crita menegangkan anak indigo “Lisa...lagi lihat apa kamu - TopicsExpress



          

crita menegangkan anak indigo “Lisa...lagi lihat apa kamu sayang?” Lisa memandang ibunya, kemudian gadis kecil itu berlalu setelah tangannya digandeng ibunya dan pergi menuju tempat parkir supermarket. Tapi sesaat ia sempat menengok kebelakang. “Sudah Bunda bilang kan tadi...jangan jauh-jauh dari Bunda, memangnya Lisa tadi lihatin apaan sih?” Lisa terdiam, ia menunduk. Gadis enam tahun itu seperti tampak ragu-ragu. Ibunya berhenti, dan memandang sejenak putri kecilnya. Lisa terus menunduk dan takut memandang ibunya. Kemudian senyum mengembang tercipta di bibir ibunya. Lalu ia berjongkok dan memandang lekat Lisa, dipegangnya kedua pundak putrinya. “Lisa sayang...kamu kenapa?” Tanya ibunya ramah. Lisa masih menunduk. “Kok diem? Marah sama Bunda ya?” Tanyanya lagi. Lisa menggeleng-geleng. “Kok Lisa diem...ada apa sayang?” Lisa lalu mengangkat wajahnya, memandang ibunya lalu melihat ke belakang. Tangannya menunjuk ke arah belakang, ibunya mengikuti arah tangan putrinya dengan matanya. Lalu ia memandang putrinya dengan tak mengerti. “Memangnya Lisa lihat apa di sana...?” “A...a...ng!” Lisa gugup berkata, ibunya masih memandangnya dan membiarkan putri kecilnya itu untuk meneruskan kata-katanya. “Ayo sayang! Ngomong. Ada apa?” Ibunya dengan lemah lembut membujuknya. “Anak...anak kecil....” Ucap Lisa Ragu. Ibunya memandang heran, ia belum bisa menangkap maksud anaknya. “Anak kecil? Memangnya anak kecilnya kenapa sayang?” Lisa lalu memandang ibunya, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Ga....” “Ga....” “Ga? Ga apa? Ngomong yang jelas dong sayang!” “Bunda, Lisa lihat anak kecil itu....” “Iya, kenapa...anak kecilnya kenapa?” “Gantung diri, Bunda!” Lisa berkata agak keras. Ibunya tersentak kaget, lalu tiba-tiba ia memeluk putri kecilnya. “Kamu bilang apa sayang? Kok ngeri kaya gitu....” Ibunya panik, dalam hatinya ia tak mengerti apa yang terjadi dengan putri bungsunya ini, sekilas ia berdo’a dalam hatinya. Sambil terus memeluk anaknya. “Bunda...!” Seorang laki-laki paruh baya mendekati mereka berdua, laki-laki itu berkaca mata minus. “Ayah!” “Ada apa Bunda?” Ibu melepaskan pelukannya pada Lisa. “Anak kita Ayah, ia berkata aneh lagi!?” Sang ayah mengerutkan kening pada istrinya, lalu mendekati Lisa. Sang ayah tersenyum. Ia berjongkok, hal yang ia lakukan seperti ibunya. “Ada apa sayang? Ngomong sama Ayah!” Lisa menunduk, ia takut berkata lagi. Ia berpikir sudah membuat geger bundanya, apa ia pantas melakukan hal yang sama terhadap ayahnya? “Lisa...Lisa sayang, ayo ngomong sama Ayah...nggak pa-pa!”Ayahnya membujuk. Lisa menunduk. Ia takut membuat ayahnya kaget, takut membuat ayahnya panik seperti bundanya. Tapi ia juga tidak mau melihat ayahnya penasaran tentang apa yang ia lihat. Ayahnya ingin tahu, apa ia musti mengatakannya? Apa ia musti berterus terang pada ayahnya? “A...Ayah....” Ia membuka suara, sang ayah memandang antusias. “Ya, sayang?” Tanya ayahnya. Lalu Lisa menunduk lagi, sebentar-sebentar memandang ayahnya. “Ngomong aja sayang?!” “Anu...mmm!” Sang Ayah mengerutkan keningnya, lalu membuang pandangannya ke arah istrinya, sang ibu hanya mengangkat bahu. “Ayo Lisa, apa yang barusan kamu lihat....!” “......” “Ayo ngomong dong sayang, nggak apa-apa!” “Takut ayah, Lisa nggak mau buat Ayah takut!” Lisa berkata hati-hati, sang ayah tersenyum. “Ayah janji, ayah nggak akan takut!” Sang ayah mengangkat kedua jarinya ke atas, membentuk huruf “V”. “Beneran Ayah?!” Sang ayah tersenyum dan mengangguk. “Mmm....” “Lisa lihat di pohon itu...!” Lisa menunjuk ke arah belakangnya, sang ayah melihat apa yang ditunjukkan putri kecilnya itu, lalu memandang Lisa kembali. “Apa yang Lisa lihat?” “Anak kecil...ung...eng...lehernya...lehernya keiket tali...dia nggantung gitu, Ayah!” Sang ayah kaget, lalu dengan cepat memandang istrinya, Ibunya Lisa hanya mampu menutup mulut dengan kedua tangannya sambil geleng-geleng kepala. “Ayah takut? Maafin Lisa Ayah....” Melihat ayahnya bingung seperti itu, Lisa segera minta maaf. Sang Ayah tersenyum, lalu menggandeng tangan Lisa. “Ayah boleh lihat nggak?” Sang Ayah memandang putrinya, sebenarnya ia tahu bukan hanya sekali ini saja terjadi, Lisa melihat hal aneh lagi. “Ayah ingin lihat?” Tanya Lisa tak percaya. Sang Ayah mengangguk, lalu Lisa menggandeng ayahnya cepat meninggalkan tempat parkir supermarket. “Ayah!” Ibu memanggil dengan nada sedikit melarang, sang ayah cuma tersenyum. “Nggak apa-apa kok, Bunda tenang aja?” Ayah berkata sambil menggandeng Lisa. Ibu Lisa hanya mampu terdiam memandang keduanya pergi. “Itu Ayah!” Lisa menunjuk dengan jarinya, saat ia dan ayahnya telah berada di depan pohon kamboja itu. Sang ayah hanya memandang ranting-ranting tua di depanya, tak nampak apa yang dikatakan putri kecilnya. “Turunin dong Ayah, kasihan...dia udah melotot-lotot tuh!” Lisa memaksa Ayahnya. Sang ayah bingung ia tak melihat apa-apa. Cuma ranting-ranting kering yang menjulur dan bercabang-cabang. Apa yang musti ia turunkan. “Ayah kenapa diem?” Lisa merasa heran. Sang ayah memandang putri kecilnya itu, lalu ia berjongkok menjajarkan tubuhnya agar sejajar anaknya. “Lisa sayang, mmm....Ayah nggak bisa. Biar orang lain aja ya? Sekarang kita pulang yuk, Bunda sudah menunggu di mobil, oke sayang?” Sang ayah berkata lembut. Dan Lisa dengan tak mengerti dengan sikap ayahnya menurut saja. Tapi ia sekilas melihat ke arah belakang saat ia berjalan digandeng ayahnya. Batinnya terasa aneh, batinnya bertanya kenapa ayahnya tidak mau menolong anak itu? Nurani kekanakannya bertanya. Bukankah badan ayahnya tinggi? Mengapa ayahnya berkata tidak bisa? “Bagaimana Ayah?” Istrinya keluar dari mobil, lalu menemui suami dan putri kecilnya itu. Sang Ayah tersenyum sambil menggeleng. Lalu dituntunnya mereka ke dalam mobil. **** Sepuluh tahun kemudian... “Lisaaaaaaaaaaaaaa!!!” Aku kaget, tiba-tiba tubuhku dipeluk dari belakang. Aku berusaha menggeliat dan melihat siapa orang iseng yang melakukan ini padaku. “Ya ampun Rani? Ngapain kamu peluk aku...lepasin dong?” Aku menggeliat. Rani melepaskan pelukannya lalu ia duduk di sebelahku, dengan mendadak tanpa melihat orang yang lebih dahulu duduk di tempat itu. “Gila loe ya? Asal nubruk aja...liat-liat dong?” “Biarin, ini kan bangku duduk gue, weee!!” Aku tersenyum, melihat tingkah temanku satu ini. Lalu Rani memegang jemariku, ia seperti sedang bahagia. Kenapa sih ini anak? “Lisa loe tahu nggak? Semua ramalan tentang kemarin benar...Reno kemarin nembak gue!” Rani berkata antusias. Aku garuk-garuk kepala sambil nyengir. “Kok loe nggak suka? Kan loe udah berhasil meramal gue?!” Rani memandang heran. Aku semakin mempercepat menggaruk kepalaku. “Justru itu aku nggak suka, kenapa aku bisa berhasil ngeramal terus!” “Ya, itu keren dong!” Rani tersenyum bangga. “Ye, enak di kamu nggak enak di aku!” Aku bergegas pergi meninggalkan Rani yang bengong melihat aku meninggalkannya. “Lisa! Tungguin gue!!!” “Apa lagi?” Aku menoleh. Rani tersenyum manja padaku, aku memandangnya aneh. “Ramalin lagi dong?” “Ha? Ramalin lagi? Ogah ah!” Aku lalu pergi meninggalkannya. Kudengar Rani berteriak memanggil. Tapi aku tetap terus berjalan. “Lisa! Tunggu Sa!” Langkahku terhenti saat Pak Yusuf, guru olahraga memanggilku. “Ada apa Pak?” Aku bertanya. Ia tersenyum. “Gini Sa...Bapak mau minta tolong. Besok kan giliran kelas kamu olahraga...nah Bapak ingin besok kalian main volly. Kebetulan sekolah sudah membeli bola baru. Tolong kamu cek di ruang olahraga, bola-bola itu sudah ada atau belum...gimana Lisa?” “Mmm...baik Pak!” Pak Yusuf menyerahkan kunci ruang olahraga. Bersamaan dengan itu Rani telah berada di sampingku. “Ada apa sih?” Rani berbisik sambil menggandeng tanganku. “Mau tau aja! Yuk temenin aku!” “Kemana? Ngecengin cowok ya?” “Hus! Pokoknya ikut deh!” Aku dan Rani kemudian menuju ruang olahraga. Lumayan jauh dari kelas. Karena letaknya di belakang tepat ruang tata usaha. “Kenapa sih kita ketempat angker ini?” Rani mendengus kesal saat aku telah membuka pintu ruang olahraga. Pengap, panas, dan bau menyapa kedatangan kami. Maklum ruang olahraga ini sudah jarang dikunjungi, tapi untuk sementara ruang olahraga ini digunakan untuk menyimpan peralatan olahraga sampai ruang olahraga yang baru selesai dibangun. Aku dan Rani berjalan hati-hati. Disana-sini banyak ditemui bekas sarang-sarang laba-laba. Kotor banget. “Aku disuruh Pak Yusuf untuk ngecek bola-bola baru yang habis dibeli sekolah, jadi aku....” Tiba-tiba kata-kataku terhenti. Aku mendengar suara aneh. “Kenapa Sa?” Rani bertanya saat tiba-tiba aku memasang tampang waspada. “Sa...?” Tanya Rani lagi. Tapi segera aku mengangkat tangan kiriku guna menyuruh Rani diam sejenak. “Kamu denger suara barusan nggak?” Tanyaku. Rani memandang aneh kearahku saat aku melontarkan pertanyaan itu. “Suara? Suara apaan? Oh....itu, emang! Perut gue lagi mules!” Rani berkata sambil mengusap perutnya. Padahal bukan itu yang aku dengar. “Bukan itu yang aku dengar, tapi....” “Suara bel masuk kali?” Rani memotong. Sok tahu ini anak, batinku. Padahal aku barusan mendengar suara tangisan bocah. Jelas sekali. “Nggak Ran, bukan bel tapi..suara bocah kecil nangis...kamu denger nggak?!” “Uah! Sebel-sebel!!! Gitu deh Lisa mulai nakut-nakutin!” Rani memukul lembut pundakku berkali-kali. “Aku serius, Rani! Barusan aku denger jelas suara anak nangis...suer!” Wajah Rani berubah serius, saat melihat mimik wajahku tampak tak memperlihatkan canda. Dan kemudian ia berubah pucat pasi. “Sa, kita keluar yuk?! Gue takut nih!” Aku mengangguk. Perasaanku memang benar-benar sudah tak enak. Sekilas aku melihat bola-bola yang dikatakan pak guru telah terletak rapi di pojok ruang olahraga ini. Tapi...ups! Apa itu? “Bentar Ran...bentar!” Aku menahan tangan Rani. Rani cemberut. “Apa lagi sih?” “Sebentar!” Aku melihat sesuatu yang mengganjal. Kulihat sebuah kayu berbentuk segiempat di lantai. Di kayu tersebut terdapat gembok yang berkarat. Kudekati kayu itu. Aku merasakan itu sebuah pintu bawah tanah. Ya tak salah lagi...ada gagangnya. Aku mencoba menyentuh gagang pintu kayu itu, tapi... “Lisa...cepetan! gue udah nggak tahan nih!” Rani setengah teriak. Aku batalkan niatku melakukannya, kemudian aku menuju tempat Rani. Lalu segera kami meninggalkan ruang olahraga. Tentu kukunci dulu sebelumnya. Saat pelajaran berlangsung aku terus memikirkan pintu tadi. Aku merasa ada sesuatu rahasia di dalamnya. Entah sesuatu yang mengerikan atau sesuatu yang disembunyikan. Tapi sepintas aku mendengar suara bocah menangis....bocah menangis? Kenapa ada bocah menangis disana? Itu pasti arwah. Ya! Arwah penasaran. Tapi...kenapa ada arwah penasaran di ruang olahraga? Oke sih ruang itu memang pengap, kotor dan jarang di bersihkan. Tapi...masa hanya karena alasan itu ada arwah penasaran...bocah lagi. Pasti ada yang aneh. Pasti! Atau mungkin ada hubungannya dengan pintu tadi? Bisa jadi! Aku terus bergulat dengan pikiranku sendiri, ribuan pertanyaan mengganjal otakku. Sial hanya aku yang mampu mengetahui kejadian tadi. Andai... tunggu! Aku tahu siapa yang tahu hal seperti ini! Kak Dyah! Pukul setengah tiga sore usai sekolah, aku menunggu sosok kakak kelas sekaligus sepupuku yang terkenal manis se-kelas tiga di pintu gerbang. Apalagi ia juga seperti aku...seorang indigo. Kemampuan sixthsense-nya sangat hebat, tapi sayang ia anak kalem, sedikit ngomong jika bersama orang lain tapi kalau bersama aku, wah! Seperti klakson yang tak pernah berhenti alias ramai. “Kak Dyah!” Aku melambaikan tangan saat kulihat sosok kakak sepupuku itu. Ia tersenyum lalu berlari menuju kearahku. “Aduh adikku...Kakak rindu banget sama loe!” Tiba-tiba ia memelukku. Aneh kan? “Ada apa sayang? Tumben nungguin Kakak?” Tanyanya kemudian. Aku lalu menceritakan hal yang aku alami padanya. Kemudian kak Dyah tiba-tiba memperlihatkan ekspresi serius. Jika dia sudah seperti ini itu tandanya sedang memusatkan pikirannya. “Lisa! Besok anterin Kakak...ada yang aneh di tempat itu!” “Iya Kak!” Setelah kami saling menyetujui kami pun mengganti topik pembicaraan. Biasa pembicaraan kaum cewek hehehe.... Akhirnya setelah hampir telihat rumahku, aku berpamitan pada kak Dyah, ia mengingatkan besok jangan lupa. Aku mengangguk. Pukul delapan malam, aku masih sibuk di depan komputer...hari ini banyak sekali email masuk. Biasa cewek cantik banyak penggemar! Hehehehe... Lagi asyik-asyiknya membaca email-email itu, HP-ku berbunyi. Aku lihat nomor asing. Aku angkat...terdengar dari seberang sana mengalun musik yang aneh. Seperti suara kotak musik. Aku terus mendengar...aku seperti tersihir oleh suara itu. Kemudian.... “Tolong...tolong kami...tolong...tolong kami...bantu kami...kami sudah nggak tahan...tolong...tolong...kami.....TUUUUUUUUT!!!” Aku tersentak kaget, suara anak perempuan. Suara siapa tadi? Itu tak mungkin suara temanku. Tak mungkin suara Rani. Jangan-jangan itu suara.... “Lisa!” Aku tersentak kaget. Ternyata bunda sudah di belakangku. “Bunda! Ngagetin deh...hampir aja jantung Lisa copot!” Jawabku sambil memegang dada. Bunda geleng-geleng kepala. “Kamu ini...makanya olahraga biar nggak kagetan...tuh ada telpon untuk kamu!” Aku sumringah lupa kalau aku baru saja tegang. Segera aku beranjak dari tempat tidur. “Dari siapa bunda?” “Dari Sepupumu!” Jawab bunda. Aku segera turun kebawah, lalu mengangkat gagang telepon. Terdengarlah suara di sana. “Lisa, Loe barusan dapat telpon nggak?” “Maksud Kakak?” “Telpon aneh!” “Maksud kakak telpon anak kecil aneh yang ada suara musik kotaknya?” “Itu yang Kakak maksudkan!” Aku kaget lagi, apa mungkin kak Dyah mengalami hal yang sama. “Kenapa Kak Dyah bisa tahu?” Aku balik bertanya. Kudengar kak Dyah mengambil nafas panjang. “Kakak juga barusan ditelpon anak itu!” Jawabnya. Aku melotot. Juga? “Apa? Yang bener Kak? Terus gimana sekarang Kak?” “Gini Sa, kita malam ini ke sekolah...ini udah parah! Mereka Kakak rasakan sedang butuh pertolongan kita!” Katanya agak sedikit berbisik. Aku kaget dengan ide konyolnya. “Pertolongan? Malam ini? Nggak salah Kak?” “Ya iya lah! Loe takut?” “Nggak sih...tapi Bunda sama Ayah pasti ngelarang Lisa pergi malem-malem gini!” “Ckk...gampang! Biar Kakak yang urus deh, sekarang Loe siap-siap tunggu kedatangan Kakak, key?” Aku mengiyakan saja. Setelah pembicaraan ditutup, segera aku menuju kamarku. Kubanting tubuhku ke tempat tidur, aku sudah enggan dengan email-email yang masuk. Seperempat jam kemudian pintu kamarku terbuka. Ternyata bunda. “Lisa, kamu ditungguin Kak Dyah tuh...kenapa kamu nggak bilang sama Bunda kalau hari ini ada kegiatan malam di sekolah!” Bundaku geleng-geleng kepala. Apa? Kegiatan malam? Oh! Mungkinkah ini alasan kak Dyah? Keren juga! Aku segera meninggalkan bunda, tapi.... “Kamu nggak bawa tas?” Ups! Benar juga. “I...Iya Bunda!” Tak lama kemudian aku telah siap. Kutemui kak Dyah yang sudah siap di luar. Dia sedang berbincang dengan Ayah. Kulihat kak Dyah berpenampilan keren hari ini. Memakai gaun yang serba gelap dan asli stile gothic banget. Mau pesta helloween mungkin ya? “Sayang hati-hati, ya?” Ayah mencium keningku. Aku mengangguk. “Oya, Dyah...jaga sepupumu!” “Siap Om!” Aku dan kak Dyah segera bergegas menuju sekolah. Suasana begitu sepi, walaupun ini malam minggu. Sepanjang perjalanan kak Dyah memperlihatkan ekspresi yang serius. Tak seperti biasanya yang selalu bercanda. Seperempat jam kemudian kami telah berada di depan sekolah. Benar-benar mencekam. Biarpun diterangi lampu-lampu, tetap saja sekolahku seperti istana hantu. Segera kami dorong pintu gerbang. Setelah terbuka kami berdua pun masuk. Saat sampai di lapangan basket, aku melihat banyak sekali anak-anak. Pakaian mereka seperti lusuh dan kotor sekali. Sepintas aku heran mengapa banyak anak-anak di sini. Namun aku segera tahu jawabannya. Mereka bukan manusia. Aku mengetahui hal itu karena kaki mereka tak menyentuh tanah. “Kak?” Aku menyenggol tangan kak Dyah. “Kakak liat kok, udah loe tenang aja!” Kami berdua pun bergegas menuju ruang olahraga. Benar-benar mencekam saat kami telah berada di depan ruangan itu. Sayup-sayup dari kejauhan aku mendengar lolongan anjing. “Ya ampun tempat ini benar-benar....” Kak Dyah tak meneruskan kata-katanya, ia melihat anak-anak tadi serentak memasuki ruang olahraga ini dengan cara menembus dinding-dinding ruang olahraga. “Lisa, cepetan buka pintunya!” Pinta kak Dyah, aku tesentak dari kagetku. “I...iya Kak!” Kubuka pintu ruang olahraga itu dengan kunci yang diberikan pak guru siang tadi. Sengaja aku tak mengembalikan kunci ini kepada pak guru. Karena masalah gawat ini. “KRIIIEEK!!!” Pintu kubuka perlahan. Pengap, bau tak sedap menyapa kedatangan kami. “Aaaau!” Aku menjerit, otomatis kupegang tangan kak Dyah. “Kenapa, Sa?!” Tanya kak Dyah panik. “Ada tikus, Kak!” “Dasar! Kira Kakak. Loe lihat....” Kak Dyah tak meneruskan kata-katanya lagi, aku tahu ia melihat sesuatu yang aneh. Benar saja anak-anak kecil tadi terlihat sedang berkumpul di pojok ruang olahraga ini. Aku juga melihatnya dengan jelas. Tapi tunggu...mereka berkumpul tepat diatas pintu yang kutemukan tadi siang. Pintu bawah tanah! “Kak Dyah...itu pintunya!” Aku menunjuk kearah anak-anak berkumpul itu. “Ayo kesana! Kita akan tau rahasia apa yang ada di dalamnya!” Kak Dyah segera berjalan kearah anak-anak itu, tapi segera aku cegah. “Tunggu Kak!” “Ada apa lagi?” “Bagaimana dengan anak-anak itu?” Aku menunjuk mereka yang sedang berkumpul dan asyik memperhatikan kami. “Loe tenang aja...mereka cuma arwah!” Kak Dyah menggandeng tanganku lalu mendekati pintu bawah tanah itu. “Digembok Kak!” Seruku. “Bentar! Lisa, ambilin stik baseball itu!” Kak Dyah menyuruhku mengambil stik baseball yang tergeletak di pojok ruangan. Aku ambil dan segera kuberikan kepada kak Dyah. “TRAAANG!!!” Gembok itu patah oleh pukulan stik baseball. Kak Dyah melempar stik itu lalu membuka pintu bawah tanah tersebut. Aneh! Bersamaan dengan terbukanya pintu itu, arwah anak-anak itu menghilang. “Kak...mereka udah nggak ada?” Aku berbisik. “Loe tenang aja...mereka masuk kedalam sini!” Kak Dyah membuka lebar-lebar pintu itu, ternyata di dalamnya ada sebuah tangga. “Kita turun!” Kak Dyah duluan menjejakkan kakinya ke tangga berdebu itu. Setelah kami sampai di dasar kami benar-benar tak bisa percaya apa yang kami lihat. “Pe...penjara bawah tanah?” Kak Dyah terpana. Begitu juga aku. Dan yang paling mengejutkan di dalam ruang bertrali besi itu terdapat onggokan tulang-belulang, sepertinya tulang belulang anak-anak. Tampak jelas oleh sorotan senterku kepala tengkorak itu kecil, tidak sebesar ukuran tengkorak orang dewasa. “Apa yang terjadi dengan mereka kak?” Aku berbisik sambil menahan kengerian yang sangat. “Gue nggak ngerti...mereka kayaknya dikurung hidup-hidup...dan dibiarin mati disini...Lisa! Kita harus cari bantuan...ayo cepetan!” Kak Dyah tiba-tiba menggandengku dan berlari meninggalkan ruangan itu. Setengah jam kemudian setelah kami berdua mengabarkan penemuan kami di pos polisi. Polisi dan ambulan berdatangan kesekolah kami. Mereka mengangkut mayat-mayat anak-anak itu ke dalam mobil ambulan. Tak lama kemudian kepala sekolah datang. “Kalian hebat bisa menemukan penemuan mengejutkan ini, tapi...kenapa kalian bisa di sini?” Pak kepala sekolah bertanya heran dengan kami. Aku tak mampu menjawab. Kak Dyah tersenyum. “Insting kami nggak enak aja Pak!” Kak Dyah tersenyum manis, pak kepala sekolah mengangguk mengerti. Maklumlah kak Dyah memang telah terkenal dengan sixthsense-nya di sekolah ini, jadi apa yang ia katakan tentang berbau hal seperti ini orang sudah maklum. “Pak! Ada apa dengan tempat itu dulunya? Kenapa banyak mayat anak kecil?” Aku bertanya penasaran. “Katanya dulu tempat itu dijadikan tempat percobaan sebuah laboratorium profesor gila...dia menculik anak-anak SD untuk di jadikan bahan percobaannya...tapi sejak ia di tangkap karena dituduh menculik anak-anak SD tersebut, akhirnya percobaannya gagal. Dan saat polisi mencari anak-anak tersebut, mereka tidak berhasil menemukannya...” “Kenapa Pak? Kenapa mereka tidak berhasil?” “Sebuah gempa hebat memporak-porandakan laboratorium si profesor...setelah gempa usai, mereka mencari lagi...mungkin karena tertimbun tanah, para polisi itu tak mengetahui kalau anak-anak itu ada di dalam tanah!” Pak kepala sekolah membenarkan letak kacamatanya sambil memperhatikan petugas mengusung mayat anak-anak itu. “Sampai dibangunnya sekolah ini, belum pernah ada yang mengetahui kalau ada pintu rahasia itu...sampai akhirnya kalian berdualah yang menguak misteri ini!” Pak kepala sekolah melangkah pergi meninggalkan kami. Aku tersenyum pahit. Dalam hatiku masih menyimpan kengerian tentang mereka. Tentang anak-anak kecil itu. Tapi di sisi lain hatiku bertanya, mengapa saat dibangunnya sekolah ini tak ada yang mengetahui satupun orang tentang pintu rahasia itu? Apa sengaja ditutup-tutupi? Huuf! Aku mendesah panjang. Sambil melihat petugas-petugas mengusung satu-persatu mayat anak-anak malang itu. “Kita pulang yuk, Sa?” Kak Dyah menepuk bahuku. Aku pun mengangguk. Sebelum aku melangkah, sepintas arwah anak-anak itu tersenyum dan melambai-lambaikan tangan kearahku. “Mereka udah bahagia, Dek!” Kak Dyah tersenyum, aku pun memandang kak Dyah, lalu senyum manisku kusunggingkan. “Ya! Mereka udah bisa tenang sekarang!” van --------------------- gunakan lah hak pilih mu dg sbaek mungkin karna itu adala sbuah amanat bagi smua umat Kata-kata bijak & motivasi
Posted on: Fri, 30 Aug 2013 12:39:19 +0000

Trending Topics



e="margin-left:0px; min-height:30px;"> Pray for Sharon Pattersons brother and his wife. They were in a
Happy New Year! “The common expression, “He is as Dutch as

Recently Viewed Topics




© 2015