membangun kembali kejayaan Aceh dengan membangkitkan - TopicsExpress



          

membangun kembali kejayaan Aceh dengan membangkitkan pelabuhan-pelabuhan strategis yang ada di daerah ini. Diantara pelabuhan itu yaitu Sabang, Malahayati, Kuala Langsa, Krueng Geukuh dan Teluk Surin yang pernah berjaya pada era kerajaan tempo dulu. (Baca : Impian Ekonomi Pelabuhan Aceh). Pelabuhan-pelabuhan ini sudah berdiri sejak Kerajaan Aceh Darussalam belum terbentuk. Bahkan sudah ada sejak kehidupan primitif menguasai daratan Sumatera. Banyak versi yang menyebutkan sejarah berdirinya pelabuhan di Aceh dan cerita rakyat di dalamnya. Apalagi di abad 16 saat Aceh “ditemukan” Portugis, daerah ini sudah memiliki pelabuhan dagang yang sudah maju pada perbatasan dua dunia. Selain itu, sejarah pelabuhan Aceh juga pernah dinukilkan dalam sumber dari beberapa negara seperti Cina, Arab, India bahkan Eropa. Catatan sejarah ini merupakan bukti yang cukup kuat bahwa pelabuhan dagang Aceh sudah ada sejak dulu kala. Pelabuhan dagang ini ketika didapati sudah menjadi persimpangan internasional. Menurut Sejarah Dinasti Liang abad ke 6, seperti dinukilkan Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda, telah menyebutkan adanya kerajaan Poli yang rajanya beragama Budha dan memiliki pelabuhan dagang di sana. Saat itu, negara yang berada di ujung Pulau Sumatera ini sudah mengirimkan utusannya ke istana raja-raja Liang pada tahun 518. Sementara mulai abad ke-9 beberapa teks Arab menyebut suatu daerah yang bernama Rāmi atau Ramni serta terkadang disebut Lamri yang terletak di ujung Sumatera. Sementara pada tahun 1030 atau 1031, menurut Denys Lombard, prasasti Thanjavur menyebutnya dengan tanah Ilāmurideśam. Prasasti itu menyebutkan tanah tersebut terletak dekat Mānakkavāram atau Pulau Nikobar Besar yang diperintah oleh Rājendracoḷadeva I. Untuk mencapai daerah ini disebutkan harus melewati Terusan Surat dari Gujarat atau jalur sutera dari Malaka. Di abad ke 13 teks-teks dari Cina menyebut nama Lanwuli atau Lanli yang mengingatkan akan daerah bernama Lamuri. Sementara pada akhir abad ke 13, Marco Polo singgah di pelabuhan-pelabuhan bagian utara Sumatera dan memberitakan terdapatnya agama Islam di salah satu dari enam pelabuhan dagang yang dikunjunginya. Diantaranya, tulis Denys Lombard merujuk pada kesaksian Marco Polo, yaitu Ferlec, Basman, Sumatra, Dagroian, Lambri, dan Fansur. Penyebutan nama pelabuhan di negeri Lamuri juga disampaikan oleh Ibnu Sa’id di akhir abad ke 13 oleh Rasyid ad Din pada tahun 1310 dan oleh Abulfida pada 1273 hingga 1331. Rasyid ad Din bahkan menyebutkan Lamuri saat itu telah memiliki raja sendiri. Sementara Abulfida memperkenalkan daerah itu sebagai tempat utama penghasil komoditas kayu sapang dan bambu. Pada tahun 1323 biarawan Odoric de Pordenone dengan marah menunjuk adat kebiasaan biadab atau poligami dan kanibalisme di negeri Lamuri. Sumber lainnya yang menyebutkan adanya pelabuhan negara Lamuri juga termaktub dalam Kitab Nāgarakertāgama. Kitab Majapahit tersebut menyebut Lamuri bersama Tamiang, Perlak, Samudra, Barus dan Barat merupakan sekutu “setia” kerajaan di Jawa tersebut. Dari beragam catatan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan adanya pelabuhan dagang di pesisir sebuah daerah di ujung Sumatera. Pelabuhan-pelabuhan ini diramaikan oleh pedagang-pedagang asing yang berlabuh di sana. Seperti kapal dari India atau Cina yang membawa hasil-hasil alam seperti kamper, kayu sapang, kayu gaharu dan kasturi. Persaingan dagang telah terjadi antara penjelajah asing saat itu di pelabuhan yang kerap disebut dengan Lamuri. Namun di abad ke 14 terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut. Setidaknya campur tangan pedagang asing seperti dari India telah mempengaruhi sistem perekonomian di beberapa pelabuhan dagang ini, termasuk Lamuri. Penjelajah dari Asia Selatan ini telah memperkenalkan penanaman lada kepada penduduk setempat sebagai mata pencaharian hidup dan barang yang bisa diekspor saat itu. Sementara di saat bangsa Portugis mendatangi Pulau Sumatera di tahun 1509, posisi Lamuri telah digantikan oleh dua pelabuhan dagang lainnya seperti Pasee dan Pidir. Pengarang suma oriental Tome Pires menyebutkan, Pasee bagi sebagian penjelajah saat itu disebut dengan Camotora. Daerah ini memiliki 20 ribu penduduk yang didominasi oleh Benggali yang telah menjadi muslim berkat bangsa Mor. “Pidir dahulu kala menguasai pintu masuk ke selat-selat, memegang seluruh perniagaan dan lebih ramai didatangi daripada Pacee,” kata Tome Pires seperti dikutip Denys Lombard. Namun, kata Pires, para pedagang masih terus berdatangan setiap tahunnya ke daerah ini seperti dari Kambay dan dari Benggala serta dari Benua Quelin atau Kling (Kalingga) dari pantai timur India. Selain itu, pelabuhan tersebut juga masih dikunjungi oleh kapal Pegu. Pengaruh pelabuhan ini kian surut sejak Kerajaan Aceh dibentuk pada 22 April 1205 (Baca : Jejak sejarah Banda Aceh di Tepi Kuala Naga). Setiap pedagang asing yang masuk ke Aceh harus melalui Kuala Naga atau Krueng Aceh. Jikapun ada pedagang-pedagang yang melakukan transaksi di pelabuhan Lamuri, Pidir dan Pasai maka harus dicatat oleh beacukai untuk diserahkan laporannya ke pusat kerajaan. Bagi beberapa pedagang yang belum memiliki izin berdagang dari Sultan Aceh, maka dianjurkan untuk mengurus administrasinya ke Banda Aceh. Di masa kejayaan pelabuhan-pelabuhan ini, Sabang atau Pulau Weh saat itu hanya sebuah daerah yang tidak digubris oleh kerajaan. Pulau Weh atau dikenal dengan sebutan Gamispola oleh Marco Polo bersama dengan Pulau Breuh dan Pulau Bunta sangat berbahaya untuk didarati. De Graff salah satu penjelajah Belanda telah merasakan ganasnya pantai Pulau Weh yang dipenuhi karang saat ia hendak menuju Kerajaan Aceh. “Kami berlayar menyusuri tepi barat Sumatera dan nyaris kandas pada karang-karang Pulo Way (Pulau Weh) dan seandainya laut pada waktu itu tinggi, rasa-rasanya kami tidak bakal bisa selamat,” ujar De Graff. Teluk Sabang di Pulau Weh baru ditata ulang saat Hindia Belanda mendarat di Aceh. Saat itu Verenigde Oost Compagnie atau VOC sebagai komunitas dagang Belanda di Selat Malaka membangun Kolen Station di pulau tersebut. Sejak itu, Sabang menjadi salah satu primadona pelabuhan di Aceh. Apalagi sejak dibuka menjadi pelabuhan dagang dan perdagangan bebas sejak tahun 1963 hingga 1985.
Posted on: Tue, 02 Jul 2013 05:46:16 +0000

Trending Topics



> :30px;">
Watching at my daughter Sofia comes in my mind that I cant stop
I say, pausing in between, I remain bowed, The temperament of
in-height:30px;">
I was asked to read Proverbs 14: 1-18 and it had a couple of
[TÍNH CÁCH TIỀM ẨN "KHÔNG AI NGỜ TỚI" CỦA 12 CHÒM

Recently Viewed Topics




© 2015