penciptaan manusia Tanpa disadari bahwa sejak munculnya - TopicsExpress



          

penciptaan manusia Tanpa disadari bahwa sejak munculnya “Teori Evolusi” hingga detik ini, suatu persoalan besar masih tetap berlangsung antara agama dengan ilmu pengetahuan. Perbedaan paham antara kaum Creationists (penciptaan) dengan kaum Scientist (ilmuwan) terletak pada kesenjangan usia alam semesta dan asal-usul manusia di muka bumi. Para ilmuwan yang kritis menilai bahwa kisah penciptaan di dalam Kitab suci sebagai sesuatu hal yang tidak rasional karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Bukti-bukti fosil yang ditemukan diseluruh belahan bumi itu merupakan saksi bagi suatu kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, menurut mereka. Adanya sangkaan atau kecurigaan terhadap Kitab suci semata-mata karena adanya kesalah fahaman dalam menginterpretasi wahyu yang bersifat universal itu. Oleh karena itu Kitab suci (al-Qur’an) sebagai firman Allah, tertantang akan hal ini untuk dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi para ilmuwan. Sekilas Teori Evolusi Munculnya teori evolusi dari Charles Darwin (1809-1882) pada hakikatnya merupakan kelanjutan saja dari teori ‘Omne vivum ex vivo’ yang menyatakan bahwa timbulnya makhluk hidup tidak dari yang mati, melainkan dari makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Teori ini muncul, setelah Lazardo Spanlanzani, Francesco Redi (keduanya dari Itali) dan Louis Pasteur dari Perancis mendeklarasikan teori tersebut diatas (tepatnya 1860). Bila kita telusuri jauh ke belakang sebelum Darwin mengemukakan dua teori evolusi yang terkenal itu, kita akan menemukan bahwa cendekia Yunani Purbapun pernah mengemukakan pendapatnya bahwa species yang ada sekarang ini meskipun telah mengalami pelbagai perubahan evolusioner, tetap berasal dari species yang ada dari jaman sebelumnya. Dalam gugus pemikiran cendekia Muslim, kita mendapati tokoh seperti Al-Jahiz dan Ibnu Maskawaih (940-1030) yang meskipun kebenaran ilmiah boleh dipertanyakan, tetapi menunjukkan bahwa cendekiawan Muslim kita pernah membuka pemikiran dalam bidang / masalah evolusi ini. Evolusi, menurut Maskawaih berlangsung dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan selanjutnya ke alam binatang, dan seterusnya ke alam manusia. Lebih lanjut menurutnya, transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui merjan (karang), dari alam tumbuhan ke alam binatang melalui pohon kurma, dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera. Beberapa ulama Islampun telah mendahului, bahkan melebihi Darwin dalam membuktikan bahwa ada kemiripan antara manusia dan kera. Kamaluddin Muhammad ad-Damiri dalam bukunya berjudul ‘Hayat al-Hayawan al-Kubra’ ketika menyinggung kera menyebutkan, “Binatang yang mirip dengan manusia dalam kebanyakan karakternya. Kera dapat tertawa, bergembira, berceritera, dan mengambil sesuatu dengan tangannya. Ia memiliki jemari yang begitu sempurna hingga kuku, di samping dapat menerima pelajaran dan pengarahan. Ia juga akrab dengan manusia, berjalan dengan kedua kaki dan kedua tangannya dan terkadang dengan kedua kakinya saja, dan ia juga mempunyai bulu mata. Ciri-ciri ini tidak dimiliki oleh binatang lainnya”. Dalam bukunya “the origin of species” Darwin tidak dengan tegas menyebutkan bahwa manusia itu berevolusi. Dia hanya menggambarkan bahwa nenek moyang manusia itu primitif. Kemudian untuk mengambil model manusia yang primitif itu, dibandingkan / diambil hewan yang paling dekat sekali kemiripannya dengan manusia. Dibandingkannya mana ciri-ciri yang sama dan yang beda antara manusia dan monyet. Lalu ia berpendapat bahwa nenek moyang manusia itu mirip kearah monyet. Jadi evolusionist yakin kita punya nenek moyang yang sama dengan monyet, terutama dengan simpanse. Sejak saat itulah masalah kepurbakalaan dan asal usul manusia mulai hangat dibicarakan oleh para ahli, sehingga membuat Darwin semakin giat mempelajari masalah tersebut, dan buku pertamanya tidak membuat dia puas, sehingga di tahun 1871 dengan memberanikan diri dia menerbitkan buku keduanya yang lebih radikal dan menghebohkan dunia, buku itu berjudul ‘The Decent of Man’ (asal-usul manusia), isinya lebih mempertegas lagi tentang evolusi suatu mahluk hidup dari binatang kera menuju manusia dengan mengalami proses ‘struggle of life’. Dari sinilah awal mulanya timbul pertentangan antara agamawan dengan para ilmuwan dan antara sesama ilmuwan bahkan antar sesama agamawan. Berlarutnya polemik masalah Adam dan Anthropus sebetulnya disebabkan tidak adanya bukti-bukti yang kuat. Di pihak teori Darwin tidak mampu membuktikan adanya ‘ the missing link’ nya sehingga banyak pihak yang meragukannya. Adalah Stephen Meyer, pendukung teory ’ intelligent design’ dari Amerika yang juga pengajar senior dari Discovery Institute, Seattle, menyatakan bahwa teori Darwin modern mengandung terlalu banyak penjelasan yang tidak memiliki bukti. Para pendukung teori intelligent design juga mengatakan kerumitan dan teraturnya dunia ini terjadi akibat peran intelligent cause, Sang Pencipta. Selain itu, Harris, seorang pakar asam lemak omega 3 yang juga salah seorang pendiri Intelligent Design Network Inc, menolak untuk meyakini kehidupan sederhana kuno menjadi cikal bakal terbentuknya makhluk hidup yang lebih kompleks. Evolusi selama miliaran tahun diragukannya dapat mengantarkan suatu makhluk menjadi manusia ataupun makhluk hidup lainnya. Sebenarnya penolakan atas teori evolusi bukan saja baru akhir-akhir ini terjadi, Carolus Linnaeus; seorang ahli ilmu hayat abad ke-18 dari Inggris menyatakan, sampai abad ke-19 pendapat umum mengatakan bahwa segala jenis dari awal sudah ada. Evolusi dalam arti peralihan dari jenis yang satu ke jenis yang lain tidak diakui, bahkan beliau berpendapat bahwa segala jenis sudah ada dari awal. Dan diluar dugaan ternyata Darwin sendiri juga meragukan kebenaran teori yang diciptakannya itu. Ia tidak mendapat bukti bahwa lapisan-lapisan batu di dalam tanah mengandung data dan catatan yang kronologis sepanjang waktu geologis yang enam (dari Azoicum sampai dengan Cenozoikum) mengenai evolusi hidup itu. Yang didapatkan justru berlawanan dengan teorinya. Lebih spesifik lagi, kontradiktif yang ditunjukkan dalam bukunya yang pertama (The Origin of species), dimana menurut Darwin, dalam species yang sama terdapat perbedaan-perbedaan yang kecil (variability). Berkat perbedaan-perbedaan itu muncullah ‘the struggle for life’. Individu yang lemah akan hilang, sedangkan yang kuat akan bertahan (survival of the fittest). Sifat-sifat yang lebih bisa bertahan itu diwarisi oleh generasi berikutnya sehingga lahirlah bentuk-bentuk baru yang kualitasnya lebih tinggi daripada sebelumnya (natural selection). Berkenaan dengan keraguan Darwin tersebut, sejak awal salah seorang pengkritik Darwin paling sengit, Uskup Samuel Wilberforce (1886) dari gereja Anglikan Inggris mempertanyakan apakah Darwin keturunan kera melalui keluarga kakek atau neneknya? Hal ini tidak mungkin katanya, karena mereka masih ada bersama kita. Lebih lanjut beliau mengatakan teori Darwin adalah bertentangan dengan kitab Suci, Wahyu Ilahi dan kewibawaan gereja. Evolusi bagi ilmu positif sampai sekarang masih merupakan hipotesis, tetapi makin umum diterima. Hal yang sama berlaku juga untuk evolusi manusia dari salah satu jenis binatang. Sebagai faktum, evolusi manusia belum terbukti, tetapi sebagai hipotesis makin umum diterima terutama dalam ilmu hayat. Pandangan Al-Qur’an Ada dua kata dalam Al-Qur’an yang biasa diartikan sebagai manusia, yaitu al-basyar dan al-insan. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan Al-Qur’an sendiri, pengetian kedua kata tersebut saling berbeda. Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Manusia dalam pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 35 kali di berbagai surah. Dari pengertian-pengertian tersebut, beberapa diantaranya berbicara tentang hal “penciptaan” manusia itu sendiri. Penciptaan manusia (dalam arti kata al-basyar) di dalam al-Qur’an diulang sebanyak empat kali, sementara penciptaan manusia (dalam arti kata al-insan) diulang sebanyak tiga puluh lima kali. Kedua kata itu mempunyai karakteristik makna sendiri-sendiri sesuai dengan konteks. Sedangkan kata Al-Insan bukan berarti basyar saja dan bukan pula dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Al-Qur’an, al-insan mengandung pengertian makhluk mukallaf (ciptaan Tuhan yang dibebani tanggung jawab), pengemban amanah Allah dan Khalifah Allah SWT di atas bumi. Al-Insan dalam pengertian ini didapati pada 65 tempat dalam Al-Qur’an. Penjelasan tersebut menunjukkan keistimewaan dan ciri-ciri manusia dalam pengertian al-insan. Dari berbagai ayat yang memaparkan keistimewaan dan ciri-ciri manusia inilah, Bintu Syati (pakar tafsir dan dosen pada Universitas Qurawiyyin di Maroko) mengatakan bahwa manusia (al-insan) adalah Khalifah Allah Swt di atas bumi yang diberi tanggung jawab dan amanah karena kekhususannya adalah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, mempunyai ilmu, akal, dan memiliki kemampuan al-bayan (berbicara). Yang dimaksud dengan kemampuan berbicara (al-bayan) adalah pembicaraan yang menggugah hati dan perasaan, sehingga manusia dalam arti al-basyar berubah menjadi manusia yang berarti al-insan yang sanggup menerima Al-Qur’an sebagai petunjuk. Perubahan tersebut bukanlah terjadi dengan sendirinya, namun campur tangan Sang Pencipta-lah semua itu dapat terjadi. Mari kita simak bersama firman Allah terhadap malaikat dalam surat Shad (38) ayat 71 yang berbunyi: “ Iz Qaala rabbuka lil-malaa’ikati innii khaaliqum basyaram min tiin”. Setelah al-basyar yang diciptakan dari tanah ini berkembang biak dalam kurun waktu yang tidak kita temukan pertandanya dalam Al-Qur’an, maka Allah berkehendak / ingin menjadikan atau mengangkat khalifah yang akan mewakili semua urusanNya di muka bumi. Untuk itu Allah kembali berfirman kepada malaikat: “ Wa iz qaala rabbuka lil-malaa’ikati innii jaa’ilun fil-ardi khaliifah; …”(QS: Al-Baqarah (2): 30). Dari dialog tersebut para malaikat bertanya: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah’. Tentunya bagi kita orang yang beriman, dialog tersebut merupakan petunjuk bahwa pada saat itu para malaikat telah mengetahui adanya makhluk (al-basyar) yang hidup di muka bumi ini yang dikira akan diangkat sebagai khalifah. Namun Allah menutup kecemasan para malaikat tadi dengan berfirman: ‘ Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’. Nampaknya benar, hanya Allah sendiri yang Maha mengetahui, apa yang Ia kehendaki, maka terjadilah ia. Dan untuk itu Allah melanjutkan firmanNya kepada malaikat: “Fa izaa sawwaituhuu wa nafakhtu fiihi mir ruuhii fa qa’uu lahuu saajidiin” (QS. Shad (38): 72); yang artinya ‘Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya’. Kepada siapa, Allah memerintahkan malaikat bersujud, bila tidak kepada Adam (al-insan). Dan dari kedua ayat tersebut diatas, maka jelas bahwa ciptaan Allah tidak sempurna jika manusia (al-basyar) tidak diciptakan lebih dahulu dari manusia Adam (al-insan), karena ini adalah prinsip kesempurnaan ciptaan Allah. Untuk itu, Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya melalui Rasulullah Saw agar melakukan perjalanan dimuka bumi, dan memperhatikan serta mengamati bagaimana Allah menciptakan makhluk (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Qul siiruu fil-ardi fanzuruu kaifa bada-al khalqa summallaahu yunsyi’un-nasy’atal aakhirah, innallaaha ’alaa kulli syai’in qadiir” (QS. Al-‘Ankabut (29): 20). Dari ayat diatas, kita dapati dua kata yang berlainan arti, yaitu menciptakan dan menjadikan. Mencipta artinya sesuatu yang terjadi dari yang tidak ada menjadi ada, sedangkan menjadikan adalah dari bahan yang sudah ada sebelumnya, dijadikan sesuatu sesuai kehendakNya. Allah menciptakan Al-Basyar dan kemudian menjadikannya sekali lagi dalam wujud Al-Insan. Kesempurnaan apa saja yang telah dianugerahkan Allah terhadap makhluk manusia (al-insan) ? Dr. Abdus Shobur Syahin (Ulama Mesir) dalam bukunya: ‘Abi Adam, Qishshah al-Khaliqah Baina al-Usthurah wa al-Haqiqah’ antara lain menyebutkan bahwa selain penyempurnaan materi dan fisik, manusia (al-insan) juga dilengkapi Allah dengan keahlian, bakat, kemampuan, dan potensi diri yang agung yang esensinya adalah akal sempurna. Dengan akal, makhluk ini berbuat sesuatu dalam hidupnya, dan darinya kehidupan sosial itu ada. Mereka dengan akalnya melakukan interaksi dengan yang lain lewat medium bahasa. Disinilah, manusia dalam pengertian al-insan itu ada. Lahirlah Adam abu al-insan yang menerima tanggung jawab (taklif) untuk meng-Esakan dan menyembah Allah. Tatkala tanggung jawab dan amanah itu dijalankan dengan baik, manusia dikatakan sebagai ‘ahsan taqwim’ (penciptaan yang sempurna). Namun tatkala tindak-tanduk dan bicara manusia itu tidak lagi mempergunakan akal pikiran, maka kemanusiaan manusia waktu itu gugur dan ia kembali sebagai ‘ basyar’, yang hanya memiliki anggota tubuh yang membutuhkan makan dan minum serta berjalan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedemikian belum berartinya seorang basyar, sampai-sampai di dalam al-Qur’an tak satupun kata al-basyar digunakan sebagai subyek yang diajak dialog. Faktanya, di dalam al-Qur’an tidak ditemukan rangkaian kata ‘ya ayyuha al-basyar’ tetapi yang ada hanyalah kata ‘ya ayyuha al-nas’ (bentuk jamak dari kata al-insan). Terkait hal ini, sesungguhnya kita telah diingatkan oleh Allah Swt tentang keberadaan manusia di muka bumi ini melalui surat Al-Insan ayat 1 sbb: “ Hal ataa ‘alal-insaani hiinum minad-dahri lam yakun syai’am mazkuuraa”; yang artinya ‘Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?’. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman mengabarkan tentang manusia, bahwa Dia telah menciptakannya setelah sebelumnya tidak pernah menjadi sesuatu yang disebut karena kerendahan dan kelemahannya (Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir, jilid 8 hal 358). Satu waktu dari masa, analog dengan satu periode atau kurun waktu tertentu dimana manusia itu belum berati apa-apa dan belum dapat mewakili tugas-tugas ke-Ilahian di muka bumi. Adapun terhadap Bani Adam, Allah telah menegaskannya melalui firmanNya berikut ini: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,.. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang lebih sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra (17): 70). Kelebihan-kelebihan dimaksud adalah sebagaimana yang telah kami uraikan diatas. Oleh sebab itu, perlu kita rasakan pentingnya mengkaji serta memahami proses terjadinya diri kita, sebagaimana telah dipertanyakan Allah kepada hamba-hambaNya melalui firmanNya yang terjemahannya sbb: “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan;……”(QS. Ar-Rum (30): 8). Memang, pada saat sebagian orang mengalami kebingungan dalam mendapatkan pengertian yang sebenarnya dari ayat-ayat tertentu, seringkali dengan nada cemas mereka berlindung diri dengan ucapan: ‘Allah lebih tahu mana yang benar’ (Wallahu a’lam bish shawab). Namun demikian, sebaiknya kita tidak begitu saja menggunakan kata-kata itu. Kemampuan berpikir yang dikaruniakan Allah SWT kepada kita, umat manusia (insan sempurna), yang dalam banyak ayat selalu dituntut untuk dipergunakan, menunjukkan bahwa pemikiran yang mendalam terhadap makna al-Qur’an perlu mendapatkan tempat yang wajar. Seseorang yang memahami tuntunan wahyu dengan akalnya sambil berserah diri kepada Allah Swt, berbeda dengan mereka yang menggunakan akalnya sesuai kecenderungannya guna memahaminya. Yang pertama, menjadikan wahyu pokok sambil menundukkan akalnya kepadanya, dan yang kedua menjadikan akalnya sebagai pokok lalu menundukkan wahyu kepada akalnya. Yang pertama tadi adalah sikap penyerahan diri kepada wahyu dan yang kedua mengalihkan wahyu tunduk kepada akal sehingga melahirkan ta’wil yang sesuai dengan tuntutan akal, walaupun bukan pada tempatnya. Untuk itu, melalui tulisan ini dan dengan didasari niat yang tulus karena Allah semata, marilah kita coba untuk lebih mendalami ayat-ayat al-Qur’an khususnya yang berkaitan dengan hal penciptaan manusia, tanpa harus mempertentangkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, satu dan lain mengingat firman Allah yang menyebutkan: “…, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujaadilah (58): 11).
Posted on: Fri, 04 Oct 2013 14:01:58 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015