Induk bebek itu gelisah. Berkali-kali dia memandangi anak yang - TopicsExpress



          

Induk bebek itu gelisah. Berkali-kali dia memandangi anak yang baru dilahirkannya. Matanya lalu beralih ke arah enam anaknya yang lain. Enam anak bebek cantik dengan bulu-bulu seputih salju. Tapi lihatlah kondisi si bungsu yang baru keluar dari cangkangnya itu. Penampilannya amat kumal dengan bulu-bulu berwarna abu-abu kecoklatan. Sama sekali tidak menarik. Dengan sikat dan kain perca,dia menggosok-gosok tubuh bebek kecil yang masih lemah itu . Tapi tidak berhasil. Induk bebek tak mau menerima kondisi sang anak. Dia memutuskan untuk menjual si anak. Sayang, tak ada yang sudi membelinya. Induk bebek frustasi. Perasaan malu, sedih , putus asa dan marah bercampur aduk jadi satu. Diiringi suara akordion yang menyayat hati, kita menyaksikan bagaimana sang induk mengangkat tubuh anak bebek malang itu tinggi-tinggi sebelum menghempaskannya ke dalam tong sampah. Kisah bebek yang tak diinginkan kehadirannya itu hadir dalam sebuah pertunjukan teater boneka yang digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Ahad pekan lalu. Pertunjukan bertajuk Mauvaise Graine itu menyuguhkan sebuah dongeng kontemporer tentang pengecualian, perbedaan, pengasingan dan harapan, yang terinspirasi kisah klasik karya Hans Christian Andersen The Ugly Duckling. Di atas panggung kisah bebek kecil bernasib buruk itu dibawakan oleh Dorothèe Saysombat. Mengenakan sepatu katak yang biasa dipakai penyelam, berpupur putih, serta memkai masker berbentuk paruh bebek dia berperan sebagai induk bebek yang kemana-mana selalu membawa gerobak kecil berisi enam boneka bebek. Di tangan Dorothèe, enam boneka bebek itu terlihat hidup. Suara akordion yang dimainkan Scott Taylor makin mengaduk-ngaduk emosi penonton. Mauvaise Graine dipentaskan oleh kelompok asal Prancis , Compagnie à. Didirikan pada Desember 2003 oleh Dorothèe Saysombat dan Nicolas Alline, Compagnie à yang datang ke Jakarta atas undangan Pusat Kebudayaan Prancis CCF Jakarta, menawarkan kepada publik sebuah pertunjukan untuk segala usia yang menggabungkan atraksi badut dan pertunjukan boneka. Walaupun hanya berdua di atas panggung, Dorothèe Saysombat dan Nicolas Alline mampu menghibur penonton lewat bahasa tubuh dan kemampuan meniru aneka jenis suara binatang. Lihatlah bagaimana mereka membuat penonton penasaran ketika dari rumah kecil yang dibangun di atas panggung terdengar gonggongan anjing, bersahutan dengan suara kucing , ayam, bebek, kambing dan sapi, layaknya sebuah peternakan. Dari rumah kecil terbuat dari bilah-bilah kayu tua, dan hampir roboh itu, Nicolas dan Dorothèe muncul menyapa penonton. “Bo!,” seru Dorothèe, yang langsung dijawab Nicolas dengan lenguhan kerbau. “Kisah memilukan di empat musim,” kata Nicolas dalam bahasa Indonesia. Sebuah pengantar bagi penonton. Dengan sepotong kapur, di bagian atas dinding rumah dia menuliskan “musim panas”. Di musim itulah, cerita bergulir. Adegan pembuangan bebek kecil buruk rupa ke tong sampah menjadi adegan penutup di musim panas. Kisah bebek kecil bernasib malang terjalin dalam empat musim berbeda. Musim panas, gugur, dingin, dan semi. Agar penonton paham bahwa telah terjadi pergantian musim, kedua aktor itu secara bergantian menuliskan musim yang sedang berlangsung. Tentu dengan cara yang mampu membuat penonton tergelak. Masing-masing musim menyuguhkan kisah yang berbeda dengan karakter utama, bebek si buruk rupa. Ketika musim gugur tiba misalnya, Dorothèe yang tampil sebagai perempuan berpenampilan lusuh, mencoba membuat tulisan “musim gugur” di koper kayunya. Kapurnya jatuh ketika dia baru menulis ‘musim gug”. Dengan mimik lucu dia pun berteriak, “Uur..” Penonton pun terbahak. Di musim gugur, kisah si bebek kecil buruk rupa disajikan dengan sebuah pertunjukan puppet show (panggung boneka) jalanan. Dari balik koper kayu, dengan lincah Dorothèe menjadi dalang memainkan beragam karakter. Dia misalnya, mampu membuat penonton tertawa saat menyuguhkan adegan perjalanan si bebek berkeliling dunia, melihat patung liberti di Amerika Serikat, menara pisa di Italia, menara eifel di Prancis, hingga bertarung sampai pingsan dengan barongsai di Cina. Namun di akhir musim, penonton disuguhi pemandangan berbeda. Adegan tragis penembakan ayah dan anak bebek yang mencoba menyebrangi wilayah perbatasan. Dorothèe menggunakan pita berwarna merah untuk menggambarkan darah yang mengucur dari tubuh keduanya. Pertunjukan yang dibawakan Compagnie à memang tak cuma menghadirkan kelucuan. Kisah-kisah yang disajikannya memadukan humor dan kekejaman, tragedi dengan komedi. Sebuah pertunjukan yang memberikan perpektif unik sekaligus puitis pada konteks sosial dan politik, dalam kemasan menarik.
Posted on: Sun, 01 Sep 2013 06:55:27 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015