yuswohady Marketing in a Whole NEW World « The Giving - TopicsExpress



          

yuswohady Marketing in a Whole NEW World « The Giving Leader Vickynisasi Branding “Vickynisasi branding” adalah sebuah “genre baru” dalam dunia personal branding dan pencitraan. Saya membagi milestones pendekatan pencitraan dari masa ke masa ke dalam tiga genre. Pertama, tatkala media seperti radio atau televisi belum marak kita mengenal apa yang disebut “authentic branding” (pencitraan otentik), yaitu pencitraan yang terbangun oleh kualitas personal yang agung, capaian luar biasa, atau karakter yang mulia dari sosok yang dicitrakan. Kedua, ketika media berbayar seperti koran, radio, dan televisi marak, arah pendekatan pencitraan bergeser menjadi apa yang saya sebut “lipstick branding“, yaitu pencitraan yang terbangun melalui rekayasa (kalau meminjam istilah Vicky Prasetyo disebut “lipstikisasi” kali ya) dari si sosok yang dicitrakan. Sebetulnya si sosok buruk, tapi di layar kaca menjadi kinclong kinyis-kinyis. Sejatinya si sosok bengis bak mafia, tapi di bilbor-bilbor jalan protokol menjadi sosok merakyat penuh empati. Sesungguhnya si sosok adalah koruptor, tapi di halaman-halaman koran menjadi sosok alim penuh kearifan. Ketiga, kini ketika media-media gratis nan powerful seperti Twitter, Facebook, dan terutama YouTube bermunculan, pendekatan pencitraan melangkah lebih jauh lagi menjadi apa yang saya sebut Vickynisasi branding. Vickynisasi branding adalah istilah yang saya ciptakan untuk menyebut model pencitraan yang tak peduli muatan kearifan, tak penting kualitas personal, tak ambil pusing capaian. Ngawur nggak papa, ngasal nggak papa, bahkan kalau perlu menghalalkan segala cara, agar si sosok mendapatkan sejumput kemasyuran instan. Itu sebabnya genre baru ini juga saya sebut: “pencitraan ngasal” atau “pencitraan gemblung“. Authentic Branding Contoh paling gampang dari authentic branding adalah Bung Karno. Bung Karno mendapatkan citra otentik sebagai “Bapak Bangsa” dan “Bapak Proklamator” setelah melalui perjalanan panjang penuh onak dan duri, dengan nyawa sebagai taruhannya. Ia menggagas Pancasila yang kelak menjadi dasar negara. Ia mengobarkan semangat para pejuang melalui pidato-pidatonya yang membara. Ia dikejar-kejar tentara penjajah dan keluar-masuk bui demi kerinduan akan kemerdekaan Indonesia. Jadi citra sebagai Bapak Bangsa dan Bapak Proklamator terwujud melalui kualitas personal yang agung, sumbangsih dan pengabdian kongkrit bagi Tanah Air, dan capaian yang luar biasa. Tak ada yang namanya cuap-cuap di TV atau koran memuji-muji diri sendiri dengan bilang: “akulah pemimpin merakyat! Akulah pemimpin yang peduli rakyat kecil! Akulah pemimpin yang tidak korupsi!” Mahatma Gandhi, Mother Teresa, Nelson Mandela, Martin Luther King, Albert Einstein, Steve Jobs, Bill Gates, atau yang lebih muda Mark Zuckerberg adalah sosok-sosok yang meraih personal brand mengagumkan karena kualitas personal dan capaian-capaian yang mengagumkan. Melalui kontribusi dan capaian-capaian luar biasa itu mereka mampu menghasilkan apa yang saya sebut authentic brand. Lipstick Branding Lalu muncullah media massal seperti koran, radio, dan TV. Media ini bersifat satu arah sehingga editing dan rekayasa terhadap sosok yang akan dicitrakan bisa dilakukan secara sewenang-wenang. Contoh paling gampang dari lipstick branding adalah para capres dan caleg yang bulan-bulan terakhir sedang getol menjual diri. Dalam lipstick branding orisinalitas dan keotentikan dari si sosok tidak penting lagi. Ada dua rule of the game yang harus jalankan dalam lipstick branding ini. Pertama, sebanyak mungkinlah keluar di koran, bilbor, radio, atau TV. Kedua, amplaslah si sosok selicin dan sekinclong mungkin. Si sosok tak perlu merakyat, tak perlu peduli rakyat kecil, dan yang terpenting masih boleh korupsi ratusan miliar. Kenapa? Karena melalui lipstik dan poles sana-sini, citra si sosok bisa disulap menjadi kinclong bersinar. Di layar kaca ia bisa dicitrakan sebagai sosok yang merakyat (biasanya ditampilkan sedang bersalaman atau bercengkrama dengan petani dan nelayan). Di radio ia bisa dicitrakan sebagai sosok yang empati dan peduli. Begitupun di koran-koran ia bisa dicitrakan sebagai sosok garda depan dalam pemberantasan korupsi. Famous in 15 Minutes Lalu bagaimana dengan model pencitraan ketiga: Vickynisasi branding? Kini, ketika Twitter, Instagram, dan YouTube memberi ruang maha bebas bagi siapapun untuk mendapatkan kemasyuran instan, lanskap pencitraan berubah 180 derajat. Dulu ketika media-media tersebut belum hadir, sosok-sosok seperti Soekarno atau Mahatma Gandhi sibuk mengukir prestasi dan capaian luar biasa tanpa pernah sempat memikirkan kemasyuran dan kehebohan. Kini, di era YouTube dan Instagram semua orang bermimpi dan berjibaku mendapatkan kemasyuran instan dan kehebohan instan, walaupun tak setitikpun prestasi mereka torehkan. Ketika mereka hopeless tak mampu membangun kualitas personal yang agung maka mereka menciptakan kenyentrikan-kenyentrikan (yang remeh-temeh dan tidak berguna) untuk memunculkan kehebohan-kehebohan sesaat. Ketika mereka nihil tak mampu menciptakan prestasi dan kemanfaatan, maka merekapun ngasal, ngawur, apapun dilakukan agar kemasyuran instan bisa diwujudkan. Ketika medium-medium untuk narsis seperti YouTube dan Instagram demikian menguasai kehidupan kita, maka semua cara dihalalkan agar kita bisa kondang di seantero negeri. Bicara menghalalkan segala cara demi kemasyuran, saya sekarang jadi takut. Jangan-jangan nanti pejabat publik atau pengusaha sengaja melakukan korupsi agar disorot kamera untuk mendapatkan kemasyuran sesaat. Atau jangan-jangan nantinya kian biasa para artis debutan sengaja meng-upload video mesumnya di YouTube agar kondang di seluruh pelosok negeri. Di dunia yang kian instan ini keagungan karakter, keutamaan akal sehat, dan kearifan budi pekerti kian raib, terkalahkan oleh iming-iming kehebohan dan kemasyuran sesaat. Tanpa kita sadari, “kemasyuran 15 menit” seperti diungkapkan Andi Warhol 45 tahun yang lalu, kini betul-betul telah menjadi agama.
Posted on: Fri, 20 Sep 2013 04:06:41 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015