Cinta Bikin Mules Karya : Irvan Aqila Bagian 3 Terlalu - TopicsExpress



          

Cinta Bikin Mules Karya : Irvan Aqila Bagian 3 Terlalu Singkat NADYA pergi cuma gara-gara itu? Jawabannya nggak juga. Sebulan setelah kejadian Jose dan Dimas mencuri ayam-yang berarti sudah hampir sebulan juga berlalu sejak acara ultah Jose-Nadya emang benar-benar pergi dari kehidupan Jose. Tapi bukan lantaran Jose dan Dimas salah memilih sasaran operasional (ternyata rumah yang Jose dan Dimas santroni tempo hari itu tidak lain dan tidak bukan rumah babenya Nadya, dan tentu berarti tempat Nadya tinggal juga), melainkan Nadya emang mau melanjutkan pendidikan di bidang pariwisata di Bali. Dia dapat beasiswa untuk meneruskan kuliahnya di sana. Kontan Nadya pun geram begitu tahu cowok yang lagi PDKT sama dia selama hampir satu bulan belakangan itu ternyata pencuri. Mending kalau mencurinya kelas bandeng semisal mobil atau berlian, tapi ini ayam, coy. Mau gila Nadya dibuatnya. Merasa dibohongi! Itu jelas yang Nadya rasakan saat itu. “Suer, ini bukan ide aku kok.” Jose memohon ampun kala Nadya ingin pamit untuk berangkat ke Bali keesokan harinya. “Terus?” “Maafin aku.” “Terus ide siapa? Mamang kamu? Atau bibi kamu? Keterlaluan kamu jadi orang!” “Aku nggak bilang gitu kok.” “Lantas?” Jose melirik jam. Pukul satu siang. Biasanya jam segini sohibnya yang demen banget menggoda pembantu sebelah rumah, nongol buat nebeng makan siang. Tapi kok sekarang tumben nggak tercium baunya sama sekali? Ah, nggak tega juga Jose mengambinghitamkan Dimas, sohibnya itu. Bagaimanapun ini terjadi atas persetujuan dia juga. Coba seandainya dia nggak menyetujui ide gelo Dimas, pasti Dimas juga bakal mengurungkan idenya. Dimas cuma niat nolong elo kan, Dit? Dia itu teman lo juga. Masa elo tega, hanya karena cewek lo rela ngejahatin gembel yang hidupnya sudah jauh dari kata bahagia? Btw, emangnya Dimas gembel, ya? Sebuah suara ngaco menggema dari hati Jose. Dimas bukan gembel, tapi mahasiswa yang hidup mengandalkan belas kasihan teman-teman kuliahnya, masih jawaban Jose sendiri dalam hati. Sadis. “Kok diam? Nggak punya jawabannya?” “...” “Ya iyalah, secara emang ini ide kamu!” “...” Jose nggak berkutik diomongi begitu sama Nadya. PLAAAK! Tamparan itu mengiringi kepergian cewek berdarah Padang-Belanda yang gede di Bandung itu. Entah pergi untuk berapa lama. Yang jelas hati Jose seperti ditusuk-tusuk jarum segede batang pohon kelapa. Sakkiiitt! Hiks, hiks. Jauh di lubuk hati, Nadya sebenarnya nggak tega juga meninggalkan Jose dalam suasana yang sungguh tak mengenakkan ini. Rencana perpisahan yang manis sebetulnya sudah jauh hari dia siapkan. Tapi dua hari yang lalu kamar mengejutkan itu sampai ke telinganya hingga membuyarkan semua suasana kondusif yang berusaha dia ciptakan menjelang kepergiannya. Ceritanya panjang. Tapi singkatnya, Jose dan Dimas yang datang sendiri ke rumah Nadya buat memenuhi janji membayar ayam yang sudah mereka curi. Waktu itu jelas dong mereka nggak tahu itu rumah Nadya. Yang pasti, tekad Jose sudah bulat. Dia ingin bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi, entah kebetulan atau emang sudah rencana Sang Pencipta ngasih ganjaran buat Jose dan Dimas, pas bokap Nadya lagi mencak-mencak begitu mendapati maling ayamnya menyerahkan diri, Nadya pulang sehabis mengantar maminya belanja sayuran di pasar. Glek! Ehek, ehek... Ehueekk! Dimas tiba-tiba terserang penyakit kaget stadium empat. Matanya melotot seperti mau loncat keluar. “Kenapa lo?” Jose bingung melihat temannya megap-megap. “Eh, anu, Jo, ituuu...” Mata Dimas melirik seperti ingin mengisyaratkan sesuatu. Rupanya permen karet yang tadi lagi dikunyah Dimas tertelan saking kagetnya. Jose mengikuti arah pandangan mata Dimas yang ingin menunjukkan sesuatu yang sepertinya menyeramkan. Ternyata memang lebih seram ketimbang nonton Pocong 2 atau Suster Ngesot. Glegar! Jose seperti kesamber petir di siang bolong. “Na... Na... Nad-Nadya?!” *** Tawaran beasiswa itu datang enam bulan lalu. Nadya sudah memutuskan segalanya dua bulan sebelum dia dekat sama Jose, cowok yang dikenalkan Gina pas acara ultah Jose waktu itu. Awalnya mereka cuma dikenalkan begitu aja. Jose pun menganggap itu sebagai perkenalan biasa. Gina dan Nadya yang tetanggaan namun berbeda gang emang sudah sejak lama temenan. Berhubung nggak punya teman buat diajak ke ultah Jose, Gina pun mengajak Nadya menemani dirinya. Nadya sih oke aja ketimbang bete malam Minggu sendirian di rumah. Nadya emang masih jomblo, sama kayak Gina. Tapi dia bukan sembarang jomblo, melainkan “high quality jomblo”. Yang membedakan dia sama Gina sebenarnya cuma masalah tingkat ngebetnya aja. Gina ngebet banget pengen punya pacar. Soalnya, kalau sudah dapat pacar, otomatis harapannya untuk diajak nomat tiap minggu plus dibayari makan bisa terwujud. Nadya terlihat lebih kalem. Alon-alon asal kelakon, mungkin itu prinsipnya. Jose dan Nadya makin bertambah lengket kala... “Hai!” Jose menyapa gadis tinggi putih yang lagi memilih-milih daypack di deretan rak booggie. Rambutnya yang panjang dikucir satu. Nadya menoleh sambil tersenyum kecil dan sejurus kemudian kembali memalingkan muka, sibuk memilih-milih barang yang ada di rak itu. “Kayaknya kita pernah ketemu deh.” Mata Nadya mengerling genit. Alisnya terangkat. “Tapiii... di mana ya?” tambah Jose. Sambil menunggu reaksi Nadya, Jose cuma diam karena khawatir dicuekin. Tapi semenit kemudian semangatnya kembali bergelora. Belum mau menyerah rupanya. “Nyari apa sih, Mbak?” Lagi-lagi untuk yang kesekian kalinya Jose dikacangin. “Nyari kacang ya, Mbak?” Gadis itu malah senyum-senyum sendiri, seperti ingin menahan tawa. Tangannya lalu meraih daypack biru yang tergantung di atas kepalanya. “Itu model paling baru lho, Mbak.” Jose masih dikacangin sampai saat yang terakhir ini. “Gagu, kali!” ucap Jose bete, terus berlalu meninggalkan Nadya. “Nggak kok.” Gedebuk! “Auww!” “Ups... sori, Mbak... eh, Tan... eh, Bu. Nggak sengaja.” Jose menabrak seorang ibu yang badannya segede truk kacang tanah. “Nggak punya mata, ya?” cerocos ibu itu ketus. “Nggak!” Jose menjawab enteng sambil buru-buru balik badan meninggalkan sang korban, lalu kembali menghampiri Nadya. Si ibu cuma bisa merengut sambil mencibirkan bibir sewot lantaran merasa baru saja mengalami tabrak lari. Tadi Jose kaget begitu mendengar Nadya bersuara. “Eh, mmm, bisa diulang nggak barusan kamu ngomong apa?” Gadis di depannya kembali tersenyum manis sambil menggeleng. Merasa mulai dapat respons dari sang target, Jose pun ikutan tersenyum. “Yang warna item ada nggak?” tanya Nadya. “Akhirnya...,” ujar Jose senang begitu Nadya mau mengeluarkan suara. Merdu juga. “Ada nggak?” “...” “Halooo, ada nggak?” “Oh, itu, mmm, ada kok. Sebentar ya!” Jose gelagapan. Dia pun segera meluncur ke bagian belakang, keruangan yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan barang-barang toko. “Booggie, ya?!” teriak Jose dari dalam. “Yap!” Nggak lama Jose udah nongol lagi. “Tinggal satu ini. Sebenarnya sih ini udah ada yang mesen, tapi... buat pelanggan secantik kamu, nggak pa-pa deh saya kasih. Biar nanti pemesennya saya tawarin model lain aja.” “Gombaaaal!” ibu yang tadi ditabrak Jose nyelutuk kenceng banget. Pengunjung lain langsung menoleh ke arah mereka. Tapi Jose yang gemar makan pedas itu nggak ambil pusing. “Benar lho, nggak pa-pa. Nanti saya yang tanggung jawab sama yang mesennya. Kalau kamu emang minat, ambil aja.” “Bassiii!” Hmm, ibu itu lagi. Jose masih mencoba sabar. Mukanya dipalingkan buat menghindari tatapan pengunjung lain yang kembali menoleh ke arahnya begitu ibu rese itu teriak lagi. “Jangan dengerin. Ibu itu baru sebulan yang lalu dicerein suaminya, makanya sekarang jadi rada-rada,” bisik Jose pada Nadya yang lagi membuka-buka bagian dalam daypack yang barusan diterima dari Jose. Mendengar bisikan Jose, Nadya cuma ketawa kecil. Sedetik berselang. Bletuk! Sepatu gunung Eiger yang segede alakazam mendarat mulus di pundak cowok yang juga hobi pakai sweter itu. “Ngomong naon barusan?” Ibu itu melotot sambil menurunkan kacamatanya seperti kepingin melumat abis Jose. Tangannya ditolakkan ke pinggang. “Kamu berani sama saya?” Jose kikuk. Sempat terpikir olehnya, Waduh, nggak enak nih dibentak-bentak begini di depan cewek cantik. Pengunjung lain juga kembali menoleh. Jose yang nggak bisa berkata apa-apa, untuk kedua kalinya cuma bisa memalingkan pandangannya agar tidak lagi melihat makhluk menyeramkan itu. Diusap-usapnya pundak belakangnya yang nyut-nyutan dicium sepatu. “Dengar aja, lagi,” gerutunya pelan. Cewek di sebelahnya lagi-lagi berusaha menahan tawa. “Kalau yang ini bisa buat bawa kacang nggak?” ledek Nadya, seolah mau membuat rasa bete Jose makin memuncak. “Arrrrgghhh!” *** Lima belas menit kemudian. “Nadya,” gadis itu menyebutkan namanya. “Adit, tapi biasa dipanggil Jose sama teman-teman.” “Udah tau,” jawab Nadya. Ternyata dari tadi tuh Nadya emang inget sama Jose. Dia cuma berlagak lupa. “Kok bisa sih nama kamu berubah jadi Jose? Nggak kekerenan?” Jose mengedikkan kedua bahu. Rada malas juga sih pas dibilang begitu. Lalu tangannya menaikkan lagi daypack-daypack yang tadi sempat diturunkan, untuk kembali dipajang. “Kata mereka tampang aku mirip pemeran telenovela yang ada di TV.” “Dan aktor itu bernama Jose?” “Maybe.” “Canggih dong tampang kamu ada di telenovela. Wah, bisa-bisa mami aku kepincut berat nih kalau melihat kamu, secara dia tuh pemuja berat telenovela.” Nadya menyipitkan mata dan memperhatikan Jose lebih saksama. “Tapiii... masa iya sih?” Jose tersenyum kecut, tapi tetap berusaha tampil manis. Semanis mungkin. Kalau boleh jujur, sebenarnya panggilan Jose itu pemberian ibunya waktu dia masih kecil. Mau tahu artinya? JOSE akronim dari JOrok SEkali. Emang waktu kecil tuh dia punya hobi yang, sumpah nggak patut banget buat ditiru, yaitu jarang mandi. Percaya nggak percaya, kebiasaan itu dipertahankan Jose sampai kelas XI. Perubahan ekstrem itu pun terjadi berkat Cintya, dedemenan pertamanya, alias cinta pertamanya. Cintya berhasil mencetak rekor baru bagi Jose yakni tuh anak bisa mandi dengan menghabiskan air satu ember. Parah, kan?! Mending kalau mau mandi koboi tiap hari. Tapi ini lebih mengenaskan. Bayangkan aja, udah mandinya sekadar ala koboi, eh itu pun cuma tiga hari sekali. Gimana coba? Jorok banget, kan? Nah, sekarang dia mesti berkata jujur tentang riwayat nama JOSE-nya ke Nadya? Itu sih sama saja terjun payung tanpa parasut di atas landasan pacu Soekarno-Hatta, terus mendarat nyungsep tepat di depan pesawat terbang yang mau take-off. Harakiri alias bunuh diri. Terpaksa deh buwohong. “Terus, sekarang aku harus manggil kamu apa?” tanya Nadya. “Terserah kamu enaknya.” “Gimana kalauuuuu... Bambang?” Nih cewek kok begonya jujur banget sih. “Hehe, nggak kok, bercanda. Adit aja ya, soalnya aku kayak punya perasaan nggak enak sama nama Jose kamu. Nggak pa-pa, kan?” Jose mengangguk. Dalam hati ia berkomentar, paranormal kali nih cewek. “Omong-omong, mana teman kamu yang katanya sohib banget sama kamu itu? Kok nggak bareng?” “Dimas maksud kamu?” “Iya, Dimas.” “Ooh, dia lagi nemenin kambing piaraan kakeknya yang mau ngelahirin di rumah sakit. Katanya sih mau dioperasi gara-gara air ketubannya pecah duluan di dalam,” jawab Jose ngasal. “Serius?” Jose ketawa. “Ngaco kamu. Ya udah, berapa yang ini?” “Murah kok buat kamu.” “Buayaaa!” Lengkingan yang cukup membuat kuping ngebet terdengar lagi. Jose menoleh ke sumber teriakan itu. Lagi-lagi ibu yang tadi. Mau beli apa sih tuh orang sebenarnya? Dari tadi kok cuma ngacak-ngacak semua isi rak yang baru aja Jose rapikan karena sebelumnya ada segerombolan anak SMP yang katanya mau beli peralatan buat manjat Merbabu. Jose sempat bengong pas mendengar rencana itu. Setelah semuanya berantakan diacak-acak, gerombolan itu nyelonong pergi sambil bilang, “Makasih ya, Oom. Nanti kalau kami udah pada kuliah, kami beli deh semua barang ini. Sekarang sih baru rencana aja, jadi kami mau lihat-lihat dulu harganya, biar ngumpulin duitnya pas.” Jose cuma bisa menarik napas dalam-dalam. Sabar, sabar, ucapnya dalam hati. Kembali ke ibu yang barusan teriak. Muka Jose kini sudah berubah jadi seram. Tapi tetep aja, biar sudah berusaha keras dimirip-miripin The Rock waktu lagi marah, Jose malah kelihatan culun. “Eh, Bu, saya ini emang lebih muda daripada Ibu, tapi bukan berarti saya nggak berani ngelawan Ibu. Saya juga punya batas kesabaran. Saya muak kalau Ibu terus-terusan ngusilin pembicaraan saya. Udah gitu, Ibu pake nguping, lagi!” semprot Jose kesal. “Lagian Ibu mau beli apa sih, dari tadi kok nggak keluar-keluar?” Dibentak-bentak begitu, ibu yang mirip Bu Badriah itu malah menaikkan tangannya kembali ke pinggang sambil nggak kalah mencak-mencak. “Eh, kamu kira saya nggak muak apa melihat kamu dari tadi ngegombalin keponakan kesayangan saya?” Ewuezzt! Seketika roh Jose seperti lepas dari jasadnya. Mukanya merah padam seperti habis ketiban truk yang nyangkut tumpukan paku payung seukuran payung aslinya. Mejret menahan malu. “Kenalin, ini tante saya,” ucap Nadya sambil menggandeng tangan ibu yang lagi mencak-mencak persis singa betina saat lagi datang bulan itu. Jose menggaruk-garuk kepala. “Ma-ma-maaf, Bu, Nek, eh, Tan... Tante, sa-saya kira bu-bukan tante Nadya,” ucap Jose mati kutu. “Kalau saya bukan tante Nadya, terus kenapa? Kamu leluasa ngelawan saya? Kamu kira saya...” “Ssstt, Tante, udah ah. Kok bersambung sih marahnya? Kayak sinetron aja. Omong-omong, Tante udah dapet sepatu buat Nabila belum? Udah siang nih. Na takut Mami nyariin.” Nabila itu sepupu Nadya alias anak ibu itu. “Sudah. Nih sepatunya, sudah dites tadi.” Nadya agak bingung. “Dites sama siapa?” “Sama dia.” Ibu itu memajukan bibirnya ke arah Jose. Nadya tersenyum. “Gimana hei, sakit nggak tadi?” “Sa-sakit, Tan.” “Oooh, sakiiit. Berarti benar-benar kuat nih sepatu.” “I-iya, Tan, kuat banget. Co-coba aja Tante gigit!” balas Jose. Saat keadaan lagi genting begitu, Jose masih sempat-sempatnya mengumbar kekonyolan. Alhasil tante Nadya kembali naik darah. Sadar tantenya bakal menimbulkan kegaduhan lagi dan jadi tontonan pengunjung lain, Nadya buru-buru menyeret si tante dan langsung membayar barang belanjaan yang mereka ambil. “Jadi berapa semuanya, Dit?” Tangan Jose memencet-mencet keypad kalkulator. “Dua ratus empat puluh lima ribu.” Kali ini Jose terlihat kepingin cepat selesai. Dia bete sama tante Nadya yang mengganggu acara kenalannya barusan. Sebetulnya sih bukan hanya itu, tadi dia nggak kepingin berurusan lagi sama Mak Lampir di depannya ini. Nadya menyodorkan tiga lembar seraturan ribu. “Ada uang pas nggak? Baru buka nih, masih sepi.” “Mm, tunggu ya.” Nadya mendekati tantenya. Nggak lama dia pun balik lagi nyamperin Jose yang manyun menunggu di meja kasir. Tantenya kali ini ikut nyamperin. “Kumaha sih? Toko kok nggak punya kembalian?!” Jose terdiam, nggak mau menanggapi orang rese ini lagi. Pikirnya, ketimbang sepatu yang sebelah kiri ikut-ikutan nyium kepalanya, mending diam. Coz tadi baru yang kanan, yang kiri belum. “Seribu, dua ribu, tiga ribu... tiga puluh ribu. Seribu, dua ribu... empat belas ribu.” Mulut perempuan tua itu monyong-monyong menghitung lembaran duit yang ada di tangannya. Kacamatanya sedikit diturunkan. Jari-jarinya sesekali dimasukkan ke mulut. Nggak lama kemudian. “Nih, dua ratus empat puluh lima ribu kurang cepek. Anggap aja impas!” semprot tante Nadya sambil menyodorkan setumpuk uang receh. Dasar Mak Lampir! Wah, kusut nih si tante, batin Jose. Daripada bingung menghitung ulang, Jose buru-buru memasukkan rombongan receh barusan ke laci. “Kenapa melotot-melotot? Nggak suka ya, saya bayar pakai receh?” “Eh, mm, ng-nggak kok, Tan. In-ini emang mata saya aja yang setelannya udah kaya gini dari sononya,” jawab Jose cari aman. “Ohh, pantas belo!” Tante Nadya cekikikan karena puas meledek Jose. “I-iya.” “Jadi bukan melotot, kan?” “Bu-bukan.” “Ya sudah kalau gitu. Terima kasih ya. Tararengkyu.” Jose nggak menjawab kata-kata yang terakhir. Bodo amatlah, pikirnya, dia mau bilang apa kek, yang penting tuh makhluk cepet sirna dari pandangan gue. Sumpah, dia membuat hidup gue serasa digelayuti mimpi buruk. “Salam sama Gina, ya.” Jose basa-basi saat Nadya hendak meninggalkan tokonya. “Sip.” Ngieekk! Begitu Nadya mau menarik gagang pintu kaca yang ditempeli banyak stiker brand outdoor wear, tiba-tiba sudah ada yang mendorong pintu dari luar. “Ups, rosi³ (³ Bahasa keren Dimas buat “sori”, yang dibalik jadi menyerupai nama pembalap idolanya, Paulo Rossi.) nih. Eh, Nadya, ya? Bener, kan? Nggak nyangka ya bisa ketemu lagi di sini. Emang jodoh, kali.” Dimas yang barusan mendorong pintu dari luar nongol dan langsung nyerocos. “Waktu itu kok langsung kabur sih?” tambahnya. Jose mesem begitu tahu yang datang Dimas, sohibnya. Di kepalanya sudah kebayang sesaat lagi pasti bakal ada kejadian menarik yang sayang untuk dilewatkan begitu aja. Jose pun memasang gaya nonton yang asyik yaitu duduk di bangku belakang etalase sembari melayani beberapa pengunjung yang hendak membayar. “Eh, kamu,” suara Nadya kaget. “Iya, masih ingat, kan? Dimas, teman Gina yang kemarin dikenalin ke kamu pas acara ultah Jose.” Tanpa ragu tuh anak kembali memperkenalkan namanya sambil melirik ke arah Jose yang lagi melayani beberapa pengunjung. “Tuh yang ulang tahun.” “Masih,” jawab Nadya dingin. Dimas cuek bebek didinginin. “Beli apa?” Belum sempat Nadya menjawab pertanyaannya barusan, Dimas nyerocos lagi. “Ini siapa? Pembantu kamu, ya? Keren juga dandanannya. Sok pakai kacamata, lagi.” Dimas kemudian mengulurkan tangan. “Kenalin, Bi, saya Dimas. Emm, saya balon-⁴nya (⁴ Bakal calon) Non Nadya... Yah mudah-mudahan, masih dalam cita-cita, doain aja ya, Bi. Iya kan, Nad?” Nadya asal aja mengangguk pelan. “Nih, Tan...” Tiba-tiba Jose menyodorkan sepatu dari jenis yang sama dengan sepatu yang dipakai buat menimpuk pundaknya tadi ke arah tangan tante Nadya. Glepok! Mulut Dimas berhenti nyerocos lantaran bibirnya sekarang menyong ke kiri dan nggak bisa balik lagi. “Makan tuh yang sebelah kanan,” bisik Jose yang nggak kuat menahan ngakak melihat bibir Dimas menyong 180 derajat ke kiri dikepret sepatu. Dia pun langsung ngeloyor kabur untuk mengurusi para pengunjung. Meninggalkan temannya yang lagi mengusap-usap pipinya yang terkena bagian sol sepatu Eiger size 42. Tega tuh si tante, main hajar aja. Nggak pakai aba-aba dulu waktu mau ngasih salam hangat ke pipi Dimas. “Ayo, Na. Bisa stres kita lama-lama di sini.” Tangan Nadya buru-buru ditarik tantenya ke luar. Perempuan setengah tua itu lepas tangan begitu saja setelah membuat posisi bibir Dimas amburadul begitu. Sementara Nadya yang agak nggak enak hati karena kelakuan tantenya yang darah tinggian, nggak bisa berbuat banyak. Dia pun menurut saja diseret tantenya ke luar. Situ yang stres! maki Dimas dalam hati. “Eh, eh, Nad, tunggu sebentar!” panggil Jose begitu Nadya mau keluar. Nadya dengan cepat tanggap langsung meminta tantenya menunggu di luar ketimbang nanti bakal terjadi lagi sesuatu hal yang tidak diinginkan. “Tante tunggu di luar sebentar, ya!” Jose mendekati Nadya. “Punya palu, nggak?” Dimas melongo mendengar pertanyaan bego temannya. “Nggak salah denger nih gue?” Nadya yang juga agak nggak percaya sama pertanyaan Jose barusan ikut bengong sambil menggeleng. “Hehe,” Jose cengengesan. “Tapi kalau nomor HP punya, kan?” Alamak, basi banget sih si Jose. Mau minta nomor HP Nadya aja pakai nanyain palu segala. Nggak nanya pakunya sekalian? Dimas mencibir sirik begitu melihat Nadya menuruti permintaan temannya itu. “Basi!” sungutnya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Jose kambali meluncur ke dalam sambil bersiul-siul bernada meledek. Dia pun bergegas meneruskan beres-beresnya. Meninggalkan satu makhluk yang masih sibuk mengelus-elus pipi sambil berpikir keras bengkel las dan ketok magic mana yang bisa mengembalikan bentuk bibirnya ke posisi semula. *** Sejak pertemuan yang mengesankan itu, hubungan Jose sama cewek yang bernama Nadya berlanjut menjadi hubungan yang dihiasi bintang-bintang bercahayakan rona-rona asmara. Awalnya sih susah banget mendekati Nadya, tapi Jose nggak pernah menyerah. Dan atas perjuangannya yang maju terus pantang mundur, Nadya pun klepek-klepek. Mrs.M
Posted on: Tue, 03 Dec 2013 15:01:19 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015