IMAM JAFAR ASH SHADIQ RAHIMAHULLAH, IMAM AHLI SUNNAH, BUKAN MILIK - TopicsExpress



          

IMAM JAFAR ASH SHADIQ RAHIMAHULLAH, IMAM AHLI SUNNAH, BUKAN MILIK SYIAH. ================================= Tokoh yang masih keturunan Ahli Bait ini, termasuk yang dicatut oleh ahli bidah (baca: Syiah) sebagai tokohnya. Padahal jauh panggang dari api. Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama ini diyakini orang-orang Syiah. NASAB DAN KEPRIBADIANNYA Ia adalah Jafar bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin al Husain bin Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu anha. Terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun. Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya. Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang mashum seperti yang diyakini sebagian ahli bidah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya, bahwa al Ishmah (mashum) hanyalah milik Nabi. Imam Jafar ash Shadiq dikarunia beberapa anak. Mereka adalah: Ismail (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup), Abdullah (dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang bergelar al Kazhim [1], Ishaq, Muhammad, Ali dan Fathimah. Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati. Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan. Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin. PERJALANAN KEILMUANNYA Imam Jafar ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Said as Saidi dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabiin Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan Abdullah bin Abi Rafi serta Ikrimah maula Ibnu Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr. Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka t adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran. Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Said al Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu Amr bin al Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi, Sufyan ats Tsauri, Syubah bin al Hajjaj, Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi. Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih. Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepada Imam Jafar ash Shadiq. Abu Hanifah berkata,Tidak ada orang yang lebih faqih dari Jafar bin Muhammad. Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Tadil (2/487) berkata,(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia. Ibnu Hibban berkomentar: Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba Tabiin dan ulama Madinah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan : Sesungguhnya Jafar bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah. (Lihat Minhaju as Sunnah, 2/245). Demikian sebagian kutipan pujian dari para ulama kepada Imam Jafar ash Shadiq. JAFAR ASH SHADIQ TIDAK MUNGKIN MENCELA ABU BAKAR DAN UMAR Adapun Syiah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Jafar ash Shadiq. Golongan Syiah ini mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase. Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang diyakini oleh kaum Syiah. Sebut saja, sikap Imam Jafar ash Shadiq terhadap Abu Bakr dan Umar bin al Kaththab. Kecintaannya terhadap mereka berdua tidak perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah teman dekat kakek (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam), dan sebagai penggantinya. Abdul Jabbar bin al Abbas al Hamdani berkata,Sesungguhnya Jafar bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata,Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam mashum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan Umar, maka aku pun berlepas diri darinya. Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: Aku mendengar Jafar bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan Umar, ia berkata,Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga. Pernyataan beliau ini jelas sangat bertolak belakang dengan keyakinan orang-orang Syiah yang menjadikan celaan dan makian kepada Abu Bakr, Umar, dan para sahabat pada umumnya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah. Imam Jafar ash Shadiq, sangat tidak mungkin mencela mereka berdua. Pasalnya, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah, Asma` bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr. Apabila mereka adalah paman-pamannya, dan Abu Bakr termasuk kakeknya dari dua sisi, maka sulit digambarkan, jika Jafar bin Muhammad -yang jelas berilmu, berpegah teguh dengan agamanya, dan ketinggian martabatnya, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi- melontarkan cacian dan celaan terhadap kakeknya, Abu Bakr ash Shiddiq. Jafar sendiri berkata : Abu Bakar melahirkan diriku dua kali. Apalagi, bila menengok kapasitas keilmuan dan keteguhan agama dan ketinggian martabatnya, sudah tentu akan menghalanginya untuk mencaci-maki orang yang tidak pantas menerimanya. KLAIM BOHONG SYIAH ATAS JAFAR ASH SHADIQ Pada masanya, bidah al Jad bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Jafar bin Muhammad menyatakan: Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah[2]. Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syiah yang mengamini Mutazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al Qur`an adalah makhluk. Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Jafar ash Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jamaah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan RasulNya. Ibnu Taimiyyah berkata,Syiah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka. Dari kalangan imam Ahli Bait, seperti Ali bin al Husain Zainal Abidin, Abu Jafar al Baqir, dan putranya, Jafar bin Muhammad ash Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan al Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi n), tidak ada yang mengakui para imam dua belas mashum, atau mencela Abu Bakr dan Umar. Tokoh-tokoh Syiah tempo dulu mengakui, bahwa aqidah tauhid dan takdir (yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik melalui Kitabullah, Sunnah atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka mendapatkannya dari Mutazilah. Mereka (kaum Mutazilah) itulah guru-guru mereka dalam tauhid dan al adl. Klaim kaum Syiah yang menyatakan pemahaman aqidah mereka berasal dari Jafar ash Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya, hanyalah merupakan kedustaan, dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika dianggapnya sebagai dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan kepada orang-orang yang mulia itu. Contoh kedustaan yang dilekatkan kepada beliau, yaitu ucapan taqiyah adalah agamaku dan agama nenek-moyangku. Orang Syiah menjadikannya sebagai prinsip aqidah mereka. Kedustaan lainnya, keyakinan mereka bahwa Jafar ash Shadiq akan kekal abadi, dan tidak meninggal. Ini juga merupakan kesalahan yang parah. Kematian adalah milik setiap orang, dan pasti terjadi. Tidak ada orang, baik dari kalangan Ahli Bait atau lainnya yang mendapatkan hak istimewa hidup abadi di dunia ini. Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan tulisan-tulisan yang diklaim telah ditulis oleh Jafar ash Shadiq. Para ulama telah menetapkan kedustaan itu. Ditambah lagi, eranya (80-148 H) termasuk masa yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka saja, tidak sampai dibukukan. Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang tsiqah dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al Haq dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat. Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al Adha` (menjelaskan pergerakan-pergerakan yang ada di bawah tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya. Golongan Syiah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Jafar ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Jafar ash Shadiq yang meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Jafar ash Shadiq, tetapi ia menyertai Jafar bin Yahya al Barmaki. Dan lagi yang pantas untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Jafar ash Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Jafar ash Shadiq. Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Jafar ash Shadiq. Ringkasnya, Syiah berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Wallahul Mustaan. Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan: Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Jafar al Baqir, Jafar bin Muhammad ash Shadiq dan lainnya. Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as Sunnah, 5/162). (Diadaptasi dari muqaddimah tahqiq Kitab al Munazharah (Munazharah Jafar bin Muhammad ash Shadiq Maa ar Rafidhi fi at Tafdhili Baina Abi Bakr wa Ali), karya Imam al Hujjah Jafar bin Muhammad ash Shadiq, tahqiq Ali bin Abdul Aziz al Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh, Cet. I, Th. 1417 H). [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _______ Footnote [1]. Oleh Syiah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syiah Imamiyah berseteru pendapat dengan Ismailiyah tentang imam setelah Jafar ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Ismail yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli bidah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka. [2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering diriwayatkan dari Jafar ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).
Posted on: Thu, 21 Nov 2013 16:49:41 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015