. Pada pandangan kedua, yang lebih intim, dibalik kenyataan sosial-ekologis brutal di Indonesia yang ditampilkan Andreas terselip rasa takzim yang tinggi atas alam dan kemanusiaan.(dipetik dari tulisan ‘pembacaan kritis’ Sonny Mumbunan) Gema takut yang diungkapkan Andreas pada seluruh karyanya merupakan “heuristika ketakutan” untuk mendesakkan prinsip tanggungjawab kita sebagai kewajiban etis. Dari gema takut kita termotivasi untuk memikirkan ulang cara kita hidup –berproduksi dan konsumsi—dan mengubahkan sebagai wujud tanggungjawab etis kepada masa depan. Sampai di sini, karya Andreas yang saya katakan sebelumnya tidak memberi nikmat, mengandung pesan etis ala Jonas, yang bukan sekedar menghimbau melainkan bersifat imperatif kategoris – mewajibkan kita yang menontonnya untuk bertanggungjawab terhadap masa depan. Anda tidak sekedar diminta untuk menontoni gema takut atas keadaan apokaliptik, tetapi mewujudkannya sebagai tindakan penyelamatan biosfir dan kehidupan spesies saat ini untuk masa depan. (dipetik dari tulisan ‘pembacaan kritis’ Ruth Indiah Rahayu) Bagaimana mungkin memasukkan dalam kotak tertentu sebuah ekspresi yang pada gilirannya hanya merupakan penyempitan ruang gerak kebebasan berekspresi dan berkreasi. Perasaan, pengalaman, ide, pemikiran, gagasan maupun emosi yang diekspresikan seharusnya dapat diidentifikasi, namun muskil untuk “dijebloskan” dalam pengkotak-kotakkan. Sehingga jika kita hanya terpaku pada bentuk gambar yang dihasilkan Andreas, maka tidak akan pernah sampai pada pesan-pesan yang hendak disampaikan pelukis. (dipetik dari tulisan ‘pembacaan kritis’ BJD. Gayatri) Pameran Lukisan Bumi Buat Generasi Jingga KAMI AHLI WARIS BENCANA, DENGAR, HIRAUKAN! https://facebook/events/267314380083421/
Posted on: Wed, 25 Sep 2013 19:14:27 +0000