A. Pendahuluan Sudah menjadi rahasia umum, - TopicsExpress



          

A. Pendahuluan Sudah menjadi rahasia umum, menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan sangat menyita waktu, tenaga dan biaya. Akumulasi kekecewaan antara lain menghasilkan berbagai sindiran, seperti “Hilang Kambing, Seharga Sapi” untuk menggambarkan bagaimana besarnya pengorbanan yang harus dikeluarkan pihak yang berperkara tersebut. Akan tetapi, bagaimana jika ternyata kita terpaksa harus menggugat, menjadi tergugat atau menjadi turut tergugat dalam perkara perdata? Apakah kita dapat berusaha untuk menghindar dari proses pemeriksaan di pengadilan yang sangat menyita waktu, tenaga dan biaya tersebut? Secara normatif, pembentuk undang-undang telah melakukan antisipasi terhadap hal tersebut. Yaitu dengan memasukan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan ke dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan sebagai berikut:[1] “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Terkait dengan asas sederhana maka diharapkan acara di pengadilan itu haruslah jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit atau birokratis, jauhkan dari segala macam formalitas-formalitas yang sukar dimengerti oleh akal sehat. Sehingga proses pemeriksaan dapat berjalan dengan cepat, termasuk di dalamnya adalah proses penyelesaian berita acara pemeriksaan, pembuatan putusan oleh hakim dan pelaksanaan eksekusi[2] Dalam implementasi asas peradilan sederhana dan biaya ringan, dalam praktek telah mulai nampak adanya perubahan yang menggembirakan, bahkan ditandai pula dengan munculnya pengajuan pemeriksaan perkara secara prodeo (cuma-cuma). Sedangkan untuk implementasi asas cepat yang masih merupakan soal besar dan belum terpecahkan terutama sekali dalam hal eksekusi pelaksanaan dari putusan Hakim. Tidak jarang untuk pelaksanaan putusan memakan waktu satu hingga dua tahun.[3] Terdapat satu hal penting yang perlu diungkapkan mengenai dunia peradilan. Sejak awal tumbuhnya budaya berdemokrasi mulai akhir dasawarsa 1990-an yang disambut positif oleh seluruh bangsa Indonesia ini, dan bersamaan dengan geliat reformasi yang dapat secara bebas menghujat setiap kebatilan di segala bidang, yang senantiasa dikaitkan dengan penegakan hukum, maka peradilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum mendapat sorotan tajam masyarakat luas. Opini publik melihat dan mengaitkan cap mafia peradilan kepadanya sehingga tampaklah dunia peradilan menjadi kelabu. Salah satu motor atau penggerak dari roda proses peradilan adalah keberadaan Jurusita dan Jurusita Pengganti. Keduanya merupakan ujung tombak dalam melaksanakan tidak hanya eksekusi saja, namun proses administrasi di dalam badan peradilan pada umumnya. Salah satu fenomena yang patut dicermati adalah adanya Panitera pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dengan inisial “S” dan juru sita dengan inisial “Y” secara resmi dilaporkan oleh kuasa hukum Renaissance Capital Management PTE LTD, Hartono Tanuwidjaja kepada ketua PN Jakarta Pusat atas dugaan praktek mafia hukum dalam perkara gugatan perdata antara PT. Danareksa Sekuritas selaku penggugat melawan Renaissance Capital Management PTE LTD selaku tergugat. Panitera Pengganti dan juru sita itu diduga bersekongkol dalam hal pengiriman surat gugatan ke alamat perusahaan lain demi memuluskan dugaan niat “nakal” pihak penggugat.[4] Akibat dari surat gugatan yang berpotensi merugikan tergugat dan demi memberikan pembelajaran bagi pihak melakukan praktek mafia hukum dengan mengirim surat gugatan kepada alamat yang salah, Renaissance Capital Management PTE LTD melaui kuasa hukumnya Hartono Tanuwidajaja SH., MSi dan Partners menempuh jalur hukum melaporkan Direksi PT Danareksa Sekuritas kepada polisi atas pelanggaran Pasal 242 KUHP tentang memberikan keterangan palsu kepada pejabat pemerintah direksi PT Danareksa Sekuritas kepada Polisi. Permasalahan lain yang juga seringkali muncul, adalah manakala pada waktu memberikan sambutan di Rakernas Mahkamah Agung di Palembang, awal Oktober 2009 lalu, Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa secara halus juga menyindir para pegawai pengadilan termasuk jurusita. Menurut Beliau, masih banyak pengaduan dari masyarakat karena pegawai fungsional tak memberikan pelayanan yang baik. Persidangan terlambat karena penundaan sidang tanpa alasan yang jelas. Dan masih ada petugas pengadilan yang sengaja memperlambat pengiriman berkas perkara.[5] Dalam kaitannya dengan tugas pokok dan fungsi dari Jurusita, yang seharusnya dipahami saat starting point adalah bahwa Jurusita merupakan bagian dari suatu sistem atau subsistem dari lembaga peradilan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum[6], yang menegaskan sebagai berikut: “Pada setiap Pengadilan Negeri ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita Pengganti.” Kondisi tersebut akan semakin diperburuk ketika terjadi keterkaitan pekerjaan antara satu Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Negeri lainnya terkait masalah pengiriman relaas kepada pihak yang bersangkutan ternyata berada diluar wilayah hukum dimana Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara. Sehingga proses pemanggilan tersebut akan berkaitan dengan secara langsung dengan lambatnya proses penyelesaian perkara ini menyebabkan asas “the speedy administration of justice” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009 yaitu “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”, tidak berjalan secara efektif. Sekalipun permasalahan yang terkait dengan peranan dan TUPOKSI dari seorang Jurusita/Jurusita Pengganti di Pengadilan Negeri ini tidak hanya terjadi di beberapa daerah saja, namun terjadi di indonesia. Sehingga upaya-upaya untuk terus mengikis dan mengurangi hal tersebut harus terus dilakukan serta dikawal secara baik. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, Penulis sangat ingin menuangkan ke dalam karya ilmiah dengan judul: ”Permasalahan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Khususnya Yang Berkaitan Dengan Relaas Delegasi.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka Penulis menemukan pokok permasalahan yang akan dimuat dalam bentuk pertanyaan di dalam rumusan masalah ini, yaitu: “Bagaimana mengoptimalisasikan peranan Jurusita/Jurusita Pengganti dalam melaksanakan TUPOKSI nya sebagai bagian dari implementasi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah?” C. Pembahasan 1. Peranan Jurusita/Jurusita Pengganti Dalam Sistem Administrasi Perkara di Pengadilan Negeri Di dalam sebuah Sistem Administrasi dan Management suatu Pengadilan Negeri, muncul dua sistem yang berjalan dalam satu atas. Yaitu sistem penanganan perkara oleh para Hakim dan sistem administrasi perkara. Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling terkait dalam proses peradilan. Salah satu subsistem yang penting dalam proses peradilan adalah Jurusita. Jurusita merupakan bagian dari pelaksana tugas Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan pejabat lain di Pengadilan, karena keberadaannya diperlukan sejak belum dimulainya persidangan hingga pelaksanaan putusan Pengadilan. Sebagai pejabat peradilan, keberadaannya diatur di dalam undang-undang (Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan TUN) sedangkan bekerjanya diatur dalam hukum acara (RBg /HIR). Tidak mudah menemukan Literatur, khususnya yang membahas tentang kejurusitaan, tidak banyak mendapat perhatian dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang tugas hukum lainnya di Pengadilan, disamping itu bidang kejurusitaan ini kurang diajarkan secara mendalam dalam pendidikan ilmu hukum. Padahal, bidang tugas kejurusitaan merupakan hal yang sangat penting dan sangat menentukan untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara. Suatu perkara tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik dan benar menurut hukum, tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Hakim tidak mungkin dapat menyelesaikan perkara tanpa dukungan Jurusita/Jurusita Pengganti, sebaliknya Jurusita/Jurusita Pengganti juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah Hakim. Keduanya dalam melaksanakan tugasnya tidak mungkin lepas sendiri-sendiri, kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain.[7] Memperhatikan syarat-syarat pengangkatan dan pelaksanaan tugas seorang Jurusita/Jurusita Pengganti yang diatur secara khusus oleh undang-undang, sesungguhnya dapat menyadarkan kita betapa pentingnya kedudukan dan tugas seorang Jurusita/Jurusita Pengganti di pengadilan. Oleh karena itulah pandangan yang meremehkan tugas seorang Jurusita/Jurusita Pengganti tidaklah dapat diterima, mengingat tugas seorang Jurusita/Jurusita Pengganti dapat menentukan berlangsung atau tidaknya suatu pemeriksaan di persidangan. Namun demikian, pelaksanaan tugas dari Jurusita/Jurusita Pengganti haruslah terukur dan terpantau oleh elemen lain dalam sistem kerja di dalam proses peradilan, sehingga tidak muncul perilaku arogansi dan merasa dibutuhkan. Di dalam Pasal 65 UU Peradilan Umum jo Pasal 10, 13 dan 16 KMA/004/SK/11/92, ter­cantum bahwa tugas Juru Sita sebagai berikut: Juru Sita bertugas: a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang; b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-te­guran, dan pemberitahuan penetapan atau putusan Peng­adilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang­-undang; c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan; d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya dise­rahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Kedudukan dan syarat-syarat pengangkatan seorang jurusita/jurusita pengganti diatur secara khusus dalam Undang-undang tentang Peradilan Umum, karena tugas-tugas yang dilakukan oleh seorang jurusita/jurusita pengganti tersebut, termasuk tugas yang sangat penting. Sebagaimana diketahui, tugas Pengadilan itu meliputi :[8] a. Tugas peradilan teknis justisial (Iurisdictio Contentiosa) ; b. Tugas non justisial (Iurisdictio Voluntaria) ; c. Tugas lain menurut Undang-Undang ; d. Administerasi peradilan (admistration of justice),yang meliputi : (1). Administrasi Perkara (2). Administrasi Keuangan (3). Administrasi Umum Selanjutnya berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/055/SK/X/1996 tentang Tugas dan Tanggung Jawab serta Tata Kerja Jurusita pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, dalam Pasal 5 diatur jurusita mempunyai tugas untuk melakukan pemanggilan, melakukan tugas pelaksanaan putusan, membuat berita acara pelaksanaan putusan yang salinan resminya disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, melakukan penawaran pembayaran uang, serta membuat berita acara penawaran pembayaran uang dengan menyebutkan jumlah dan uraian jenis mata uang yang ditawarkan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka jelas sudah bahwa Jurusita / Jurusita Pengganti merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kepaniteraan dari sebuah Pengadilan Negeri. Hanya saja berkaitan dengan wilayah kerja Jurusita/Jurusita Pengganti maka berbeda dengan Panitera dimana wilayah kerja dari Jurusita/Jurusita Pengganti adalah di daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Jadi beda dengan tugas seorang Panitera atau Panitera Pengganti yang melaksanakan tugasnya di gedung Pengadilan, seorang Jurusita/Jurusita Pengganti justru melaksanakan tugasnya di luar gedung Pengadilan. Berkaitan dengan Pasal 65 UU Peradilan Umum tersebut, maka seorang Jurusita/Jurusita Pengganti memiliko TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) yaitu sebagai berikut: a. Pemanggilan yang dijalankan sebelum pemeriksaan (persidangan) di mulai.; b. Pemanggilan yang harus dijalankan setelah pemeriksaan (sidang) berjalan. c. Pemanggilan yang harus dijalankan setelah pemeriksaan selesai dengan acara putusan Hakim terakhir Dalam menjalankan tugasnya inilah kemudian seringkali terjadi benturan antara teori, kewajiban sebagai seorang Jurusita/Jurusita Pengganti dengan kebutuhan lainnya. Setiap tugas yang dimiliki oleh seorang Jurusita/Jurusita Pengganti merupakan tugas yang sangat menentukan terwujudnya Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Murah. 2. Sinkronisasi Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Murah dengan Sistem Kinerja Jurusita/Jurusita Pengganti Rangkaian proses pemeriksaan persidangan harus berjalan menurut tata cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan persidangan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN), tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT), dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) diawali dengan proses pemanggilan (atau biasa juga disebut panggilan) dan pemberitahuan. Pemanggilan terhadap tergugat harus dilakukan secara patut. Setelah melakukan panggilan, jurusita harus menyerahkan risalah (relaas) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa perkara tersebut yang merupakan bukti bahwa tergugat telah dipanggil.[9] Panggilan dalam bahasa Belanda disebut dengan convocatie atau bijeenroeping.[10] Sementara itu, pengertian panggilan dalam hukum acara perdata yaitu menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.[11] Pemanggilan secara patut adalah bahwa yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut undang-undang, di mana pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak, yang dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah, dengan memperhatikan tenggang waktu kecuali dalam hal yang sangat perlu, tidak boleh kurang dari tiga hari kerja.[12] Tujuan pemanggilan yaitu penyampaian pesan atau informasi kepada seseorang agar dia tahu tentang segala sesuatu hal yang hendak dilakukan oleh pihak lawan maupun suatu tindakan yang akan dilakukan pengadilan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa ruang lingkup tujuan pemanggilan meliputi juga pemberitahuan. Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan meliputi pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan undang-undang mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan. Panggilan terhadap para pihak untuk menghadiri sidang dilakukan oleh juru sita atau juru sita pengganti di tempat tinggal atau tempat kediaman yang dipanggil atau tempat kedudukannya.[13] Juru sita adalah petugas yang ditugaskan oleh majelis pengadilan yang mempunyai kewajiban menjalankan pemberitahuan dan semua surat-surat yang lain atau juga menjalankan perintah hakim dengan segala keputusannya. Dan seorang Jurusita/Jurusita Pengganti berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan untuk diluar wilayah hukumnya maka tidak ada kewenangan bagi seorang Jurusita/Jurusita Pengganti untuk menjalankan tugasnya. Di dalam Pasal 390 ayat (3) HIR, menegaskan sebagai berikut: “Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat diam atau tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal, maka surat Jurusita itu disampaikan pada Bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal Penggugat dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya Hakim yang berhak berkedudukan. Bupati itu memaklumkan surat jurusita itu dengan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan dari hakim yang berhak itu.” Ditegaskan pula dalam Pasal 5 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) yang menegaskan sebagai berikut: “Jika tergugat bertempat tinggal di luar wilayah kekuasaan hakim yang menerima gugatan atau segera dalam hal seperti diuraikan di atas atau atas pilihan penggugat dan atas permohonan pengacaranya dengan surat kepada hakim di tempat tinggal tergugat yang kemudian akan memberitahukannya dengan perantaraan juru sita yang ditunjuknya, jika tergugat bertempat tinggal di dalam karesidenan tempat akan diadakan sidang majelis, dan jika tidak tinggal di situ ia akan mengirim surat kepada asisten residen yang mempunyai wilayah tempat tinggal tergugat.” Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: [14] Pemanggilan dilakukan oleh juru sita sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya. Jika orang yang hendak dipanggil berada di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada juru sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut. Kewenangan atau yurisdiksi relatif juru sita mengikuti kewenangan relatif Pengadilan Negeri di mana ia terdaftar sebagai juru sita. Panggilan yang sah dan resmi harus dilakukan oleh juru sita. Pelaksanaan panggilan oleh juru sita merupakan salah satu syarat agar panggilan dapat dinyatakan sebagai panggilan yang sah dan resmi. Pasal 121 ayat (1) HIR berbunyi sebagai berikut: “Sesudah surat gugat yang dimasukkan itu atau catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari, dan jamnya perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan ia memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk diperiksa, dan dengan membawa segala surat-surat keterangan yang hendak dipergunakan.” Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR tersebut, kewenangan yang dimiliki juru sita ini diperoleh melalui perintah ketua majelis hakim yang dituangkan dalam penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan. Kewenangan yang dimiliki juru sita dalam melakukan pemanggilan terbatas pada wilayah kewenangan relatif pengadilan tempat ia bertugas. Oleh karena itu, apabila orang yang hendak dipanggil berada di luar kewenangan relatif juru sita, maka juru sita tersebut harus mendelegasikan kewenangannya itu kepada juru sita pengadilan di mana orang yang hendak dipanggil berada. Pengertian pendelegasian pemanggilan adalah tindakan melimpahkan pelaksanaan pemanggilan kepada juru sita pada pengadilan negeri yang lain.[15] Misalnya tergugat bertempat tinggal di wilayah Bogor, sedangkan perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang hendak melakukan pemanggilan harus mendelegasikan wewenangnya tersebut kepada Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Bogor. Dalam hal seperti ini, Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang menyampaikan panggilan karena orang yang hendak dipanggil berada dalam kewenangan relatif pengadilan negeri Bogor. Dengan demikian, yang berwenang melakukan panggilan adalah Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Bogor. Ketentuan yang mengatur mengenai pendelegasian wewenang untuk melakukan pemanggilan diatur dalam Pasal 5 Rv. Penerapan yang diatur dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut. a. Orang yang hendak dipanggil berada di luar wilayah hukum atau kewenangan relatif pengadilan negeri tempat jurusita bertugas. b. Pemanggilan dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan Negeri yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal orang yang hendak dipanggil. c. Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan meminta bantuan kepada ketua pengadilan negeri yang membawahi wilayah hukum tempat tinggal tergugat untuk memerintahkan Jurusita Pengadilan Negeri tersebut menyampaikan pemanggilan. d. Ketua Pengadilan yang dimintai bantuan mengeluarkan perintah pemanggilan kepada Jurusita berdasarkan permintaan bantuan yang dimaksud. e. Segera setelah itu, menyampaikan langsung kepada ketua pengadilan negeri yang melimpahkan tentang pelaksanaan pemanggilan yang dilakukan. Pemanggilan yang dilakukan oleh juru sita pengadilan harus sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya yang mengikuti kewenangan relatif pengadilan negeri tempat ia bertugas. Oleh karena itu, apabila orang yang hendak dipanggil berada di luar kewenangan relatif juru sita, maka juru sita tersebut harus mendelegasikan kewenangannya itu kepada juru sita pengadilan di mana orang yang hendak dipanggil berada. Pemanggilan yang dilakukan oleh juru sita di luar kewenangan relatif yang dimilikinya merupakan pelanggaran dan pelampauan batas wewenang (exceeding its power) dan berakibat menimbulkan akibat sebagai berikut:[16] Pemanggilan dianggap tidak sah atau ilegal. Atas alasan karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat juru sita yang tidak berwenang (unauthorized bailiff). Kondisi tersebut terkadang memunculkan perilaku menyimpang dari penerima relaas delegasi yang dapat saja melalaikan tugas dan tanggung jawabnya. Karena penerima relaas delegasi wajib meneruskan panggilan tersebut. Perilaku yang menyimpang dalam penyampaian relaas delegasi tersebut pada akhirnya justru akan menghambat proses persidangan. Namun bila yang akan dipanggil adalah para pihak yang tugasnya adalah anggota korps diplomatik di luar negeri, maka cara memanggilnya dengan cara menyampaikan surat kepada Departemen Luar Negeri Dirjen Protokol dan Konsuler dengan permohonan untuk memanggil orang/anggota korps diplomatik tersebut (Perhatikan Surat Menteri Luar Negeri Direktorat Konsuler tertanggal 18 Juli 1990 Nomor : 295/90/07/44 yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Sedangkan apabila pemanggilan dilakukan terhadap warga negara asing yang berada di Luar Negeri, pemanggilannya dilakukan dengan cara menyampaikan surat kepada Departemen Luar Negeri untuk meminta bantuan kepada Kedutaan Besar negara pihak-pihak yang dipanggil untuk memanggil orang tersebut, dengan catatan salinan gugatan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Surat Direktorat Protokol dan Konsuler Departeman Luar Negeri tertanggal 31 April 1991 Nomor 202/91/45 yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Seorang jurusita/jurusita pengganti harus benar-benar mengerti dan menghayati batas tugas dan kewenangannya dengan baik dan benar, apa yang harus dilakukan olehnya dalam menghadapi keadaan tertentu dalam melaksanakan tugasnya harus dapat dijalankan dengan baik. Misalnya, apakah pemanggilan dan pemberitahuan dapat dilakukan pada hari minggu atau libur nasional, atau dapatkah pemanggilan dan pemberitahuan dilakukan pada malam hari, misalnya karena kehabisan BBM, maka kendaraannya mogok, maka jurusita/jurusita pengganti tersebut baru bisa jalan ketika hari sudah malam, apakah ia langsung dapat melakukan pemanggilan, pemberitahuan dan ataupun penyitaan ataukah harus menunggu keesokan harinya ? Apakah dapat panggilan dititipkan liwat petugas kepolisian atau diserahkan kepada isteri atau suami dari pihak yang dipanggil ? Bagaimana pula dengan uang makan dan penginapan, kalau terpaksa ia harus menginap, apakah dapat dimasukkan dalam biaya perjalanan dinas ? Ketentuan hukum dalam RBg maupun HIR tidak mengatur hal-hal tersebut. Namum ternyata dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yaitu hukum acara perdata pada jaman penjajahan Belanda, yang berlaku untuk beracara di Raad van Justitie ada pengaturan tentang hal tersebut. Pasal 17 Rv menegaskan sebagai berikut; “Surat panggilan tidak disampaikan pada hari Minggu, kecuali atas izin ketua raad van justitie. Jika hari terakhir jangka waktu panggilan jatuh pada hari Minggu, maka hal itu dilakukan pada hari berikutnya. Bila dalam peraturan ini disebut jangka waktu satu bulan, maka yang dimaksud adalah 30 hari.” Pasal 18 Rv menegaskan sebagai berikut: “Pemberitahuan surat gugatan atau pelaksanaan suatu putusan pengadilan tidak boleh dilakukan sebelum jaim enam pagi dan sesudah jam enam sore, kecuali diizinkan oleh ketua dalam hal-hal yang sangat mendesak. Izin tersebut dalam pasal ini dan pasal yang lalu dapat diberikan atas permohonan lisan atau tertulis dari pihak yang berkepentingan; dalam hal yang pertama izin dicantumkan pada kepala surat pemberitahuan gugatan atau pada kepala berita acara pelaksanaan, sedangkan dalam hal kedua ketetapan ketua dicantumkan di surat permohonannya. Penetapan ini dapat dilaksanakan berdasarkan surat aslinya. Hal itu tidak diberitahukan kepada pihak lawan melainkan dicatat pada kepala surat pemberitahuan gugatan atau berita acara.” Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam praktek kejurusitaan, maka akan berakibat kepada jatuhnya putusan verstek karena ketidakhadiran pihak yang seharusnya bisa dilakukan pemanggilan bila dilakukan secara benar. 3. Reformasi Birokrasi Dalam TUPOKSI Jurusita Salah satu agenda penting yang dengan sungguh-sungguh hendak dikembangkan oleh bangsa kita adalah agenda reformasi birokrasi di semua bidang penyelenggaraan negara dan pemerintahan, termasuk di bidang peradilan. Reformasi birokrasi lembaga peradilan perlu mendapat perhatian serius oleh kalangan hakim sebagai akibat diterapkannya kebijakan satu atap kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung, di samping adanya Mahkamah Konstitusi yang tersendiri. Mahkamah Agung mau tidak mau harus melakukan upaya-upaya pembaruan manajemen di bidang-bidang administrasi, sumber daya manusia, financial, serta sarana dan prasarana. Penataan kembali dan perbaikan-perbaikan dalam sistem manajemen lembaga-lembaga peradilan di tanah air dipandang sangat penting karena tuntutan perkembangan masyarakat Indonesia yang makin demokratis menghendaki sistem peradilan yang makin efektif, efisien, professional, transparan, akuntabel dan terpercaya.[17] Dan agenda penting yang lainnya yang tidak boleh dilupakan dalam rangka suksesnya reformasi nasional adalah kelanjutan upaya reformasi sistem hukum dan peradilan. Aspek dasar yang sangat menentukan berhasil tidaknya upaya perbaikan sistem peradilan dan penegakan hukum dan keadilan itu di Indonesia adalah masalah manajemen. Manajemen merupakan upaya manusia untuk saling bekerjasama mencapai tujuan berorganisasi. Dalam hubungan dengan kegiatan peradilan, manajemen itu dapat dilihat sebagai upaya bersama aparatur peradilan untuk mencapai tujuan dibentuknya pengadilan, yaitu memberikan layanan keadilan yang terpercaya bagi para pencari keadilan. Persoalan manajemen ini biasanya kurang mendapat perhatian serius di kalangan sarjana hukum yang mendominasi pengelolaan pelbagai lembaga-lembaga hukum di tanah air kita. Mulai dari fungsi penyidikan, penuntutan, pembelaaan, pengadilan, sampai ke fungsi eksekusi dan pemasyarakatan selalu didominasi oleh para sarjana hukum yang tidak begitu terlatih dalam urusan administrasi dan manajemen. Pendidikan tinggi hukum kita sebagian besar terlalu mengandalkan penguasaan peserta didik akan rumusan-rumusan pasal-pasal tekstual yang terdapat dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, hampir semua lembaga penegak hukum di tanah air kita menghadapi persoalan-persoalan yang sama, yaitu masalah administrasi dan manajemen yang kurang responsif dan cenderung ketinggalan zaman dalam menghadapi perkembangan dalam masyarakat yang menuntut akses keadilan (access to justice) yang lebih adil dan berkepastian dan pelayanan hukum (legal services) yang lebih efisien dan terbuka. Dalam menjalankan fungsinya, manajer yang baik selalu menyadari arah tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dalam menjalankan kegiatan organisasi. Menurut para ahli, yang diinginkan oleh konsumen, atau dalam hal ini pencari keadilan, dari bekerjanya sistem dan fungsi-fungsi manajemen itu adalah: produktivitas; kualitas hasil; biaya murah; efisien dari segi waktu; keselamatan (safety); hygienis atau kesehatan; dan tercapainya tujuan fungsional secara efektif. Di lingkungan peradilan, kesemua aspek manajemen tersebut juga berlaku. Pengelolaannya dapat dibedakan dalam: domain hakim sepanjang yang menyangkut substansi perkara; domain panitera sepanjang yang berkenaan dengan dukungan administrasi bagi para hakim dalam memeriksa, mengambil keputusan, dan mengumumkan putusan; serta domain sekretaris sepanjang yang berhubungan dengan aspek-aspek administrasi keorganisasian pengadilan pada umumnya. Namun, dalam kenyataan praktik, urusan administrasi dan manajemen seringkali hanya dilihat dalam kerangka tugas dan fungsi sekretaris dan paniera pengadilan. Aspek administrasi dan manajemen biasanya hanya dibedakan antara urusan kepaniteraan dan urusan kesekretariatan pengadilan, seolah-olah hakim sama sekali tidak perlu dilibatkan dan melibatkan diri dalam urusan administrasi dan manajemen. Bahkan, di tingkat peradilan tingkat pertama, fungsi jabatan sekretaris itupun dirangkap oleh atau menjadi satu kesatuan dengan panitera. Manajemen perkara, dimulai sejak pelaporan, pengaduan, ataupun pendaftaran pelayanan hukum sampai ke tahap eksekusi putusan dan pemasyarakatan merupakan satu kesatuan proses mulai dari terjadinya peristiwa hukum dalam masyarakat sampai terwujudnya keadaan atau terpulihkannya kembali keadilan dalam masyarakat. Dalam proses itu diperlukan adanya jaminan bahwa: Prosesnya berlangsung tepat dalam menjamin keadilan (justice) dan kepastian hukum (legal certainty); Prosesnya berlangsung efisien, cepat dan tidak membebani pihak-pihak di luar kemampuan; Prosesnya berlangsung menurut aturan hukumnya sendiri, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak sebelum perkara itu sendiri terjadi sampai dengan publikasi putusan; Prosesnya berlangsung independen tanpa campur tangan atau dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dari pihak-pihak lain atau kepentingan salah satu pihak dengan merugikan pihak yang lain; dan Prosesnya berlangsung secara akuntabel dan transparan sehingga hasilnya dapat dipercaya oleh para pihak dan masyarakat pada umumnya. Untuk mengharapkan adanya perbaikan dalam pentaan sistem administrasi di lembaga peradilan, kelima hal itu sangat penting untuk diperhatikan. Para pencari keadilan (justice seekers) harus dibuat yakin dan percaya bahwa proses yang ia tempuh akan menghasilkan keadilan yang pasti dan kepastian yang adil. Prosesnya cepat dan efisien, sehingga tidak membebani atau yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang mampu. Sehingga perlu kiranya diadakan pelurusan pemahaman terhadap sistem administrasi perkara, dimana muncul kesan seolah-olah antara Hakim dan Administrasi Perkara adalah dua hal yang berbeda. Selalu dimunculkan anggapan bahwa yang bertanggung jawab atas Administrasi Perkara adalah Panitera Sekretaris, sedangkan Ketua Pengadilan Negeri hanya sekedar pimpinan para Hakim semata-mata. Di dalam Pasal 53 ayat (1) UU Peradilan Umum menegaskan sebagai berikut: “Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita di daerah hukumnya.” Artinya adalah bahwa Ketua Pengadilan Negeri wajib memberikan petunjuk langsung mengenai bagaimana menjalankan administrasi perkara yang baik dan benar. Termasuk berkaitan mengenai adanya penyimpangan dalam pelaksanaan relaas delegasi, maka Ketua Pengadilan Negeri seharusnya patut memantau kepada Pengadilan Negeri yang menerima pendelegasian dalam menjalankan tugasnya, dengan cara berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka dalam mengoptimalkan kinerja dari Jurusita/Jurusita Pengganti tidak hanya dapat dilakukan melalui penekanan ataupu tegoran-tegoran saja. Namun harus diadakan reformasi birokrasi dan reformasi kebijakan, dalam artian, bahwa Jurusita/Jurusita Pengganti adalah merupakan satu kesatuan sistem. Oleh karena itu, tidak saja Ketua Pengadilan Negeri yang harus bertanggung jawab terhadap administrasi perkara, namun Hakim-hakim yang menyidangkan perkara juga harus bertanggung jawab atas kelancaran jalannya administrasi perkara tersebut. Sehingga akan terwujud kelancaran dari proses persidangan, atau paling tidak proses peradilan tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. 2. Saran Berdasarkan uraian dan kesimpulan, maka Penulis memberikan saran agar: Dilakukan perombakan kebijakan dalam pengawasan administrasi perkara dengan melibatkan Hakim-Hakim yang mensidangkan perkara yang dimaksud. Menghilangkan stigma kepada Jurusita hanya sebagai sauatu satuan yang kecil dari sistem peradilan, karena Jurusita memegang peranan sangat penting dari awal persidangan hingga akhir. [1] Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN RI Tahun 2004 Nomor 8, TLN RI Nomor 4358, Pasal 4 ayat (2). [2] Harian Bernas, 13 April 1995 [3] Jeremias Lemek, Mencari Keadilan. Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia, (yogyakarta: Galanpress, 2007), hlm. 188-189. [4] ”Membongkar Praktek Nakal Panitera Pengganti dan Juru Sita di PN Jakarta Pusat”, Sumber: cahayahukum/index.php/news/1-home/514-membongkar-praktek-nakal-panitera-pengganti-dan-juru-sita-di-pn-jakarta-pusat, diakses tanggal 7 Agustus 2011 [5] hukumonline/berita/baca/lt4c99cacd81050/jurusita-pejabat-peradilan-yang-acap-kena-sasaran [6] UU No. 2 Tahun 1986 telah mengalami dua kali perubahan, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009. [7] Mulijanto, Tugas Jurusita Pengadilan Negeri Dalam Proses Perkara Perdata, Sumber: pt-banjarmasin.go.id [8] Soebyakto, Tentang Kejurusitaan Dalam Praktik Peradilan Perdata, Yakarta: Djambatan, 1998, hlm. 32. [9] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Liberty, 2002, hlm. 98. [10] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap, Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang: Aneka Ilmu, 1977, hlm. 254. [11] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 213. [12] Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2002, hlm. 22. [13] Keputusan Ketua Mahkamah Agung RepublikIndonesia Nomor : KMA/ 032/ SK/ IV/2006 angka ke 2, huruf c. [14] M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 219. [15] Ibid., hlm. 225. [16] Ibid., hlm. 225 [17] Jimly Asshiddiqie, Reformasi Tata Kelola Peradilan, Ceramah umum dalam rangka bimbingan teknis bagi para hakim tata usaha negara seluruh Indonesia yang diadakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta, 1 April, 2011.
Posted on: Tue, 09 Jul 2013 08:31:40 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015