terminal cinta terakhir 02. �adi, kau tidak akan pulang ke - TopicsExpress



          

terminal cinta terakhir 02. �adi, kau tidak akan pulang ke Medan?� �enapa harus pulang? Aku harus hidup di Jakarta ini.� Meinar menatap Joki. �ku ingin ke Medan,�kata gadis itu. �aktu kecil kita sering main-main. Kau masih ingat, Joki?� Joki bergumam. Matanya kembali panas. Mengenangkan Medan, hatinya menjadi murung. Murung mengingat pohon asam di pinggir jalan, atau pohon ke要ari yang menaungi jalan. �au pernah memukul kepalaku,�kata Meinar. �au ingat, Joki?� �h!�keluh lelaki muda itu. Kenapa harus sekarang diingat-ingatkan? �ku ingin ketemu dengan namboru(panggilan bagi saudara perempuan dari pihak ayah. Dalam cerita ini, ibu Joki.) Dia baik sekali. Waktu aku kecil, dia pernah memukul kau lantaran kau menyakiti hatiku. Aku lupa apa pasalnya. Tetapi, aku selalu ingat, dia baik sekali. Selalu dia memperhati虺an aku.� �h, sudahlah!�kata Joki dalam decak. Meinar tertunduk. Gadis itu baru duduk di kelas III SMP, tetapi pertumbuhan badannya membuatnya cepat dewasa. �au tetap akan sekolah, Joki?�tanya gadis itu. �a. Kalau bisa.� �iapa yang membiayaimu?� �ku akan kerja.� �erja apa?� �pa saja. Yang jelas, aku tidak akan mati kelaparan di Jakarta ini.� �api, apa bisa kau sekolah?� �tu tak perlu dirusuhkan.� �alau kau mau, biar aku bujuk Mama agar membiayaimu diam-diam.� �ak perlu. Aku tidak ingin membuat persoalan baru dalam keluarga kalian.� �ayang sekali kalau kau berhenti sekolah. Sudah kelas tiga.� Joki tertawa, tetapi pahit. �ku bisa membiayai diriku. Entah dengan jalan apa. Pokoknya aku akan berhasil.� Meinar menatap tangan Joki yang sedang menutup kopor. Joki mengedarkan pandangannya berkeliling kamar. Tujuh bulan dia tinggal di kamar itu. Terasa sudah akrab dengan dinding berkapur putih itu. Dinding yang ditempeli gambar-gambar besar sobekan dari majalah. Gadis itu menatap Joki dengan matanya yang berkaca-kaca. �ara-gara Monang kau terusir,�katanya. �h, bukan gara-gara dia. Memang aku yang tak tahu diri.� �eharusnya kau jangan mau diajak berkelahi.� �ak perlu lagi dipersoalkan, Mei. Yang berlalu, berlalulah. Sekarang aku akan pergi.� Meinar tetap berdiri di pintu. �ke. Ada yang mau kau bicarakan lagi?� �idak,�kata gadis itu sebelum menyisih. Matahari Kota Jakarta terik membakar bumi. Tubuh yang melata di bawahnya gosong dan berkeringat. Aspal yang panas memanggang sepatu. Di sini, hanya dengan jalan bertarung maka orang bisa hidup. Karena itu, keteduhan adalah langka, dan terasa indah. Karena itu, taman yang teduh adalah surga, dan wajah yang teduh adalah indah. �ika kau menanti pada dekat sore di terminal ini, tentunya kau akan bertemu lagi dengan wajah yang teduh itu,�kata Joki kepada dirinya sendiri. Ya, apa salahnya? Toh tidak ada yang harus dikerjakan pada sore hari begini. Nyaman juga rasanya duduk melamun di terminal yang sibuk. Satu per satu bus tiba dan berangkat. Matahari tak lagi panas. Cahayanya hanya mengintaikan kemerahan di langit barat. Sebentar lagi lampu-lampu akan menyala. Lalu malam akan menggeser senja. Tetapi, hendaknya sebelum kelam, wajah teduh itu muncul. Dan, ketika sebuah bus lagi masuk ke terminal, Joki menajamkan pandangan. Penumpang-penumpang mengalir turun, Dan, ah, itu dia. Masih berbaju biru muda. Rupa-rupanya warna itulah pakaian kerja di kantornya. Tapi, di perusahaan mana? Joki mengawasi gadis itu melangkah. Ayunan langkah gadis itu, aduhai lunak. Dia melintas di dekat Joki. Sekejap pandangan mereka beradu. Mata gadis itu seperti tersibak. Barangkali dia merasa kenal, tetapi tak pasti. Dia terus melangkah. Joki berdiri dan mengawasinya hingga gadis itu keluar dari terminal. Gadis itu menawar helicak. Joki termangu-manqu. Ah, alangkah penakutnya aku. Bah, alangkah konyolnya. Telah terlewat satu moment. Maka Joki kembali duduk. Dia menatap puntung kretek di dekat kakinya. Enam atau tujuh puntung. Agaknya inilah namanya jatuh cinta model abad sebelum renaisans, pikir Joki. Tertarik, tapi tak berani bertindak. Ngomong pun tak berani. Konyol! Bus berangkat. Bus datang. Terminal itu bising. Semua ingin bersuara. Penumpang, kondektur, petugas LLJR yang marah-marah, semua bising. Hanya Joki yang senyap dalam kesendirian di tengah kehirukan itu. Sampai kemudian sepatunya ditendang seseorang. Dia menyangkat kepala. Di depannya, berdiri Wawan. �ayak patung Borobudur kau di sini,�kata Wawan. Joki menghela napas dalam-dalam. Muncul lagi biang penyakit, pikirnya. �yoh, aku mau mentraktir kau.� �erhasil obyeknya?�tanya Joki. �a. Aku akan kembalikan uangmu nanti. Ditambah lagi dengan uang dengar.� Langkah mereka bersemangat meninggalkan terminal. �ku ketemu lagi dengan cewek kemarin itu,�kata Joki. �ewek yang mana?� �ang di bus kemarin.� �oo. Lantas?� �ak apa-apa.� �ha, jadi?� �a, aku lihat dia. Dia lihat aku. Itu saja.� �anyak cewek bisa dilihat dan bisa melihat di kota.� �api, dia tak sama dengan cewek mana pun.� �h! Apanya yang tidak sama!�kata Wawan sinis. Joki terdiam. Apanya yang tak sama? Banyak hal yang tak sama, yang membedakan gadis itu dengan gadis mana pun. Dalam kesamaran senja, wajahnya yang teduh bagaikan patung dewi klasik, bagaikan madonna-madonna yang sering dilukiskan seniman-seniman sebelum abad perte要gahan. Tetapi, wajah gadis itu tidak bertipe erotis. Dia lebih mendekati Dewi Sri, yang menyimpan pesona da衍am hening. Dia tidak bertipe modern. Tetapi, indah di tengah-tengah kehidupan metropolitan. Dia bagaikan bunga melati bersaput embun di tengah bunga-bunga plastik yang indah. Indah, tetapi diam. Dia bertipe kejawaan yang sabar, bukan tipe kemanadoan atau ke苑atakan yang lincah. Wawan berkata, �alau kau memang ada niat, langsung serang. Pakai teknik Napoleon.� Maka, sore itu, kendati dengan jantung yang berdegupan, Joki mendekati gadis itu. �elamat sore,�katanya. Bah, suaranya kok jadi lain? Dan, jantungnya menggelepar sebab gadis itu menyangkat kepala dan menatapnya. Sejuta pesona terhimpun dalam mata itu. Bagai telaga yang menyimpan sejuta misteri. �ore.�Bibir gadis itu terkuak. Kelopak bunga mawar itu terkuak pada senja yang disungkup keredupan sinar matahari. Maka bibir itu nampak cemerlang. Mata gadis itu masih menatap. Menaksir-naksir. Banyak percakapan permulaan yang sudah dikursuskan oleh Wawan, tapi tak satu pun teringat oleh Joki. Joki bingung. Mereka masih berdiri berhadapan. Apalagi yang harus dikatakan? �ulang?� Gadis itu mengangguk. Maka Joki bingung lagi. �aya ingin kenalan,�kata Joki kemudian. Kelopak mata gadis itu terangkat. Dia pun bingung Tetapi, bibirnya menyimpan senyum samar. Geli melihat kecanggungan lelaki di hadapannya. �oleh?�Suara Joki tersendat. Gadis itu masih terheran-heran. Dia mengawasi muka lelaki di depannya. Instingnya menilai. Kelihatannya lelaki ini jujur, pikirnya. Lalu dia mengangguk. Joki mengulurkan tangannya. Gadis itu nyaris tertawa. Kayak dagelan. Tetapi, disimpannya tawa itu sebab dia melihat kesungguhan di wajah lelaki itu. �oki. Joki Tobing,�kata Joki saat menjabat tangan perempuan itu. Mak, halusnya telapak tangan ini. �iduri,�kata gadis itu. Widuri, ulang Joki tanpa suara. Widuri, Widuri, Widuri. Baik. Namanya sudah tahu. Lantas? Gadis itu mulai melangkah. �ita pernah ketemu di bus dua hari yang lalu,�ka負a Joki. Gadis itu mengangguk. Rambutnya melambai. �aktu itu hujan,�lanjut Joki. �a. Sekarang musim hujan,�kata Widuri. �ntung hari ini cerah.� �emarin juga cerah.� �alau hujan, repot di Jakarta ini.� �a, tanah-tanah becek.� �ecuali kalau perbaikan kampung proyek Husni Thamrin sudah selesai semua. Jalan-jalan di kampung tak lagi becek.� Langkah mereka pelan-pelan ke arah luar terminal. �erjanya di mana?� Widuri menyebutkan nama sebuah perusahaan asing yang diketahui oleh Joki berkantor di Kebayoran Baru. �idak disediakan pengangkutan?� Widuri menggeleng. Lehernya yang jenjang mengintai di sela rambutnya. �inggal di mana?� Widuri menatap Joki, lalu tersenyum. Hanya itu. �oleh saya antar?� Widuri tetap tersenyum, tetapi tak memberikan jawaban. �oleh?�desak Joki. Gadis itu menggeleng. �enapa?� Rambut gadis itu melambai. Dia menggeleng. Ah! Joki terdiam. Mereka tiba di luar terminal. Mata gadis itu mencari-cari sesuatu. Seorang pengemudi helicak menyorong kendaraannya mendekati Widuri. Widuri tersenyum. Nampak-nampaknya dia sudah biasa pa虺ai helicak itu. Pengemudi helicak itu sudah tua. �gak cepat pulang hari ini?�kata pengemudi helicak itu. Dari dialeknya, Joki bisa mengetahui dari daerah mana pengemudi helicak itu berasal. �i dia jabu na (di mana rumahnya)?�tanya Joki. Pengemudi helicak itu menatap Joki. Lalu tertawa. �agak ate (cantik ya)?�katanya. Dia men-start helicaknya, lalu pergi. Sekejap Widuri sempat melintaskan pandangan arah Joki. Dan, lelaki itu terpana. Asap dari knalpot helicak mengotori udara sore. Dan sesuatu terbawa dari diri Joki, dilarikan oleh helicak yang menyusup kesibukan lalu-lintas. Rembang petang sebentar lagi turun. Maka kesibukan kendaraan yang berseliweran kian bertambah sebab orang-orang tak sabar untuk segera tiba di rumah masing-masing. Joki melangkah santai kembali ke terminal. Lalu kembali duduk. Wawan berjanji akan datang. �udah aku tahu namanya,�kata Joki begitu Wawan tiba. �iduri. Bagus ya?� �m.�Wawan bergumam. �lamatnya sudah kau ketahui?� �tu gampang. Helicak yang biasa dipakainya, pengemudinya bisa kucari. Orang Batak. Aku tahu bengkel tempat mereka biasa mereparasi helicak. Bengkel orang Batak.� �ah, di mana-mana orang Batak. Bisa kacau kota ini.� �alu, apa yang harus kulakukan lagi?� �empat kerjanya sudah kau ketahui?� �udah.� �ah, lebih baik besok sore kau tunggu di dekat kantornya. Biar bisa naik bus sama-sama dari sana.� �aupikir dia mau?� �ukan soal dia mau atau tidak, tapi soal kesempatan. Kau harus menciptakan kesempatan itu.� Joki mengangguk-angguk. �arangkali aku memerlukan ajimat sekarang,�katanya. �h, taik ajimat. Nonsens!� �oalnya aku gugup kalau ketemu. Aku bingung. Aku kehilangan kata-kata.� �ak perlu banyak berkata-kata.� �ya, tapi �an perlu ngomong. Kalau tidak, bagaimana dia tahu aku tertarik kepadanya?� �engan isyarat dia akan tahu. Apalagi dia orang Jawa. Iya �an? Mereka lebih peka dengan bahasa isyarat. Mereka lebih peka untuk membaca apa yang tersirat. Beda dengan kita, orang Batak dan orang Ambon. Kita lebih senang langsung-langsung saja. Aku tahu betul itu. Sebab, aku pernah punya pacar orang Jawa dulu. Ham計ir kukawini dia.� Joki diam. Dia mengambil rokok yang disodorkan Wawan. �adi, itulah nasihatku. Tunggui dia keluar dari kantornya.� Joki mengisap rokoknya dalam-dalam. Lalu mulutnya monyong untuk membuat bulatan-bulatan asap. �ah, sekarang kita pikirkan kepentinganku. Aku naksir si Meinar. Bisa kaubantu?� �isa saja. Tapi, bagaimana bentuk bantuanku?� �au tidak ada niat sama dia?� �idak.� �api, kulihat dulu kalian akrab.� �entu saja akrab. Dia anak oomku,� �m.�Wawan menakisir-naksir. �ernah kau-kerjain?� �ah! Bagaimana mungkin?� �iapa tahu? �an sempat jadi pacarmu!� �erpacaran �an bukan berarti bisa dikerjain. Biadab betul otakmu!� �ia hot ya?� �ntah.� �api, pernah kaucium, �an?� Sesaat mereka bertatapan. Lalu Joki menyeringai. �ah,�katanya. Wawan mengakak. �m, Meinar,�katanya separo mengigau. Meinar memang hot. Meledak-ledak. Joki ingat ketika gadis itu masuk UI. Ketika itu Joki sudah beberapa tahun menjadi senior di UI. Kuliah sambil bekerja. Lalu mereka bertemu saat Meinar mendaftar. �ai, Joki!� �ai!�Dan, Joki terpana. Siapa mengira dalam beberapa tahun saja gadis ini sudah berkembang menjadi seperti sekarang. Dia seperti negeri Arab yang mengalami perkembangan drastis akibat ditemukannya sumur-sumur minyak. Tiba-tiba saja menjadi dewasa dan subur. Rambutnya yang bergelombang berjuntai hingga bahu. Mukanya lonjong dan mencerminkan kegalakan. Kecantikan gaya Itali. Lebih-lebih matanya, dan bibirnya yang menyimpan kesan: berani membentak lelaki. Wah. �ama nggak kelihatan. Berapa tahun ya?�Suara gadis itu nyaring. �a, lama. Empat tahun. Iya, �an?� �elama ini tetap di Jakarta?� �a.� �ok tak pernah ketemu?� �m,�gumam Joki. Memang aku berusaha agar tidak bertemu dengan kalian sekeluarga, pikir Joki. Jakarta begitu luas. Apa susahnya untuk tidak bertemu dengan seseorang? �enapa tak pernah datang ke rumah?� Joki tak menjawab. �au kuliah di sini juga?� �i FIS. Kau mendaftar ke mana?�tanya Joki. �astra.� �oo. Bagaimana keadaan Nantulang?� �ama sehat. Monang di ITB.� �ulang?� �apa sehat-sehat,�kata gadis itu. Matanya tajam menyeruak. Joki tak acuh. �ku ada beberapa kali ketemu dengan dia,�kata Joki. �h, ya? Kok dia tak pernah cerita di rumah ya? Di mana ketemu?� �i kantornya. Waktu aku bertugas.� �ertugas? Kau sudah kerja?� �a. Merangkap sambil kuliah.� �erja apa?� �artawan.� �ah, hebat.� �ebat apa?� Gadis itu tertawa. Giginya yang halus, rata, dan putih mengintai. Bibirnya yang merah mengelopak. Lantas mereka sering bertemu di Kampus Rawamangun. Sering makan bersama di kafetaria. Juga nonton matine . Kemudian gadis itu mem- fait accomply, mem苑awa Joki ke rumahnya. Maka Joki berbaikan kembali dengan tulang-nya. Toh dia sekarang mahasiswa. Lebih-lebih lagi, dia wartawan pada sebuah surat kabar besar. Itulah. Pertemuan itu menjadi permulaan baru. Mereka pernah bergaul waktu masih kecil. Sekarang, tinggal penyesuaian saja. Joki menarik napas dalam-dalam. Tapi, pintu sudah terbanting, keluhnya. Dia tersentak oleh tepukan di bahunya. Wawan menatapnya. Joki mengawasi cambang Wawan yang rapi serta hidungnya yang mancung. Sebagai orang Ambon, lelaki ini memang layak bangga akan dirinya, pikir Joki. Dia tampan, berwajah simpatik. Kayak Omar Sharif. Cuma lebih kurus. �enapa ngelamun? Mengenang Meinar?�tanya Wawan. �erapa kali sudah kaucium dia?� �ah, gila! Mana bisa kuhitung?�kata Joki. �ang pertama, bagaimana? Ceritakanlah.� �tu privacy . Tak patut diceritakan.� �ku perlu mengetahui itu, biar aku bisa menyusun strategi.� �ayak mau perang saja. Pakai strategi segala macam!� �trategi bukan cuma untuk perang. Untuk pembangunan juga perlu.� �h, ya. Memang perlu strategi pembangunan cinta.� �ah, itulah. Bagaimana kali pertama kau menciumnya?� �ah, itu sulit mengingatnya.� �tu perlu kuketahui. Soalnya, dia bisa digolongkan gadis galak. Sulit untuk merayunya. Aku perlu mengetahui kecenderungan-kecenderungannya.� �ak sulit menciumnya. Itu yang kualami. Entah kalau orang lain.� �agaimana, bagaimana?� �etika itu ulang tahun papanya. Ulang tahun oomku yang darah tinggi itu.� Lampu-lampu kristal yang tergantung di langit-langit bersinar cemerlang. Tamu-tamu semua berpakaian indah. Walau sudah dicanangkan pola hidup sederhana, tetap saja pesta ulang tahun sekaligus kawin perak Tulang Sahala penuh dengan kemewahan. Toh bagi Tulang Sahala masih dianggap sederhana. Tetapi, apa peduli Joki? Malam itu dia hanyalah seorang kemenakan yang harus membantu kelancaran resepsi itu. Tak ada lagi yang perlu dikerjakan. Lalu Joki mengundurkan diri dari tengah khalayak. Lehernya berkeringat. Jas dan dasi yang mencekik leher membuatnya kepingin mencari udara segar di luar. Di koridor, di dekat lukisan Affandi, dia berpapasan dengan Meinar. Sejak tadi Joki ingin memuji gadis itu. Malam itu Meinar bagaikan dewi. Dalam pakaian yang menjuntai hingga lantai, dia terlihat anggun. Tentunya dia juga tak betah menemani orang-orang tua itu. Apalagi orang-orang tua itu cas-cis-cus menyempatkan diri menggunakan bahasa sisa-sisa masa lampau mereka. Sungguh orang-orang tua itu menyebalkan manakala mereka berbahasa Holland di depan anak-anak yang ha要ya belajar bahasa Inggris. Di situ baru benar-benar terasa generation gap yang disebut-sebut dalam koran-koran. Joki dan Meinar bertatapan. Maka Joki lupa untuk mengeluarkan pujian. �yo, ke teras,�kata Meinar. Joki tak membantah. Dia memegang tangan gadis itu, dan mereka melangkah ke teras. Jari-jari Meinar lunak dalam genggamannya. �au tak ada rencana pulang ke Medan, Joki?� Joki menggeleng dalam keremangan teras. Lampu duduk di taman sinarnya redup menggapai terus. �enapa?� �ak ada gunanya pulang. Buang-buang ongkos.� �au �an bisa minta pada surat kabarmu untuk ditugaskan meninjau ke sana.� �uat apa? Aku lebih senang meninjau ke daerah lain. Ke Indonesia Timur terutama. Biarlah wartawan dari sana meninjau Medan. Jadi, bisa saling melihat daerah lain. Itu lebih bermanfaat. Bisa memupuk rasa saling mengerti yang lebih dalam. Yang dari Manado melihat Medan, yang dari Medan melihat Manado atau Makasar.� �au tak rindu pada namboru?� �ah, kayak anak-anak saja. Bisa diketawai orang aku kalau berindu-rindu pada Ibu. Terlalu sisy s.� Mereka bertatapan. Ke tempat itu, semayup terdengar nyanyian Grup Impola terbawa angin dari depan. Lagu Batak yang sentimentil. Aneh sekali. Orang-orang Batak yang dikenal bertabiat keras mempunyai persediaan lagu sentimentil segudang. Dan, orang Batak gampang pula terhanyut oleh lagu itu. Meinar pun membisu menyimak lagu itu. Lagu yang menceritakan nasib anak muda yang pergi merantau. Sebelum pergi, anak muda itu telah berjanji kepada seorang gadis. Dia pergi karena kemiskinan. Lantas, ketika dia pulang, ternyata dia menemukan gadisnya telah menjadi istri sahabatnya. Tak ada lagi yang bisa dikatakannya. Seluruh kekayaan yang diperoleh di rantau, apalah artinya. Seluruh perjuangan keras yang dijalani di rantau selama ini, apalah artinya. �ebih baik aku terjun ke Danau Toba pada saat penolakan orang tuamu dulu,�kata pemuda itu. �ebih baik mati di saat itu kalau memang beginilah akhirnya. Telah kujelajah kota yang kejam, telah kutaklukkan Jakarta yang keras, tetapi ternyata aku dikalahkan oleh kampungku sendiri. Tu magon nama au mate, tu magon nama au mate, tu magon nama au mate. Lebih baiklah aku mati, lebih baiklah aku mati, lebih baiklah aku mati.� Nyanyian itu berakhir. Meinar menarik napas dalam-dalam. Matanya berlinang. Joki menatap bunga-bunga di taman. Grup Impola di ruangan resepsi membawakan lagu berirama Latin. �adi, kau tak mau pulang, Joki?�tanya Meinar. �idak.� �mongboru (suami namboru ) �an sudah lama keluar dari RTM?� �a.� �ak ada yang ingin kautemui di sana?� �idak.� Sesaat gadis itu membisu. �ku ingat waktu kita kecil,�katanya kemudian. �au sering menjemputku dari sekolah. Ketika itu aku masih di Taman Kanak-Kanak. Kau berkelahi dengan anak-anak yang menggangguku. Padahal Monang, abangku sendiri, tak pernah membelaku.� �i daerah kita, anak-anak memang sering berkelahi,�kata Joki datar. �onang juga sering berkelahi, tetapi tak pernah karena membelaku.� �ebenarnya kau tak perlu dibela. Kau galak. Kau memang sering cari gara-gara.� Gadis itu tersenyum. �ku galak? Ya, barangkali. Karena itu aku tak pernah lama punya pacar. Gampang putus.� �h, masak. Kau cantik. Pasti banyak laki-laki yang suka kau.� �asak iya?�Senyum gadis itu tambah mekar. �alau kau ikut pemilihan Miss Pariwisata, aku yakin kau dapat nomor.� Gadis itu tambah merapatkan duduknya ke tubuh Joki. Joki tetap tak acuh. Tetapi, barangkali justru ketak苔cuhan ini membuat Meinar semakin geregetan. Kemudian itulah! Entah siapa yang mendahului, mereka sudah berciuman. Terus terang, Joki memang sudah sedari tadi ingin mencium gadis itu. Tetapi, dia terlalu rapi menyimpan perasaannya di balik ketakacuhannya. Barangkali itu yang menyebabkan gadis galak itu tak sabar untuk segera dicium atau mencium. Bibir yang panas dan tubuh yang lunak itu menjadikan Meinar sejinak pada masa kanak-kanaknya yang manja. Itulah. Joki menatap Wawan yang duduk tekun di sampingnya. �tulah? Kok gampang sekali?�tanya Wawan. �enghadapi cewek yang galak memang susah-susah gampang. Kalau kita main serobot, bisa-bisa kita ditempeleng,�kata Joki. Wawan mengangguk-angguk. �a, aku tahu,�katanya. �ewaktu di SMA, kabarnya dia sudah punya pacar. Tapi, pacarnya itu ada yang pergi setelah mendapat tempeleng. Barangkali tak kena slah nya. Dia kira kayak menghadapi cewek yang malu-malu. Kalau cewek pemalu memang perlu diserobot. �an begitu?� �a.� �ah, untuk selanjutnya, kau sendirilah yang maju. Aku tak mungkin membantumu.� �enapa? �an masih familimu?� �ya, famili. Tapi, perfamilian itu sudah putus akibat keadaan sekarang.� Terminal itu telah dibalut malam. Lampu bus yang datang dan berangkat berkedip-kedip. Wawan berdiri. Diikuti Joki. �e mana kita?�tanya Joki. �ertanyaan klasik buat orang muda. Mau ke mana kau? Bagaimana aku bisa menjawabnya? Jalan yang kutempuh semrawut. Jalan yang dirintis oleh orang-orang yang lebih tua dari kita semuanya menuju neraka.� �laaah, tak usah sok filsafat!� �ni bukan filsafat. Ini kenyataaan. Seperti yang kau苔lami. Beberapa minggu yang lalu kau masih menjadi wartawan yang bersemangat. Sekarang kau jadi penganggur.� �h, tak usahlah kita persoalkan. Lebih baik ngomong soal cewek.� �tu satu bukti frustrasi tingkat maksimal. Beberapa teman yang kukenal sebagai aktivis di kampus juga bersikap semacam itu. Setelah mengalami bantingan sedikit, mereka terus menarik diri dari kenyataan. Mereka masuk ke dunia mimpi. Dunia percewekan.� �oh kau juga sibuk memikirkan cewek!� �api, tidak melupakan yang lain-lain. Aku masih tetap ikut diskusi-diskusi seperti biasanya, membahas masalah kemasyarakatan. Tidak frustrasi. Bantingan kecil tidak membuat aku frustrasi.�kata Wawan. �antingan kecil, katamu? Bah! Menjadi penganggur kau bilang bantingan kecil? Pekerjaan sebagai wartawan itu kuperoleh dengan susah-payah, Wan. Aku pernah kerja jadi montir di bengkel motor. Pernah jadi sopir bemo. Karena itu maka pekerjaan sebagai wartawan itu merupakan perjuangan berat. Tapi, dengan gampang aku di- onslagbegitu saja!�kata Joki. Kesengitan membuat napasnya sesak. �api, kau �an berhenti dengan hormat.� �ku hanya ingin bekerja sebaik-baiknya, bekerja secara profesional! Tapi, perlakuan yang kuterima sangat menyakitkan. Caranya, Wan, sangat busuk. itu yang menyakitkan hatiku.� �a, aku tahu. Tapi, perusahaanmu tak ada pilihan lain.� �tulah yang membuat kenyataan ini semakin pahit. Secara jurnalistik, apakah aku membuat kesalahan? Aku menulis berita sesuai dengan apa yang terjadi. Kebetulan saja berita yang kutulis itu mengenai gerakan-gerakan mahasiswa. Nah, apakah itu terlarang menurut jurnalistik?� �ah, wah! Daripada kau jadi senewen, lebih baik kita cari hiburan,�kata Wawan. �ku, Burwan Wattimena, akan mendampingi kau dalam susah dan senang. Aku, Burwan Wattimena, yang ada di siang dan di malam, akan mendampingi kau dalam frustrasimu.� �h, taik!�kata Joki. Tetapi, kemudian dia tertawa. Lalu mereka meninggalkan terminal itu. Di pintu ke luar, Joki berkata, �tu pengemudi helicak tadi. Aku mau tanya alamat cewek itu.� Mereka mendekati pengemudi helicak. �oras, Bapak!�kata Joki. �apak yang antar gadis pakai baju biru tadi sore, �an?� Lelaki tua pengemudi helicak itu menatap Joki sesaat, kemudian menyeringai memperlihatkan giginya yang coklat bekas rokok. Itu namanya senyum lebar. �a.�katanya. �i mana rumahnya?� Untuk beberapa saat lelaki itu mengawasi mata Joki. �ntuk apa?�tanyanya seperti anjing yang siap melindungi anaknya. �ggak apa-apa. Cuma kepingin ke rumahnya.�Joki tersenyum sumbang. �m, dari Jalan Bungur, tapi masih masuk gang. Dia cuma turun di mulut gang.� �oo, terima kasih.�Maka bahu Joki terketuk. �udah kubilang,�kata Wawan, �autunggu saja dia abis kantor. Bisa omong-omong di bus.� Joki mengangguk. �atuh cinta gaya zaman Siti Nurbaya,�katanya kemudian dengan senyum kecut. Sisa-Sisa Keberanian Manakala Widuri melintas di dekat jendela, maka dia akan melihat lelaki itu berdiri di bawah pohon di pinggir jalan. Apa maunya lelaki itu? Widuri berkemas-kemas merapikan mejanya. Sebentar lagi kantor tutup. Apa maunya lelaki itu? Dan, hati gadis itu rusuh. Sejak semalam hatinya rusuh. Kemunculan lelaki itu kemarin sore di terminal membuatnya bingung. Lebih-lebih lantaran dia masih bisa merasakan cekalan tangan yang masih tertinggal di jari-jarinya. Widuri bingung. Rusuh. Aku tak ingin berdekatan dengan lelaki mana pun. Masa lampauku yang pahit tak mungkin kutambah dengan pengalaman yang tak terduga. Yang tak terduga adalah mengerikan. Bisa pahit, bisa pula getir. Ya, yang pahit, yang getirlah yang mungkin singgah padaku. Aku tak ingin menumpuk kegetiran dalam hidupku. Gadis itu berkeluh dalam hati. Dan, dia keluar dari kantornya. Lelaki itu mendekatinya. �elamat sore,�kata lelaki itu. Widuri menyangkat kepala. Sekejap pandangannya bersamplokan dengan pandangan mata lelaki itu. �da apa?�tanya gadis itu datar. Lelaki itu kebingungan. Matanya gelisah. Dia tak berani menatap mata Widuri. �da apa?�ulang Widuri. Lelaki itu gelagapan. �aya... eh, boleh sama-sama pulang?� Widuri tak menjawab. Dia meneruskan langkah. Lelaki itu menjajarinya. Mereka berjalan ke halte bus. Tanpa bicara. Hanya suara sepatu mereka yang berdetuk-detuk di jalan. Kemudian bus meluncur. Joki kepingin bicara, tetapi dia bingung apa yang mau diomongkannya. Mereka duduk berdampingan. Dan, gadis itu lebih bingung lagi dibanding Joki. �udah lama kerja di kantor itu?�tanya Joki kemudian. �aru empat bulan.� �ebelum itu kerja di mana?� �idak kerja.� �uliah?� �idak.� �udah lama tinggal di Jakarta?� �elum.� Kulit tangan mereka bergesekan. Bus membelok dan miring ke kanan. Keduanya membisu lagi. �ulu saya sering datang ke kantor itu,�kata Joki. �oo,�kata gadis itu. �enang kerja di situ?� �sal ada kerja, itu sudah senang.� �a, memang,�kata Joki murung. �nda kerja di mana?�tanya Widuri. �idak kerja.� �asih kuliah?� �idak. Nganggur.� Widuri melirik lelaki itu. Joki menggoret-goretkan kukunya ke sandaran kursi di depannya. �inggal dengan orang tua?�tanya lelaki itu tanpa mengalihkan pandangan. �idak. Sewa rumah kecil.� �endiri?� �idak.� Lelaki itu melirik ke kanan. Matanya disambar lirikan Widuri. Kebetulan gadis itu sedang memandangnya. Main lirik. Bah, kampungan! Tetapi, entah kenapa Joki merasa canggung. �erapa lama sudah tinggal di Jakarta ini?�tanya Joki. �etengah tahun.� �oo, baru.� �nda?� �nam tahun.� �oo, lama,�kata Widuri. Senang rasanya mendengarkan suara gadis itu. Lunak dan empuk. Menyusup nyaman ke telinga. Berputaran di kepala, lalu mengalir ke hati. Nyaman. Tetapi sayang sekali dia sangat sedikit bicara. Sementara itu Joki sendiri tak mampu bicara banyak. �inggal di mana?�tanya gadis itu. �tan Kayu,� �ho, kok sampai ke Kebayoran?� �h, enggak. Biasa.� �iasa apa?� �ggak apa-apa. Saya memang senang keluyuran. Sejak nggak kerja, saya banyak keluyuran.� �ulu kerja di mana?� �i koran.� �oo, wartawan?� �a.� �enapa berhenti?� �ipecat.� �enapa?� �anyak persoalan. �oo.� Bus melaju. Kali ini sopirnya terampil mengemudi. Jalannya halus dan lincir. Belokannya pun tidak patah dan tersentak. �ebelum tinggal di Jakarta ini, di mana tinggal?� �ogya,�kata gadis itu. Joki menoleh sebab suara gadis itu terdengar tersekap. Widuri membuang pandang lewat jendela bus. Bangunan-bangunan megah lari cepat ke belakang, ditinggalkan bus yang melaju. �oo, di Yogya. Saya pernah dua kali ke sana,�kata Joki. �engikuti rombongan pusat. Pertama waktu Sri Sultan meresmikan pabrik tekstil baru, dan kali kedua waktu menteri PU.� Widuri tak bereaksi. �api, sayang sekali tak sempat melihat-lihat. Acaranya terlalu padat. Untungnya saya bisa ke Bulaksumur, melihat kampus terbesar di Indonesia.� Widuri tetap membisu. Matanya nanap melihat ke luar. Angin menerpa rambutnya. �ernah kuliah di Gama?�tanya Joki. Gadis itu tersentak. Dia menggerakkan kepala, lalu menunduk. �ernah,�jawabnya dalam desah. �akultas apa?� �konomi.� �amat?� �idak.� �enapa tak diselesaikan?� �ak kenapa-kenapa.� Nampak-nampanya Widuri tak senang membicarakan soal Yogya. Maka Joki mengalihkan pembicaraan, �udah melihat-lihat seluruh Jakarta?� �idak.� �enapa?� �ak kenapa-kenapa.� Lantas diam lagi. Dan, matahari telah condong ke barat. Sinarnya yang merah masuk ke dalam bus, menimpa wajah Widuri yang lembut. �alau malam, apa acaranya?� �i rumah saja,�kata Widuri. �ggak sering nonton?� �idak.� �ggak sering jalan-jalan?� �idak.� �ggak senang jalan-jalan?� �idak.� �onton juga nggak senang?� Masih �idak�jawaban gadis itu. �ha, jadi, senangnya apa?�tanya Joki. �idak ada.� �ah!� Widuri menoleh. Joki tersenyum. Hm, senyumnya tidak sekeras matanya, pikir gadis itu. Bus tiba lebih cepat dari biasanya. Rasa-rasanya, jalan yang ditempuh bus itu lebih singkat dari biasanya. Rasanya. Mereka turun. �agaimana kalau kita turun dulu?�tanya Joki. �aaf, saya harus buru-buru.�Gadis itu berjalan ke arah kumpulan helicak. �oleh saya temani sampai rumah?� �erima kasih. Tak usah. Saya lebih senang sendiri.� Joki berdiri mematung di dekat helicak yang sudah terbuka pintunya. Alangkah dinginnya, keluhnya dalam hati. Sedingin air di gunung pada pagi hari. Untuk sesaat mereka bertatapan. Lalu Widuri masuk ke helicak. �elamat sore,�desahnya. �ore,�kata Joki hampir tak terdengar. Ditimpa matahari sore, helicak itu berderum. Joki tertegak bagai Monas. Sendiri dan sepi, di tengah-tengah sibuknya lalu-lintas. Akan halnya Widuri? Dia menghembuskan napas keras-keras. Hatinya rusuh lagi. Tak ingin. Tak ingin. Tak ingin dia didekati. Tetapi, ah! Mata lelaki itu. Mata yang gelisah. Mata yang tak berani bertatapan. Mata yang menimbulkan iba. Mata yang memohon simpati. Ah, gelisah apa gerangan yang tersimpan dalam hati lelaki jangkung itu? Mata itu, mata itu, mata itu, ah! Mengingatkan Widuri pada mata seseorang yang sudah lampau. Mata yang pernah mengkilik-kilik hatinya. Mata yang menyimpan sejuta cinta, tetapi tak berani pemilik mata itu mengungkapkannya. Mata yang pemiliknya dicintai Widuri. Tetapi, masing-masing tak berani mengungkapkan cinta. Oh, mata yang menatap, lekat-lekat, tetapi menyimpan kegelisahan berkepanjangan. Widuri menyalakan lampu, membersihkan semprongnya, lalu menggantungkan lampu itu. Rumahnya yang kecil, yang apik, menyungkupkan kesepian. Lalu dia masuk ke kamar. Lalu berusaha melupakan sore yang te衍ah dilaluinya. Joki menunggu Wawan yang melangkah mendekatinya. Senyum lelaki itu membuat Joki berusaha menghilangkan kemurungannya. �ku lihat tadi kalian turun dari bus,�kata Wawan. Joki membisu seperti baru saja tersapa hantu di tempat yang angker. Bengong. �erhasil?�tanya Wawan. Joki menghela napas berat, bagai traktor yang menyeret balok raksasa. Dia menyangkat bahu dan berkata, �ntahlah. Aku bingung.� �angan bingung. Mari kita bahas. Mari kita analisa. Ceritakanlah.� �au dibilang sombong, dia mau menjawab pertanyaanku. Mau dibilang mendapat sambutan, dia hambar.� �arangkali itulah jinak-jinak merpati.� �ku tak tahu, jinak-jinak merpati atau jinak-jinak balam. Pokoknya aku tak bisa menarik kesimpulan.� �ah, ini sulit. Tapi, kau sudah tahu dari mana asalnya?� �a. Dari Yogya.� �m, dari Yogya.�Kening Wawan berkerut. �iasanya orang Yogya: mungkin untuk tidak, dan tidak untuk ya.� �h, apa pula itu? Menambah pusing kepalaku!� �tu gampang. Kita minum bir nanti. Pokoknya besok kau serang lagi. Ulangi strategi tadi. Selama dia masih mau menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, itu berarti ada harapan. Kalau memang dia menolak, dia akan diam seribu bahasa. Jadi, diam berarti penolakan. Paham?� �api, soalnya, aku sendiri bingung apa yang harus aku omongkan.� �h, omong apa saja. Pokoknya bertanya. Asal, jangan kautanyakan berapa umurnya, berapa anaknya, atau berapa suaminya.� Joki diam. Wawan menyeretnya meninggalkan tempat itu. Dan, tiba-tiba keduanya terlompat ke pinggir. Seorang pengemudi helicak mendelik sebab hampir saja menyerempet mereka berdua. �alu, urusanmu dengan Meinar, bagaimana?�tanya Joki. �eres! Aku sudah datangi dia ke rumahnya. Malam Minggu ini aku akan bawa dia nonton di TIM.� �Good. Tapi. hati-hati. Jangan anggap menghadapi cewek biasa. Bisa dibantingnya kau. Dia pernah latihan judo.� �a, aku tahu. Aku akan hati-hati. Aku pikir dia suka pada lelaki lembut, tapi yang sekaligus keras.� �agaimana bisa lembut dan keras bergabung?� �aksudku, berhati peka, tapi siap melawan. Jadi, berjiwa seniman, tapi mau melawan jika terinjak.� Joki mengangguk-angguk. �alau cewek yang kuuber ini, laki-laki yang bagaimana kira-kira yang disukainya?� �arangkali laki-laki pemurung.� �agaimana kau tahu?� �au ingat waktu kita di bus? Dia tak mau menjawab pertanyaanku, tapi dia mau omong dengan kau. Waktu itu kau �an sedang murung tak karuan. Muka衫u kayak anak kecil yang baru saja dimarahi ibu tirinya. Matamu tak berani kau angkat.� Keduanya menyusuri jalan yang dinaungi pohon. �emang membingungkan urusan dengan cewek,�kata Joki. �angan bingung. Kalau bingung, kita jadi terbenam. Kita akan jadi permainan nasib. Padahal, kitalah yang harus mempermainkan nasib.� Joki terdiam. �agaimana nasibmu sekarang? Sudah ada yang mau menampung?� �elum,�jawab Joki dalam satu tarikan keluhan. �abarlah. Situasi ini akan berubah. Suasana akan lebih lunak.� Joki menyelipkan jarinya ke saku celana. Dia menendang-nendang biji salak. �tau, mulailah ngobyek-ngobyek. Kau �an punya banyak relasi,�lanjut Wawan. �adang-kadang aku agak menyesal mengikutkan bakaran idealisme waktu yang lalu. Sekarang, inilah akibatnya. Terbuang dari pekerjaan.� �api, �an tak terbuang dari teman-teman. Itu yang lebih penting. Teman-teman seide jauh lebih penting dari apa pun. Kita masih muda. Kalau idealisme itu padam, entah apa macamnya kita nanti. Mungkin cuma jadi generasi konsumtif. Generasi yang hanya menghabiskan. Ber-Tuhan pada uang. Tak punya keterikatan kepada lingkungan. Tak punya simpati pada kehidupan sesama. Ini berbahaya.� �h, kau kayak kotbah saja.� �h, iya. Yang kulakukan banyak keluar dari idealisme generasi muda. Untuk obyekku, aku sering membuat orang-orang main komisi.�Lantas Wawan tertawa mengakak. �ku teriak antikorupsi, tapi diam-diam aku memberikan peluang untuk main komisi,�lanjut Wawan di sela-sela tawanya. Mereka menunggu lampu hijau untuk penyeberang jalan. Kemudian mereka melintas ke seberang jalan. *** Derai piring kaleng jatuh, lalu hingar-bingar terdengar. Joki tersentak. Dia membuka mata. Tetapi, aduuuh, silau! Dia kembali memejamkan mata. Kesadaran samar-samar muncul lebih jelas di kepalanya. Hari pasti pagi lagi. Matahari telah menembus ventilasi. Sorotnya persis menimpa muka Joki yang terbaring di ranjang. Ludahnya pahit. Terlalu banyak merokok dan minum bir tadi malam. Kehingarbingaran itu berasal dari luar, dari para te負angga. Rumah-rumah di kawasan itu memang berjejal苔n. Joki duduk di pinggir ranjangnya sambil mereka-reka apa yang harus dikerjakan hari ini. Dan, dia ingat tak perlu mengerjakan apa pun. Lalu dia kembali berbaring. Keinginannya untuk kencing ditahan. Dia malas bangun. Lalu tangannya meraba kretek di meja di dekat kepalanya. Dia merokok sembari menatap langit-langit kamar yang kotor. Lantas membayang wajah Widuri. Wajah yang mencerminkan keteduhan. Tetapi, rasa-rasanya menyimpan kesedihan. Dan, Joki tak tahu akan dinilai bagaimana gadis itu. Tidak sombong, tetapi sulit didekati. Tidak murahan, tetapi untuk mendekatinya terasa gampang. Di luar, barangkali matahari bersinar cerah. �antingan sedikit tidak membuat aku frustrasi.� Joki ingat Wawan. Bantingan sedikit tidak membuat aku frustrasi, kata Wawan kemarin sore. Frustrasikah aku? Siapa bilang aku frustrasi? Tetapi, jika memang tidak frustrasi, kenapa aku penuh keragu-raguan masa belakangan ini? Kenapa aku jadi minder menghadapi orang? Kenapa aku tak berani menatap mata gadis itu? Kenapa aku kehilangan kata-kata sewaktu menghadapinya? Padahal, semasih menjadi wartawan, aku tak pernah kehabisan bahan obrolan dengan teman bicara. Tetapi, kenapa sekarang aku kebingungan meng虐adapi gadis bernama Widuri itu? Sederet pertanyaan membombardir Joki. Kenapa, kenapa, kenapa, menghunjam di benaknya, membuat dia ingin menempelak kepalanya sendiri sebab jengkel. Di luar terdengar jerit anak kecil. Ada suara perempuan nyinyir menimpanya. Kesibukan di perumahan rak軌at yang berjejalan itu membuat Joki tak kerasan berlama-lama di kamar. Kebisingan menyeruak ke dalam kamarnya, mengobrak-abrik ketenangan yang semula masih ingin mengedap di kepalanya. Maka Joki memutuskan untuk pergi ke kampus. Matahari di Rawamangun melemparkan kehangatan. Bayangan pohon cemara di tanah berpasir menimbul虺an imaji sejuk. Yang hangat dan yang sejuk, itulah nyaman. Joki menghirup udara pagi. Paru-parunya lahap menerima udara segar. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Bangunan-bangunan fakultas terpacak asri. Dan, sekarang terasa bangunan-bangunan itu lebih akrab de要gan hati Joki. Ada perasaan kerasan berada di lingkungan itu. Selama ini, fakultas hanya merupakan tempat singgah yang serba terburu-buru bagi Joki. Ini akibat kesibukan pekerjaan yang menyita waktu. Tetapi, sekarang tak ada lagi yang memburunya. Dia bebas. Dia tidak diuber oleh kewajiban apa pun. Tanah berpasir membenam ujung sepatu Joki. Ujung celananya yang lebar melambai-lambai. Langkahnya perlahan, tetapi pasti. Berbeda dengan hari-hari yang lalu, hari-hari dengan langkah tergesa. Tugas-tugas jurnalistik yang terikat oleh deadline menjadikannya seperti mesin yang harus berpacu dengan waktu. Tugas kewartawanan yang mendewa-dewakan aktualitas berita membuatnya tak sempat akrab dengan kampusnya. Sekarang dia tahu bahwa sebenarnya udara di kampus sangatlah nyaman. Kendati tanah gersang, derai-derai cemara yang meluruhkan daunnya adalah suasana yang berbeda dengan gersangnya aspal di pusat kota. Di sini Kampus UI di Rawamangun. Aku warganya. Kenapa selama ini suasana tidak kunikmati? Dia berpapasan dengan empat orang gadis. Parfum mahasiswi-mahasiswi itu mengambang. Pakaian mereka berdesah-desah dalam setiap gerakan. Kepala Joki berputar mengikuti tubuh gadis-gadis itu. Bukan main, pi虺irnya. Seperti peragawati. Atau, siapa tahu mereka me要ang peragawati? Bukankah mahasiswa UI banyak yang menjadi bintang dalam berbagai show? �eit!�jerit seorang gadis yang nyaris tertabrak oleh Joki. Joki kaget. Sampai-sampai terlompat. Dan, begitu memandang gadis itu, senyumnya mekar. �angan mata bakul dong,�kata gadis itu diiringi tawa renyah. �ah, kau membuat aku kaget. Hampir saja jantungku terlepas dari tempatnya.� �alau begitu kau perlu main golf, biar tak kena serangan jantung.� �ayak orang besar, he!� Lantas keduanya tertawa. �Back to campus?�tanya gadis itu. Joki menyeringai. �pa kabar, Lusi?� Gadis itu, Lusi, tak menjawab. Dia mengawasi Joki dalam-dalam. �ku dengar....� �a, itu sebabnya sekarang aku datang ke sini,�kata Joki memutus. �adi, kau kira kampus ini cuma tempat penganggur, he!�Bibir gadis itu mengerjap-ngerjap. Joki mengagumi bibir yang kemerahan dipulas lipstik tipis itu. Lipstik warna merah jambu. Bagus. Serasi dengan bajunya yang hitam. �eman-teman kepingin ketemu dengan kau,�kata Lusi. �h, ya? Untuk apa?� �da yang tarohan, apakah kau akan datang ke kampus minggu ini, atau pulang ke kampung.� �ah! Aku jadi barang tarohan?� �aklumlah orang penting. Kayak Mohammad Ali �an jadi pusat pertaruhan?� �alau kau, pegang yang mana?� �ada alternatif ketiga, yang tidak tersebut di antara yang dua tadi. Kau minta suaka politik pada kedutaan asing!�kata Lusi. �ah!� Dan, keduanya tertawa. �alau Uganda punya perwakilan di sini, aku memang akan minta suaka politik pada mereka. Aku pengagum Oom Idi Amin,�kata Joki. Matahari semakin cerah. Derai tawa semakin terbawa jauh oleh angin. Mereka masih berdiri di bawah pohon cemara. Angin memberaikan rambut Lusi. Tangan Lusi sibuk merapikan rambut itu. �ekarang kau mau ke mana?�tanya Joki. �ulang.� �ok cepat?� �ggak ada kuliah. Tadi aku cuma mau melihat pengumuman.�Lusi mengayun-ayun tasnya. �angan pulang dong,�kata Joki. �antas?� �gobrol kek, nyanyi kek, berak....� �ah?� �ya, daripada berak di rumah.� �ilamu kok belum hilang sih? Sejak Mapram dulu kau gila.� �ulanya aku tergila-gila sama kau. Tapi, karena kau lebih suka sama Bram, aku jadi gila sungguhan.� �h, taik!�sergah Lusi. �a, taik kuda, bisa membikin tetanus.� �h, kau masih ingat sama si Roy?� �ang hampir kena tetanus sewaktu Mapram kita dulu? Di mana dia sekarang? Aku tak pernah ketemu dengan dia lagi.� �udah kerja di Bogor, waktu dia masih tingkat tiga.� �ah, kok nggak melanjutkan? Padahal otaknya pintar ya? Dulu dia sering menjadi tempat aku meminjam catatan kuliah.� Lusi mengayun-ayunkan tasnya lagi. Celananya yang brai-brai bergoyang diterpa angin. Tubuhnya yang langsing kelihatan anggun. Tetapi, ternyata tinggi badannya hanya sebatas dagu Joki. Joki memperhatikan hidung Lusi yang bangir. Hidung yang dikaguminya ketika mereka menjalani Mapram beberapa tahun yang silam. �ram bagaimana?� �Kan sudah lama selesai?� �au kok belum?� �ngkatan kita memang belum ada yang selesai. Bagaimana aku bisa?� �iapa tahu? �an di antara angkatan kita, kau yang paling....� �ego!�putus Lusi. Keduanya tertawa. �ke dah, aku mau pergi.� �gapain sih cepat-cepat pulang? Kayak punya baby di rumah saja.� Gadis itu tersenyum. �alian sudah kawin?�lanjut Joki. �alian siapa? Siapa dengan siapa?� �au dan Bram.� �etul-betul kau ketinggalan zaman. �an sejak lama aku nggak ada apa-apa dengan dia?� �adi, dengan siapa sekarang?� �ko.� �ai, bagus! Tokoh mahasiswa itu ya?� Senyum Lusi tambah lebar. Giginya yang putih mengintai. Cocok untuk reklame pasta gigi. �ku kepingin ketemu dengan teman-teman,�kata Joki. �ari ini nggak ada yang muncul.� �ku kepingin berdebat.� �ah, nggak ada lawan.� �asak?� �ya. Sekarang ini diskusi-diskusi jarang. Malahan boleh dibilang nggak ada.� �arus, Fausi, dan yang lain-lain, bagaimana kabarnya?� �ntahlah. Sudah lama aku nggak ketemu dengan mereka.� Joki menatap kerikil di dekat sepatunya. Semua porak-poranda, pikirnya. Jika orang-orang muda itu telah kehilangan semangat, apa jadinya negeri ini? Jika pentolan-pentolan diskusi yang selamanya asyik melihat problem-problem kemasyarakatan itu telah melempem kayak apem, apa jadinya? Jika benar begitu, maka te衍ah gugur kuntum yang belum sempat mekar. �e, kok melamun?� Joki gelagapan. Mereka masih berdiri berhadapan. �ku kepingin mentraktir kau,�kata Joki. �itraktir? Ha, bagus juga. Ditraktir pensiunan wartawan. Oke. Ke mana?� �m. Di restoran yang pakai AC. Tapi, sebelum itu, karena aku kepingin mengenangkan saat-saat Mapram dulu, bagaimana kalau kita nonton matine lebih dahulu?� �ke, oke, oke!�kata Lusi. Tawanya seperti kicau burung murai. Mereka melangkah beraturan. �alan sama cewek, tangan jangan dikantong dong,�kata Lusi. Joki tersenyum. Lalu mencabut tangannya dari kantong celana. �ku nggak biasa jalan pelan-pelan. Maklum, biasa tergesa-gesa. Kalau jalan pelan, aku bingung di mana harus menaruh tangan.� �m,�gumam gadis itu. Dia melirik Joki. �alau berjalan dengan pacarmu, bagaimana?� �acar? Ah!�Joki tersipu. �pa setiap wartawan kalau jalan tergesa-gesa?�ta要ya Lusi. �erbawa oleh kebiasaan.� �antas sekarang, apa kerja kau?� �ak ada.� �epot dong. Sudah biasa sibuk, tiba-tiba menganggur.� �ah, itulah soalnya.� �ggak mencoba di bidang lain?� �pa yang bisa kukerjakan? Dagang? Aku tak berbakat. Juga tak punya modal. Kerja administratif? Aku tak cocok. Dan, lagi pula belum tentu ada yang mau menerima. Serba repot. Barangkali aku harus kembali pada kerjaku yang paling awal.� �pa?� �i bengkel.� Dan, ingatan Joki berkelebat pada setumpuk besi hitam berminyak di sebuah bengkel di Slipi. Ketika itu, dia baru saja terusir dari rumah Tulang Sahala. Dia datang ke rumah temannya, lalu diperkenalkan kepada Hutagalung. Hutagalung punya bengkel. Lalu, itulah, dia magang di situ. Hanya dapat uang makan pada mulanya. Apakah harus kembali pada masa lampau? Joki telah berjuang untuk keluar dari libatan nasib sehingga akhirnya dia layak dianggap sebagai montir yang baik. Karena mendapat gaji yang layak, maka dia berhasil menamatkan SMA-nya. Kegetiran telah dilaluinya. Lalu dia diajak seorang Batak yang mempunyai bemo, untuk menyopiri bemo itu pada malam hari. Siang hari bemo dijalankan oleh pemiliknya sendiri. Maka Joki pun bisa kuliah. Sehari-hari dia harus melompat dari bengkel ke kampus, dan dari kampus ke jalanan di kota. Sepanjang hari dia mendera dirinya. Tempo-tempo hatinya menjerit manakala harus menghadapi orang-orang muda yang menserviskan kendaraan mereka ke bengkel. Mereka tak mau keluar dari mobil, dan tak sabar karena menganggap kerja Joki terlalu lambat. Beberapa tahun yang lalu, akulah yang berada di dalam mobil itu, pikir Joki serta-merta. Beberapa tahun yang lalu, aku serupa dengan kalian. Berdunia ceria. Meloncat dari keasyikan yang satu ke keasyikan yang lain. Ya, betapa tidak! Ayah Joki seorang yang berada. Seorang direktur PN besar. Apa yang tidak bisa diberikan kepada keluarga? Segalanya bisa. Segalanya. Segalanya seperti memetik dari langit. Joki tak peduli bagaimana langit memberikan segalanya kepada keluarganya. Tak peduli. Tak peduli bagaimana ayahnya memperoleh kedudukan di PN itu. Bahkan, telah beberapa kali Joki melintas di depan sebuah rumah di Jalan Iskandarsyah. Langit Kota Medan yang cerah menimpakan sari-sari panasnya ke badan Joki. Tetapi, tak terasakan oleh Joki sebab angin yang berkesiur dari depan sejuk membelai. Derum motor betingkah-tingkah mengikuti permainan gas di tangan lelaki muda itu. Kemudian dia menemukan nomor rumah yang dicarinya. Sebuah rumah mungil bergordin hijau. Semua jendela rumah itu tertutup. Joki sudah mendapat info bahwa memang demikianlah keadaannya. Rumah itu selamanya tertutup, meski ada penghuni di dalamnya. Seorang gadis cantik, dan gadis itulah yang akan ditemui Joki. Dada lelaki muda itu berdebur-debur. Telapak kakinya panas. Dia tahu bahwa gadis itu pastilah kesepian. Pasti! Maka Joki mengetuk pintu. Di pintumu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling lagi. Joki mengulang-ulang sajak yang pernah dihapalnya, dalam hati. Pintu terbuka. Seraut wajah muncul dari celah daun pintu yang terkuak. Mata gadis itu penuh tanda tanya. �da apa? Cari siapa?�tanyanya. Sejenak Joki mematung. Telapak kakinya seperti digelitik. Dia kepingin berjingkrak-jingkrak, tetapi ditahannya. �ku bawa pesan dari Pak Hotma,�kata Joki. Dan, sebagaimana dugaan Joki, gadis itu menguakkan pintu lebih lebar, dan katanya cepat-cepat, �ari masuk, mari masuk.� Lalu pintu tertutup kembali. Hore! Joki ingin bersorak, tetapi ditahannya. Nama Hotma ternyata bisa menjadi mantera simsalabim. Gadis itu mendahului menuju kursi. Joki tersenyum-senyum mengawasi punggungnya. Pinggangnya yang genting, kontras dengan pinggulnya yang sedang ber茆oyang-goyang. Baru saja pantatnya tertaruh di kursi, Joki langsung membuat mata gadis itu terbelalak karena mendengar, �otma Tobing ayahku.� Beberapa saat ketika mereka bertatapan, bibir gadis itu bergerak-gerak. �ggak usah takut. Nggak apa-apa. Aku bermaksud baik datang ke sini.� �a?�kata gadis itu. Wah, bukan main bagus suaramu, pikir Joki. �apa �an sudah dua minggu tidak ke sini. Iya, �an?� Gadis itu mengangguk. �asih lama dia datang. Raker-nya di Jakarta satu minggu. Tapi, masih dilanjutkan meninjau ke Filipina. Barangkali sampai dua bulan.� �a, aku tahu,�kata gadis itu. Joki menelengkan kepala, mengikuti dentang-dentang jam dinding. Pukul dua. �nak ya, tinggal di sini?�katanya kemudian. Gadis itu mengangguk. Beberapa saat ruangan itu hening. Joki bisa mendengarkan suara napasnya sendiri. Juga jantungnya yang menggelepar-gelepar. Seperti merpati disembelih, menerjang-nerjang. Darah pun panas. �ari seluruh keluarga, cuma aku yang tahu bahwa Papa sering datang kemari,�kata Joki. �ari mana kau tahu?� �ho, rahasia.� Gadis itu diam. Matanya menaksir-naksir. �amu kesepian, �an?�kata Joki. Gadis itu melengak dan tersenyum. �apa memang hebat. Hebat berpura-pura. Di rumah, bukan main alimnya, sedangkan di luar... wow!� Gadis itu tetap tersenyum. Lalu Joki pindah duduk di samping gadis itu. Lalu dia membelai rambut gadis itu. �alau Mama tahu Papa sering kemari, barangkali bisa ramai. Mama galak. Bisa-bisa Papa diimpotenkan.� Gadis itu meledakkan tawanya. Dia menoleh lelaki muda yang duduk di sampingnya. Mereka bersitatap. Dan, gadis itu melihat senyum Joki yang mulus dan segar. Lalu dia ingat masa mudanya yang tersekap bulan demi bulan di rumah mungil itu. �idak ada yang tahu kau kemari tadi?�tanya ga苓is itu. �idak,�kata Joki. Dan, dia merasa rumah itu sungguh-sungguh sepi. Rambut gadis itu bergelombang hingga bahu. Harum. Tubuhnya pun menguarkan parfum, entah Avon atau apa. Gadis itu ingat bahwa bulan demi bulan dia tersimpan di rumah itu. Disimpan oleh dan untuk seorang lelaki tua. Maka gadis itu menatap lebih nanap lelaki muda di sampingnya. Dia tersenyum. Mereka tersenyum. Jantung Joki berdenting-denting. Tulang punggungnya menggigil. Kemudian mereka terpilin-pilin di sofa itu. Kemudian pindah di kamar gadis itu. Kelambunya merah jambu. Halus. Spreinya warna biru muda. Licin. Semuanya menimbulkan imaji sejuk. Tetapi, toh tak menyejukkan darah Joki yang membilas-bilas panas. Kemudian, kemudian, kemudian... ah, cuma begitu? Joki mengeluh dalam dada. Dia memacu motornya kencang-kencang. Wajahnya panas. Dia masih membayangkan wajah gadis itu. Wajah yang menertawakannya. Dan, wajah Joki bertambah panas. Ya, hanya beberapa saat. Beberapa saat, lalu loyo. Bah, bah, bah! Tubuh Joki panas. Angin berkesiur di telinganya. Motor yang dipacunya menderum tinggi. Gadis itu tadi tertawa. Pasti menertawakan betapa tidak bermutunya aku, pikir Joki. Bah! Berkobar-kobar seperti kesetanan, tetapi setelah tiba waktunya tak bisa melakukannya seperti yang nampak di blue film itu. Sekejap sekali. Sekejap saja. Bikin malu. Bikin malu. Pasti dia menertawakan aku. Bah! Dan, gropyak. Bruk! Joki harus masuk rumah sakit. Tulang bahunya patah. Dia menabrak becak dan terbanting di aspal. Pertama kali menguji dirinya, tetapi pada ujian itu dia terbanting. Itu terjadi pada usianya yang keenambelas. Dan, ujian itu pula yang selalu menghantuinya. Dan, agaknya, itu pula yang menyebabkan dia selalu ragu-ragu menghadapi gadis-gadis. Dia bersedia berkelahi di mana saja, dengan siapa saja, tetapi jangan ditantang membawa gadis ke ranjang. Karena itu, amanlah gadis-gadis yang pernah menjadi pacarnya. Dan, hatinya menjerit manakala melihat rombongan orang muda dalam mobil. Melihat keceriaan gadis-gadis di dalam mobil yang siap berangkat ke Cibogo itu, Joki menarik keluhan tanpa suara. Itu yang tak pernah dinikmatinya. Dia hanya mengenal perkelahian antar geng. Dia hanya berpacaran model anak sekolah. Mobil ayahnya hanya dipakai untuk membawa gengnya dan menyerbu anak-anak Kampung Sukaramai, atau Jalan Antara, atau di mana saja. Kemudian, ketika dia menservis mobil anak-anak muda yang siap ke Puncak, dia terpaksa menekan kerinduannya pada masa remajanya yang telah lewat. Masa remaja yang tak mungkin terulang. Takkan terulang. Bukan cuma masa remaja itu, melainkan juga kehidupan pada masa itu. Sebab, setelah terjadi G-30-S, kehidupan keluarganya menjadi porak-poranda. Baru dia tahu bahwa kedudukan ayalmya di PN itu lantaran mendapa support dari PKI. Itulah yang menyebabkan ayahnya kemudian ditahan di RTM, dan seluruh kekayaan mereka disita oleh negara. Dan keluarga perwira menengah Angkatan Darat yang dikaryakan sebagai direktur PN, jatuh menjadi keluarga penghuni RTM sebab dituduh sebagai PKI. Kehidupan yang benar-benar jomplang. Maka Joki harus hidup sebagai montir dan menghirup udara tengik bau oli, di sebuah bengkel di Kota Jakarta. Udara tengik Kota Jakarta. Angin pun terasa lebih tajam menusuk kulit. Tetapi di sini tidak. Udara teramat nyaman. Restoran ini ber-AC. Sejuk. Lusi menghirup minuman. Joki mengaduk-aduk bakmi di mangkoknya. �yo, Lusi,�katanya. �asih panas,�kata gadis itu. Ujung pipet bergeser geser di bibirnya. Sesekali Lusi mengisap pipet itu, Bibirnya terlipat. �pa sih alasan pemecatanmu yang sesungguhnya?�tanya Lusi kemudian. �h, entahlah.� �adi, kau sama sekali tak boleh jadi wartawan? Sampai berapa lama?� �iapa tahu berapa lama?�kata Joki hambar. �ah, berabe sekali,�kata Lusi. �enapa kau tak mencoba jadi pengarang?� �ana aku bisa? Aku tak berbakat,�kata Joki lesu. Beberapa saat mereka diam. Hanya decap-decap kunyahan Joki terdengar. Gadis itu makan tanpa menimbulkan bunyi. Bibirnya mengerjap-ngerjap. Sesekali lidahnya menjilat bibir. �adi, kau mau kembali kerja di bengkel?�tanya gadis itu tiba-tiba. �alau dalam enam bulan tidak dapat kerja, ya kupikir, begitulah. Pesangon yang kudapat dari perusahaan sebesar enam bulan gaji.� Matahari telah berada di ubun-ubun langit. Tak ada awan yang menghalanginya. Deru lalu-lintas terdengar hingga tempat mereka duduk. *** Mereka berdiri di pelataran terminal. Joki dan Widuri saling menatap. �enapa aku tak boleh ke rumahmu?�kata lelaki itu murung. Widuri lebih murung lagi. Dia menggeleng. �arena aku cuma penganggur? Kalau aku seorang manajer yang punya mobil, apakah aku boleh datang?� Gadis itu menggeleng lagi. Bibirnya terkatup. Sore itu adalah kali kelima mereka bertemu. Artinya, kali kelima pula Joki menunggu Widuri pulang kantor. Lalu mereka naik bus bersama. Turun di terminal itu. Widuri mengawasi mata yang menatap ke lantai. �ilanglah, apa alasannya kenapa aku tak boleh mengantarmu sampai di rumah.� Gadis itu tetap tak menjawab. �ilanglah kenapa.� Widuri menggeleng.
Posted on: Sat, 13 Jul 2013 20:33:31 +0000

Trending Topics



30px;">
Man Jumps Into Canal To Avoid Trial LAGOS- A suspected fraudster

Recently Viewed Topics




© 2015