negri 5 menara 05 Maka selesai shalat Ashar berjamaah, aku - TopicsExpress



          

negri 5 menara 05 Maka selesai shalat Ashar berjamaah, aku tepekur lebih lama dan memanjatkan doa sebagai seorang jasus yang “teraniaya” karena belum dapat menemukan pelanggar aturan. Aku dengan khusyuk memohon Allah memudahkan misi ini sehingga kehidupanku kembali tenang dan damai. “Man jadda wajada,” teriakku pada diri sendiri. Sepotong syair Arab yang diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Dan sore ini, dalam 3 jam ini, aku bertekad akan bersungguh sungguh menjadi jasus. Aku percaya Tuhan dan alam-Nya akan membantuku, karena imbalan kesungguhan hanyalah kesuksesan. Bismillah. Sebagai bentuk dari kesungguhan ini, aku gambar sebuah rute pencarian yang detail di buku tulis dan aku hitung waktu yang dihabiskan, sehingga jadwalnya cocok dengan 3 jam yang tersisa. Putaran pertamaku adalah lapangan olahraga, lalu perpustakaan, dan yang terakhir adalah antri mandi sore di 3 asrama berbeda. Aku mencoba menghitung kemungkinan terbesar karena di tiga tempat inilah terjadi akumulasi massa di sore hari. Apalagi yang aku butuhkan hanya 2 kesalahan saja. Sebenarnya aku cemas dengan prospek 3 jam ke depan. Tapi, belajar dari Said, aku memilih optimis saja. Rumus man jadda wajada terbukti mujarab. Kesungguhanku segera dibalas kontan. Dalam tempo hanya satu jam saja, ajaib kedua kartuku terisi. Aku memergoki seorang anak W»3 memotong antri diam-diam di kamar mandi umum. Sementara dilapangan basket, seorang kawan makan dan minum sambil W? diri. Aturan di PM, makan dan minum harus sambil duduk Yes, terima kasih Allah, kataku sambil mengepalkan tangan ke udara. Dan dengan dada membusung aku berjalan ke kantor keamanan pusat untuk menyerahkan hasil misiku dan merebut kemerdekaanku kembali. Sarung dan Kurban “Akhi, lima menit lagi kamar harus kosong, waktunya ke Masjid.” seru Kak Is. Pintu kayu kamar kami bergetar getar digedornya. Kami semua tergopoh-gopoh, tidak ada yang berani berleha-leha. Tyson dan pasukan “The magnificent Seven” -nya pasti telah berjaga-jaga, Aku segera menarik sarung dari lemari. Seperti yang telah diajarkan Kak ls, dengan cepat aku langkahkan kaki ke tengah bulatan sarung, dan aku angkat ujung sarung petinggi dada. Bagian yang bergaris-garis lebih gelap aku atur supaya berada di bagian belakang badan. Bagian atas dilipat sedikit ke dalam untuk menyesuaikan dengan tinggi badan. .Wt… wrt.. hap . Sambil melentingkan badan sedikit ke belakang aku ayunkan kedua tangan bergantian dengan cepat untuk melipat ujung sarung, pas di depan dada. Beberapa saat aku gunakan untuk memadatkan lipatannya dan memastikan ujung bawah rapi rata kiri kanan dan ujung baju masuk ke dalam sarung. Begitu semua terasa pas, mulai aku gulung ujung sarung dari atas sampai setinggi pusar. Sejenak, aku cek lagi kalau semuanya telah rapi dan licin, tidak ada gombak dan kusut. Prosesi ini aku rutup dengan melingkarkan ikat pinggang di atas gulungan tadi. Rapi jali. Ujungnya simetris, kuat, tidak ada riak dan lembang yang berarti. Benar-benar sarung yang gagah. Semua kulakukan dalam hitungi detik. Dengan teknik ini, sarung menempel dibadan seperti dilem. Diajak lari dan ditarik-tarikpun, sarung akan tetap utuh dan kokoh. Seandainya ada lomba memakai sarung, aku yakin pasti menjadi juara dunia. Waktu berangkat ke PM, Amak memuat empat sarung ke tasku. Beliau percaya anak pondok identik dengan sarung. Tapi ternyata empat sarung yang Amak masukan ke tas itu tidak terpakai sesering yang aku dan Amak bayangkan Pada kenyataannya sarung dipakai selama beberapa jam saja, ketika shalat berjamaah. Sisanya harus bercelana panjang atau bercelana olahraga. Bahkan ada jam larang pakai sarung, yaitu selama jam tidur. Tidur harus bercelana panjang. Belakangan aku menyadari bahwa sarung sangat multi fungsi. Di waktu malam, menjadi penambah selimut di atas celana panjang, bisa menjadi karung pakaian kotor dengan mengikat satu ujungnya, dan bahkan bisa menjadi spanduk darurat. Tinggal menempelkan huruf huruf dari karton warnawarni; Jadilah spanduk bercorak kotak-kotak. Setelah sarung, giliran kopiah yang aku songkokkan ke ke pala. Di PM, kopiah harus berlapis bahan bludru hitam, tidak boleh warna lain. Sedangkan model bisa saja betmacammacam. Ada yang lurus sederhana, hergombak di atasnya, ada yang bisa dilipat dan yang keras seperti helm. Umumnya kopiah keras dan bergombak ini karya pengrajin kopiah terkenal di Sumatera Barat, H. Sjarbaini. Sedangkan buatan Jawa umumnya bisa dilipat dan lebih ringkas. Ada juga desain yang sudah lebih maju, kopiah hitam ini punya lubang angin di ujung depan dan belakang, sehingga kepala lebih berangin dan kulit kepala tidak bau. Yang membedakan mahal dan murah adalah ketebalan dan kehalusan beludru seberapa tahanterhadap percikan air. Kopiah ini juga sangar berguna sebagai kipas tangan kalau kepanasan. Aku juga biasa menyelipkan uang ribuan terakhirku di lipitan kopiah. Di masa menyambut ujian, aku menaruh catatan kecil untuk hapalan juga di lipitan kopiah ini. Tentu tidak bisa untuk contekan, karena kopiah dilarang di ruang ujian. Kopiah lipat ternyata juga cukup empuk untuk dijadikan bantal darurat Aku sampirkan sajadah yang sudah dilipat di bahu kanan. Sebagai pengganti sajadah, ada kawan lain yang memakai sorban. Kelengkapan lain yang harus dibawa ke masjid tentunya Al Quran. Kami punya kebebasan luas untuk menggunakan Ai-Quran, mulai dari yang sebesar dompet sampai sebesar map. Dari terjemahan sampai terbitan Arab, yang sebagian hurufnya pasti gundul. Asal kitab ini kami pegang dengan tangan kanan dan dibawa dengan mendekapkan ke dada. Dan barang kecil yang tidak boleh lupa, adalah papan namz yang disematkan dengan peniti di dada sebelah kiri atas. Baso —di tengah kecerdasannya—paling sering lupa memakainja sehingga dia menjadi langganan mahkamah. Warna papan nama berbeda untuk setiap kelas dan harus dipakai kapan saja dan dimana saja. Mungkin di balik begitu pentingnya kedudukan papan nama ini untuk memastikan ribuan orang yang ada di PM saling tahu masing-masing. Sedangkan keuntungan buat jasus, MPP tidak perlu bertanya nama korbannya. Tinggal lirik sekejap dan cacat di karcis jasus. Tidak heran, baju kami di dada kiri pasti berlubang-lubang kehitaman. Dengan aksesoris lengkap ini, barulah aku melangkah ke masjid. Memakai semua ini cukup lima menit saja. Sret… irrt… sarungku berdesau-desau seiring langkah cepat supaya tidak ditangkap Tyson. Suatu ketika Baso bercerita kepada kami, dia pernah lupa di mana menjemur sarungnya yang hanya ada satu, sementara sebentar lagi bel ke masjid. Mau meminjam, sudah tidak ada lagi orang di kamar. Dia mencoba mencari-cari sarung yang tidak terpakai di sudut-sudut kamar, tapi yang ada cuma selimut tipis batang padi yang bergaris-garis. Merasa tertekan dengan lonceng yang sudah bertalu-talu menandakan waktu ke masjid, Baso langsung merenggut selimut dan dan melilitkan ke pinggangnya, seperti memakai sarung. Di detikdetik terakhir dia akhirnya berangkat ke masjid. Tergesa-gesa lewat di depan Tyson yang keheranan melihat ada orang memakai sarung yang mirip selimut. Bicara tentang sarung, ingatanku melayang ke pengalaman pertama mengenal manfaat sehelai sarung. Ketika ku aku duduk di bangku SD dan sedang libur catur wulan pertama. Ayah mengayakku pergi ke pasar di Matur, sebuah daerah di puncak bukit nun di atas kampung kami. Aku dan teman-teman SD selalu senang melihat dari kejauhan sebuah menara pemancar TVRI tinggi menjulang di sebuah titik di gugusan bukit yang melingkungi Danau Manmjau. Kata Ayah, Matur ada di belakang menara itu. Ah alangjkah menyenangkan bisa jalan-jalan ke Matur. Selain ke pasar, Ayah berjanji membawa aku melihat menara yang gagah itu dari dekat. Selama seminggu aku tidak sabar menunggu hari betrukar jadi Kamis satu-satunya hari pasar di Matur. Di malam Kamis aku bergolek-golek resah, menunggu subuh datang. Akhirnya hari yang dijanjikan datang jua. Aku cepat-cepat memakai baju lebaran tahun lalu, yang telah «ku lipat di sebelah dipan sejak kemarin. Baju ini menyerupai setelan tentara berwarna hijau. Saku di dada dan perut serta cantolan di kedua bahu. Ayah sendiri tampil dengan kemeja biru pupus polos, menyampirkan sarung bugis merah yang terlipat di bahu kanannya dan sebuah kopiah hitam menyongkok kepalanya. Inilah standar gaya ninikik mamak pemuka adat. Ayahku bergelar Katik Parpatiah Nan Mudo dan suku Chaniago. Setelah menyantap sarapan goreng pisang raja dan katan Jo karambia” sajian Amak, kami menuju jalan aspal satu-satunya yang melintas di daerah Meninjau. “Ayo bergegas, pagi ini hanya ada satu bus ke ateh, ateh adalah sebutan untuk semua daerah di atas bukit dan di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Hari masih terang terang tanah, ketika kami menumpang bus PO Harmonis yang bermesin diesel, berukuran sedang, berkerangka kayu dan punya jendela yang berumbai-rumbai merah kuning oranye, mirip hiasan pelaminan m inang. Tidak lama kemudian, bus sampai di kaki Kelok Ampek Puluh Ampek, sebuah jalan mendaki tajam dan mengular dengan 44 belokan patah-patah. Terkenal sebagai pengocok perut yang ganas bagi penumpang yang berbakat mabuk darat. Bus yang berkapasitas penuh ini menggerung-gerung ketika dipakaa mendaki tanpa henti selama setengah jam lebih. Asap hitam mesin diesel bus berukuran sedang ini meletup-letup dan knalpotnya. Waktu itu, belum banyak bus yang punya tape untuk memutar kaset Elly Kasim. Pengganti hiburan di perjalanan adalah klakson yang bisa bernyanyi. Di sebelah supir ada tut-tut yang terhubung dengan slang ke badan mesin. Setiap tut membunyikan nada berbeda mirip campuran suara klakson dewi-kz.info/ dan akordeon. Sepanjang jalan, mataku tak lepas memperhatikan tingkah supir kami, seorang laki-laki muda berkaos merah ketat dengan celana cut bray dan berambut sebahu bergombak-gombak. Sambil meneleng-nelengkan kepalanya berirama, supir kami menghibur penumpang dengan memainkan instrumental lagu-lagu pop minang memakai klakson ini. StoJuzr, atau kenek, meliuk-liuk mengikuti alunan lagu sambil menggantungkan badannya di luar badan bus yang berlari kencang. Bus kami penuh sesak, kenek harus di luar. Lagu klakson inilah yang membantuku melupakan mual yang mendesak-desak. Kami melewati Ambun Pagi, sebuah nagari di puncak kelok 44. Melihat ke bawah, tampak Danau Maninjau bagai cerukan kawah purba, mirip kuali raksasa, dengan dinding sekelilingnya bukit hijau berbaris-baris. Air biru telaga yang hening memantulkan awan pagi yang menggantung di ujung-ujung bukit. Betul-betul kombinasi yang permai. Air menghampar luas dan bukit menjulang. Biru dan hijau perawan. Kami sampai di Matur ketika matahari masih belum sepeng- galahan. Matur yang berada di pucuk bukit, masih dikepung kabut pagi yang tebal dan angin yang datang dan pergi. Poriporiku bintil-bintil menahan dingin. Pasar yang kami tuju terletak di tanah lapang yang berujung karena kabut yang hilang timbul disapu angin. Hanya tampak bayangan sapi, kerbang, kuda dan kambing serta bayang bayang manusia tanpa rupa keluar masuk berlapislapis kabut Tidak ada los pasar. Kadang-kadang terdengar bisik-bisik manusia, selebihnya embekan dan lenguhan hewan ternak. Ayah membimbingku mendekat kepada salah satu bayangbayang tanpa wajah. Semakin dekat semakin jelas orang itu laki-laki berkelumun sarung sampai leher dan memakai tutup dewi-kz.info/ muka, penahan dingin dari jalinan wol yang menutupi seluruh kepala kecuali mata. Tangan kirinya memegang tali yang ujungnya dicucukkan ke hidung seekor sapi yang melenguh malas, jan telunjuk dan jempolnya menjepit sebatang rokok yang berpijar-pijar di tengah kabut. Setelah aku perhatikan lebih saksama, lebih dan setengah orang yang datang ke pasar ini bersarung dan ber-sebo. Sejenak ayah berbicara dengan lelaki ini dengan suara rendah. Si Tanpa Wajah menjawab dengan suara parau dan sesekali terbatuk. Tidak lama kemudian Ayah menyodorkan tanpa bersalaman. Laki-laki misterius ini menangkap telapak tangan Ayah dan cepat-cepat menariknya ke dalam sarung. Lama sekak mereka bersalaman, tangan keduanya bergoyanggoyang di baik sarung. Muka saling menatap, tapi tidak ada kata yang tetuang Hanya angguk dan gelengan ringan. Aku mencengkram lengan kiri Ayah, terheran-heran dengan apa yang mereka lakukan. Aku terus mengekor Ayah berjalan ke arah lain dan melakukan hal yang sama dengan tiga laki-laki lagi. Bersalaman lama di bawah sarung, saling menatap. Pada orang terakhir ayah menyodorkan sebungkus uang, dan seekor sapi gemuk ke luar lapangan. Sapi lalu dinaikkan ke oto prah. Mobil truk. Dikirim langsung ke nagari kami di Maninjau. Amanat dari jamaah surau kami untuk membeli seekor sapi untuk kurban Idul Adha minggu depan telah ditunaikan Ayah. Dari balik kabut yang telah menipis. Ayah tersenyum melihat aku bagai si bisu bermimpi. Bingung. “Budaya marosok. Meraba di bawah sarung. Tawar menawar harga dengan memakai isyarat tangan.” “Kenapa harus pakai isyarat, Yah?” “Peninggalan turun temurun nenek moyang kita kalau berjualan ternak. Harga dan tawaran hanya untuk diketahui pembeli dan penjual.” “Yah, boleh ambo minta diajar marosok?” Ayah tersenyum. Sepanjang perjalanan naik bendi ke menara pemancar TVRI di Puncak Lawang, aku sibuk menghapalkan isyarat jari-jemari yang diajarkan Ayah. Di bawah sarung. Itulah pertama kali aku insyaf dengan manfaat sarung dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk membeli sapi kurban! Sahibul Menara Seperti kata orang bijak, penderitaan bersamalah yang menjadi semen dari pertemanan yang lekat. Sejak menjadi jasus keamanan pusat, aku, Raja, Said, Dulmajid, Atang, dan Baso lebih sering berkumpul dan belajar bersama. Kalau lelah belajar, kami membahas kemungkinan untuk bebas dari jerat pengawasan keamanan. Waktu berkumpul yang paling enak itu adalah menjelang shalat Maghrib dan malam sebelum tidur. Awalnya kami suka berkumpul di lorong di depan kamar, yang sebetulnya disediakan sebagai tempat belajar. Tapi ini koridor milik bersama. Setiap orang bisa lewat dan berkumpul sesukanya. Kami merasa perlu mencari tempat sendiri. Baso adalah anak paling paling rajin di antara kami dan paling bersegera kalau disuruh ke masjid. Sejak mendeklarasikan niat untuk menghapal lebih dari enam ribu ayat Al-Quran di luar kepala, dia begitu disiplin menyediakan waktu untuk membaca buku favoritnya: Al-Quran butut yang dibawa dari kampung sendiri. Dia memberi usul. “Supaya aman dan tenang, bagaimana kalau kita berkumpul di masjid saja.” Kami berpandang-pandangan. Memang enak di masjid, tapi pasti sudah penuh dan berisik. Kami pelan-pelan menggeleng. Baso tidak menyerah. “Kalau di tangganya saja?” Kami menggeleng lagi. Sama saja, walau tangganya luas, tapiterlalu banyak orang. Setelah termenung beberapa lama, Said berteriak. “Aku tahu di mana kita bisa berkumpul tanpa diganggu dan tempatnya di dekat masjid. Yuk!” kata dia langsung jalan cepat dan memaksa kami ikut. Demi menghormati sang ketua kelas dan ketua kamar yang paling berumur, kami terpaksa mengekor langkahnya. Menuju masjid lurus, tapi kemudian berbelok ke sebelah kanan menyamping dari masjid. Kami sampai di menara masjid yang tinggi menjulang. Kami tidak tahu, jika di dasar menara ada taman kecil berupa gerumbulan tanaman perdu dan rumput. Di baliknya tampak pelataran menara dengan tangga semen berundak-undak melingkari dasar menara. “Kemarin waktu dihukum membersihkan masjid, aku kebagian membersihkan menara. Ternyata dasar menara ini tempat yang enak untuk istirahat,” kata Said memperlihatkan temuannya. Tepat di samping kanan Masjid Jami, menjulang menara yang diilhami arsitektur gaya turki yang kokoh, efisien, tanpa melupakan keindahan. Menara dipucuki oleh sebuah kubah metal yang mengkilat dan lancip ujungnya. Di leher kubah ini menyembul empat corong pengeras suara yang selalu setia mengabarkan panggilan shalat sampai berkilo-kilo meter jauhnya. Kami sepakat, kaki menara ini tempat yang sangat cocok- untuk berkumpul. Pertama, dekat dengan masjid, kapan lonceng shalat berbunyi, kami tinggal berjalan sedikit langsung sampai di masjid. Kedua, relatif tidak terpantau para petugas keamanan yang terlalu sibuk menyatroni asrama demi asrama. Semen berundak ini cukup tersembunyi karena ditutupi taman, sementara kami bisa memantau keadaan PM melalui sela-sela dedaunan. Ketiga, tempat ini teduh, dan memungkinkan kami berlama-lama, untuk belajar, ngobrol, bahkan tidur-tiduran sambil lurus menatap langit ditemani ujung menara yang lancip mengkilat. Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita tentang impian-impian kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani kacang sukro. Bagaikan menara, cita-cita kami tinggi menjulang. Kami ingin sampai di puncak-puncak mimpi kelak. Di bawah menara, kami merencanakan amal kebaikan, mempertengkarkan karya Rumi, menyetujui “makar”, mempersalahkan para kakak keamanan, mendiskusikan bagaimana bentuk Trafalgar Square, mencoba memahami petuah Plato sampai mengagumi kisah Tariq bin Ziyad. Tidak ketinggalan, ini tempat yang pas mendengarkan kalam Ilahi yang dibaca sangat indah oleh para qari, pembaca Al-Quran, pilihan PM. Ayat-ayat ilahiah ini terbang jauh ke seluruh penjuru PM melalui corong besar di puncak menara. Bulu tangan dan kudukku berdiri setiap mendengarnya. Hatiku lintuh. Saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawankawan lain menggelari kami dengan Sahibul Menara, orang yang punya menara. Dalam bahasa Arab, kata saKibul kerap diguna¬kan untuk menyatakan kepunyaan, misalnya sahibul bait, tuan rumah, atau seperti diriku sering dipanggil sahibul minzdhar, karena memakai kacamata. Kami senang saja menerima julukan itu. Bahkan Said kemudian punya ide untuk membuat kata sandi untuk setiap orang. Said kami sebut Menara 1, Raja Menara 2, aku Menara 3. Atang Menara 4. Dulmajid Menara 5 dan Baso Menara 6. Aku sendiri sejak kecil sudah takjub dengan menara dan soka menaikinya karena terobsesi merasakan bagaimana rasanya mdnfl jadi orang yang tinggi. Menara pertama kukenal adalah menara semen milik masjid di kampungku. Puncaknya yang tiang untuk menumpangkan corong TOA, bagian bawahnya untuk rumah beduk kulit kerbau. Walau sudah dilarang dan dikejar-kejar gharin—-penjaga masjid—kami para anak-anak kampung selalu berhasil mengelabuinya untuk diam-diam naik tangga melingkar ke puncak menara. Begitu di puncak yang berangin-angin, kami merasa telah menaklukkan dunia. Kami berteriak-teriak ke semua orang yang kebetulan lewat di bawah sana. Lalu terpingkal-pingkal melihat orang terlongolongong bingung mendengar teriakan, tapi tidak tahu dari mana arahnya. Kami juga suka meludah ke kolam ikan mujair di bawah sana dan tertawa-tawa melihat mujair-mujair berserabutan menyambar ludah yang dikira makanan kiriman dari langit. Sering pula kami mengikatkan sarung di leher dan merentangkan tangan ke depan lurus-lurus. Sarung yang berkepak-kepak ditiup angin. membuat kami merasa menjadi Superman. Menara kedua yang aku kagumi adalah jam Gadang yang berdiri di jantung kota Bukittinggi. Sebuah menara jam besar dengan puncak berbentuk atap bagonjong-atap tradisional Minang yang berbentuk tanduk kerbau. Waktu libur akhir tahun kelas dua SD, Ayah mengajakku ke ibukota kabupaten Agam ini untuk membeli buku pelajaran di Pasat Ateh. Karena nilai rapor SD-ku bagus, Ayah memberi aku bonus istimewa, naik ke puncak Jam Gadang yang tingginya hampir 30 meter. Dari puncaknya aku bisa melihat jauh-jauh sampai ke pinggir Kota Bukittinggi dan merasakan kemegahan Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Aku juga bisa melihat mesin jam yang sebesar lemari baju, terdiri dari roda-roda kuning tembaga, rantai dan panel besi. Menurut penjaganya, mesin ini dibuat di Jerman dan hadiah dari Ratu Belanda kepada pemerintah kolonial pada tahun1926. Sepulang dari Jam Gadang, aku tidak henti-henti bercerita ke teman-temanku tentang kehebatan menara jam yang menurutku waktu itu sungguh raksasa, termasuk “salah tulis” angka penunjuk jamnya. Angka empat romawinya tertulis IIII, padahal biasanya IV. Berkumpul di menara PM adalah lanjutan ketakjubanku kepada menara. Sayang, menara PM sama sekali tidak bisa kami naiki. Sebuah gembok berkarat sebesar telapak tangan memalang pintunya. Konon, kuncinya hanya dipegang oleh seorang guru bernama UstadTorik. Surat dari Seberang Pulau Kupanggil dia Randai, padahal namanya Raymond Jeffry. Nama yang keren. Orang Minang selalu sangat percaya diri dan punya semangat global memberi nama anaknya. Mulai dari yang kearab-araban seperti Hamid, Zaki, Ahmad, ala eropa timur seperti Weldinov, Martinov, sampai yang terdengar kebarat-baratan seperti Goodwill, Charlie, Wildemer dan Kerman. Beberapa nama yang sepertinya serapan luar negeri ternyata sangat lokal sekali. Bahkan banyak yang dewi-kz.info/ sebetulnya itu merupakan kata sandi. Seringkah, sandi ini hanya orang tua dan anak itu saja yang tahu. Contohnya, seorang pemuka agama di kampungku tidak memberi nama anak perempuannya Fatimah atau Zainab, tapi malah Suhasti. Ini bukan hanya sekadar nama. Di baliknya tersimpan makna yang dalam dan refleksi nasionalisme yang amat tinggi, sehingga dipatrikan pada nama anaknya. Suhasti kependekan dari Sukarno Hatta Simbol Rakyat Indonesia. Ada juga yang mengawetkan nama orangtua pada anak mereka. Charlie misalnya. Kependekan dari Chakra dan Nelie, bapak dan emaknya anak ini. Selain kependekan, ada juga yang terang-terangan mengambil nama-nama yang sudah paten. Misalnya kawan SD-ku bernama John Fitzgerald Kennedy—kami panggil dia si Ned. Guruku selalu patah lidah setiap mengabsen namanya di kelas. Sayang setamat SD dia tidak terus sekolah dan ikut bapaknya berjualan pisang raja di Pasar Kamis. Seorang kerabat jauhku bernama Harley Davidson—akrab disebut si Son, karena Bapaknya begitu tergugah dengan potongan majalah yang memuat iklan motor besar itu. Keunikan nama ini menghadirkan spekulasi bahwa bangsa Minang datang dari sejarah yang sangat tua. Qila waqala, orang minang masih anak cucu dari Alexander Agung. Jadi nama agak keeropa-eropaan mungkin bawaan turun temurun dari zaman moyang Alexander itu. Benar tidaknya, hanya Tuhan yangtahu. Wallahua’lam. Menurutku, nama unik orang Minang akan bertambah gagah kalau dilekatkan dengan nama suku masing-masing. Berbeda dengan orang Batak, suku orang Minang tidak selalu dituliskan di belakang nama. Nama suku utama adalah Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Lalu keempat suku ini beranakpinak menjadi puluhan nama suku lain yang sangat variatif. Sebut saja misalnya Banuampu, Payobada atau Sungai Napa. Ada yang terinspirasi nama barang seperti Guci dan Salayan ada yang diambil dari nama tumbuhan seperti Pisang, Dalimo dan Jambak. Aku sendiri kalau memasang nama suku akan berbunyi Alif Fikri Chaniago. Bayangkan bagaimana kerennya John Fitzgerald Kennedy Chaniago terdengar. Di Minangkabau juga dikenal istilah ketek banamo, gadang bagala. Kecil diberi nama, dewasa diberi gelar. Begitu seorang laki-laki menikah, maka dia mendapat gelar adat. Dan di kampung, gelar inilah yang dipakai untuk memanggil laki-laki yang menikah. Gelar tertinggi adalah datuk, atau kepala suku. Siapa saja yang berani memanggil seorang datuk dengan nama aslinya bisa kena sangsi adat. Ayahku sendiri bernama Fikri Syafnir yang kemudian mendapat gelar Katik Parpatiah Nan Mudo; Sejak itulah kemudian lebih populer dipanggil Katik Parpatiah tidak pernah lagi ada yang memanggilnya Fikri. Randai sebetulnya sebuah budaya Minang berupa seni bercerita yang dicampur dengan dendangan lagu, Minangkabau. Dan Raymond adalah sedikit dari generasi muda yang masih tergila-gila menonton budaya randai yang semakin sepi penggemar. Raymond malah bangga aku panggil dia dengan, julukan Randai, seperti hobinya. Kawanku yang beralis tebal dan berbadan ramping tinggi ini adalah anak saudagar kaya yang tinggal di kampungku. Walau berlatar pedagang, orang tuanya ingin anaknya bisa mendalami ilmu agama dulu sebelum dipercaya jadi penerus usaha, mulai dari toko sampai perusahaan konveksi dan bordir yang produknya sampai ke Tanah Abang. Randai pun dikirim masuk sekolah agama di Madrasah Tsanawiyah Negeri dan menjadi teman sekelasku. Kami selalu bersaing ketat dalam merebut ranking satu di kelas. Kalau semester ini dia juara satu, semester depan biasanya aku yang dewi-kz.info/ juara. Aku selalu menyimpan iri dalam hal kepandaian matematika dan ilmu alam. Aku rasa, dia iri dengan Bahasa Inggris dan kemampuan menulis dan verbalku. Tapi kami tetap bersahabat dekat di tengah persaingan ini. Hobi berkirim surat atau sahabat pena berada di puncak pularitas. Kami berdua termasuk di antara penggemar berkirim kirim surat ini. Bahkan kami saling berkompetisi mendapat sahabat pena yang lebih banyak dan lebih jauh asalnya. Suatu hari, Randai menggebrak persaingan dengan membawa sebuah surat yang datang dari Hongkong. Dia bangga sekali mengibas-ngibass kan amplop berstempel karakter Cina itu di depan mukaku. Hebat nian, pikirku panas. Demi mencoba menyamai Randai, aku memutar otak bermalam-malam. Dengan bantuan Pak Etek Gindo yang tinggal di Arab Saudi, sebulan kemudian aku dengan bangga meletakkan sebuah amplop dari Jeddah di meja Randai. Sepanjang minggu itu kami bertengkar mempersoalkan siapa yang lebih hebat. Dalam persahabatan yang kompetitif ini, kami kerap saling bercerita tentang cita-cita kalau nanti sudah besar. Dia bercita-cita ingin jadi insinyur listrik yg bisa membikin pembangkit listrik tenaga air seperti di Danau Maninjau. Tidak mau kalah, aku pun menyatakan ingin menjadi insinyur yang bisa membangun Waduk Jatiluhur. Dia lalu menimpali akan menjadi insinyur yang membangun Jakarta. Aku membalas ingin menjadi insinyur yang bisa membikin pesawat terbang seperti Habibie. Saat itu aku bahkan lupa kalau aku kesulitan pelajaran matematika. Begitulah terus berjalan. Kami ingin terus saling membalas supaya terdengar lebih hebat. Tapi kami tetap dua sahabat yang tampaknya saling tahu bahwa kami membutuhkan satu sama lain . Kami juga sepakat, setamat MTsN, kami akan meneruskan ke SMA yang sama. Karena menurut kami ilmu dasar agama dari MTsN sudah cukup sebagai dasar untuk memasuki kancah ilmu pengetahuan umum. Beruntungnya Randai, orang tuanya sama sekali tidak keberatan. Dia telah punya pakta baru dengan orang tuanya untuk boleh keluar jalur setelah madrasah. Sayangnya, aku dan Amak tidak punya pakta ini. Kami kemudian dipisahkan oleh nasib. Dia kini terdaftar sebagai siswa SMA terbaik di Bukittinggi, tepat sesuai rencananya—yang juga dulu rencanaku. Sementara aku memutar arah secara radikal, merantau ke pelosok Jawa Timur untuk menjadi murid di sebuah pondok yang didirikan untuk mendalami agama. ***dw*** Hari ini sepucuk surat diantarkan seorang kakak bersepeda putih dari bagian administrasi. Aku balik surat itu, dan di belakangnya rertulis, dari Randai. Konco palangkinku. Teman akrabku. Di bawah namanya dia menuliskan “siswa SMA Terbaik di Bukittinggi”. Aku tersenyum kesal, anak ini tetap menyebalkan. Di bawah sebatang kelapa yang tumbuh di depan asrama, tulisannya yang 30 derajat miring ke kanan aku baca dengan tidak sabar. Kepada kawan “sparring partner”-ku Alif Di sebuah desa di Jawa Timur AssWrWb Apa kabar kawan? Bagaimana rasanya jadi pasukan bersarung dan berkopiah? Apakah pekerjaan kamu setiap hari adalah shalat dan mengaji? Ceritakanlah padaku di sini. Alhamdulillah, sesuai cita-cita, aku diterima di SMA Bukittinggi. Sekarang aku sedang mapras—masa perkenalan siswa. Kau tahu Lif, ternyata “keindahan” SMA yang kita bayangkan dulu tidak ada apa-apanya dengan yang sebenarnya. SMA benarbenar tempat yang menyenangkan untuk belajar dan ber gaul. Guru-gurunya juga yang paling terkenal di Sumatera Barat. Kamu ingat kan, buku pegangan fisika kita dulu itu ditulis olek DTS. H.M Lutfhi, Msc? Nah Drs. Luthfi ini akan jadi salah satu guruku di kelas satu nanti. Luar biasa kan? Aku akan minta tanda tangan dia di buku teks kita MTsN dulu. Di acara mapras ini kita diperkenalkan dengan berbagai macam ekskul yang hebat-hebat. Kamu belum pernah lihat komputer kan? Nah disini semua murid ikut belajar komputer karena sekolahku baru membuat lab komputer yang paling modem di kota kita. Senangnya. Ternyata komputer tidak hanya di film saja, ternyata di sekolahku pun ada. Kawan-kawan pundatang dari berbagai tempat.Ada yangdari Agam, Padang Panjang, 50 Kota, Payakumbuh dan lainnya. Pokoknya, banyak kawan baru Lif. Dan yang paling asyik, di akhir mapras nanti kita akan berdarmawisata ke pantai Muaro di Padang dan kampus universitas tertua di Sumatera, Universitas Andalas. Kata guru kami, supaya kami mulai bisa melihat apa prospek kami kuliah nanti. Luar biasa kawan. Semoga keputusan kau ke Jawa itu benar. Kalau tidak, cepatlah kembali, mungkin kamu masih bisa dipertimbangkan diterima di SMA ini. Aku tunggu jawaban surat ini Kawanmu selalu Randai Aku baca suratnya sekali lagi. Senang mendapat surat dari kawan lama dan melihat kebahagiannya masuk sekolah baru. Tapi juga iri dan bercampur sedih. Rencana masuk SMA-nya juga rencanaku dulu. Ketika Randai senang dengan maprasnya, aku malah kalut dijewer dan menjadi jasus. Dia bebas di jam sekolah, aku di sini didikte oleh bunyi lonceng.
Posted on: Fri, 21 Jun 2013 15:59:17 +0000

Trending Topics



"http://www.topicsexpress.com/Shoe-gaze-legendary-band-Medicine-revival-latest-Japanese-edition-topic-841679725852631">Shoe gaze legendary band, Medicine revival latest Japanese edition

Recently Viewed Topics




© 2015