Lima TOMOYUKI hampir tidak memercayai matanya sewaktu ia melihat - TopicsExpress



          

Lima TOMOYUKI hampir tidak memercayai matanya sewaktu ia melihat Keiko keluar dari apartemen Kazuto keesokan paginya. Ketika akan masuk ke apartemennya sendiri, gadis itu baru menyadari keberadaan Tomoyuki di tengah tangga. “Oh, Tomoyuki-kun, selamat pagi,” sapa Keiko dengan senyum salah tingkah. Dan kalau Tomoyuki tidak salah lihat, wajah Keiko merona. “Kau mau pergi kuliah?” Tomoyuki mengangguk. “Aku baru mau ke tempat Kazuto Oniisan,” sahutnya, masih heran. “Mau meminjam...,” ia terdiam sejenak, sudah lupa apa yang ingin dipinjamnya dari Kazuto. “Keiko Oneesan...?” Keiko buru-buru menyela, “Kalau begitu, sampai jumpa. Aku masuk dulu.” Begitu pintu apartemen Keiko tertutup, Tomoyuki berbalik menuruni tangga, tidak jadi pergi ke apartemen Kazuto. Haruka terkejut mendengar pintu apartemennya terbuka dengan suara keras. “Ada apa? Ada apa?” “Oneechan! Dengar, aku baru melihat Keiko Oneesan keluar dari apartemen Kazuto Oniisan,” Tomoyuki melaporkan dengan nada mendesak. “Apa?” Haruka mengangkat alis dan melirik jam dinding. Jam enam. “Sepagi ini?” Tomoyuki mengerutkan kening dan berpikir-pikir. “Oneechan, menurutmu mereka...” Haruka memukul kepala adiknya. “Jangan berpikir sembarangan. Keiko gadis baik-baik.” “Aku kan tidak bilang apa-apa,” gerutu Tomoyuki sambil mengusap-usap kepalanya. “Tapi kenapa dia keluar dari apartemen Kazuto pagi-pagi begini?” gumam Haruka pada diri sendiri. “Mungkinkah Keiko Oneesan berada di apartemen itu semalaman?” celetuk Tomoyuki. Haruka menatap adiknya dan mengerjap-ngerjapkan mata. “Yah, mereka berdua memang cukup dekat. Selalu bersama-sama. Tapi masa...?” “Keiko Oneesan memang gadis polos. Mungkin saja Kazuto Oniisan yang mengambil kesempatan dengan...” Haruka kembali memukul kepala adiknya. “Sebaiknya kau pergi kuliah sekarang. Heran, kau ini laki-laki tapi suka sekali bergosip.” Tomoyuki mengangkat bahu tidak peduli. “Bukankah aku belajar dari Oneechan?” Lalu ia melesat keluar sebelum Haruka sempat memukulnya lagi. * * * Memalukan. Kenapa aku bisa sampai tertidur di apartemen Kazuto? Keiko mengembuskan napas sambil menyeberangi jalan. Hari ini banyak sekali yang harus dilakukannya di perpustakaan dan kesibukan mengalihkan pikirannya dari kejadian memalukan tadi pagi untuk sementara. Tapi sekarang dalam perjalannya ke rumah sakit karena flu yang tidak kunjung membaik, ia jadi teringat pada kejadian tadi pagi ketika ia terbangun di sofa ruang tamu Kazuto. “Aku tidur di sini semalaman?” tanya Keiko tidak percaya. Kazuto mengangguk. “Tidurmu nyenyak sekali, jadi tidak kubangunkan. Lagi pula aku tidak keberatan.” Laki-laki itu memang tidak keberatan, tapi Keiko merasa malu. Ditambah lagi ia bertemu dengan Tomoyuki ketika ia keluar dari apartemen Kazuto tadi pagi. Tindaktanduknya pasti terlihat mencurigakan. Keiko menggeleng-gelengkan kepala untuk menjernihkan pikiran. Tiba-tiba lagu Fly High terdengar nyaring. Keiko mengeluarkan ponsel dari tas tangan dan membaca tulisan yang menari-nari di layar. Kazuto. “Moshimoshi? Kazuto-san?” “Lampu ruang dudukmu sudah bisa menyala.” Terdengar suara Kazuto di seberang sana. Keiko tersenyum. Tadi pagi ia memang sudah melapor kepada Kakek Osawa dan menelepon tukang listrik untuk memperbaiki kabel listriknya yang bermasalah. Karena ia harus pergi bekerja dan tidak mungkin membiarkan si tukang listrik sendirian di apartemen, Keiko akhirnya meminta Kazuto—tetangganya itu punya banyak waktu luang—menemani Kakek Osawa mengawasi apartemennya selama kabel listriknya diperbaiki. “Kau memang tetangga paling baik sedunia,” kata Keiko melebih-lebihkan. “Kau sudah menyelamatkan hidupku.” “Kalau kau mau berterima kasih, traktir aku makan.” “Oke, kutraktir makan gado-gado.” “Gado... apa? Apa itu?” Kazuto terdengar ragu, tapi lalu cepat-cepat menambahkan, “Tapi aku mau saja, asal memang bisa dimakan.” Keiko tertawa sumbang—benar-benar sumbang, karena ia memang sedang flu. “Jam tujuh, kalau begitu.” Tidak lama setelah ia menutup ponsel, ponselnya berdering tiga kali. Ada pesan masuk. Alisnya terangkat heran melihat pesan itu dari Kazuto. Bukankah laki-laki itu baru saja bicara dengannya? Begitu melihat isi pesan itu, alis Keiko pun berkerut samar. Sebuah foto. Sepertinya hasil jepretan Kazuto. Keiko tidak terlalu paham, tapi kalau tidak salah foto itu menampilkan langit malam penuh bintang. Di bawah foto itu ada sebaris kalimat: Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap? Sementara ia masih memandangi foto itu dengan bingung mencoba memahami maksud Kazuto, ponselnya kembali berdering tiga kali. Ada pesan lagi. Kali ini tidak ada foto, hanya pesan tertulis dari Kazuto: Jangan lupa ke dokter sebelum kau menyebarkan virus flu ke mana-mana. “Ini juga sedang ke rumah sakit,” Keiko menggerutu pada ponsel yang dipegangnya. * * * Ternyata Keiko harus menunggu 45 menit sebelum perawat memanggil namanya. Proses pemeriksaannya sendiri tidak lama. Dokter tua langganannya itu hanya memeriksanya sebentar lalu menuliskan resep obat yang harus ditebus di apotek rumah sakit. “Semoga aku membawa cukup uang,” gumam Keiko pada diri sendiri ketika melewati meja perawat dalam perjalanannya ke apotek. Ia mengeluarkan dompet dan memeriksa isinya. Karena asyik menghitung uang, ia tidak memerhatikan jalan dan menabrak seseorang yang berjalan terburu-buru ke arah meja perawat. Berhubung tabrakan itu cukup keras dan yang ditabrak adalah laki-laki, Keiko kehilangan keseimbangan dan membentur dinding koridor. Dompetnya terlepas dari pegangan dan uang logamnya yang banyak jatuh bergemerencing di lantai. “Maafkan saya. Maaf.” Keiko merasa ada tangan yang membantunya berdiri tegak. Ia mendongak ke arah suara bernada khawatir itu. Pria yang ditabraknya itu mengenakan jubah putih dengan stetoskop tergantung di leher. Rupanya dokter. Usianya masih muda dan wajah kurusnya terlihat cemas. “Tidak apa-apa?” tanya dokter muda itu sambil mengamati Keiko dari atas ke bawah. “Tidak, tidak apa-apa,” sahut Keiko cepat sambil berjongkok memunguti uang logamnya. Pipinya memanas. Ia tidak terlalu memikirkan tabrakan tadi, tapi ia malu karena uang logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi berisik. Koridor itu tidak sepi, banyak yang berlalu lalang, dan sekarang ia harus memunguti semua koinnya satu per satu. Belum lagi kalau ada uang logam yang menggelinding entah ke mana. Si dokter muda menggumamkan permintaan maaf sekali lagi, lalu ikut berjongkok membantu Keiko memunguti uang logamnya. “Tidak apa-apa. Saya bisa sendiri,” kata Keiko berusaha menahannya. “Sensei10 pasti sibuk.” Dokter itu tersenyum dan berkata ringan, “Aku yang menabrakmu, jadi tentu saja aku harus membantu. Jangan khawatir. Saat ini aku tidak sibuk.” Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan semua logam di lantai. Dokter itu menyerahkan hasil kumpulannya kepada Keiko. “Terima kasih,” gumam Keiko dengan kepala tertunduk. Ketika bergegas berdiri, barulah ia menyadari pergelangan kaki kirinya terkilir. “Kenapa?” tanya si dokter begitu melihat Keiko meringis kesakitan. “Kakimu sakit? Biar kuperiksa.” Menggelikan. Ini sudah seperti adegan dalam film-film, pikir Keiko dengan wajah panas. Tetapi kalau dalam film kaki si tokoh utama wanita terkilir di depan seorang pangeran tampan, maka kaki Keiko terkilir di depan seorang dokter yang walaupun berwajah lumayan, tidak bisa disamakan dengan pangeran tampan. Kalau dalam film si tokoh utama wanita akan digendong oleh si pangeran tampan dengan penuh kasih, maka Keiko sudah pasti tidak akan mengalami yang seperti itu. Ia berhadapan dengan dokter, jadi sudah hampir bisa dipastikan kakinya akan dibebat tanpa ampun dan ia harus berjalan dengan tongkat. Sama sekali tidak romantis. Sebelum Keiko sempat menjawab, terdengar seseorang berseru, “Kitano Sensei, telepon untuk Anda!” Mereka berdua serentak menoleh ke arah meja perawat tempat seorang perawat sedang mengacungkan gagang telepon ke arah mereka. Dokter siapa katanya tadi? Kitano? 10 Tuan, panggilan untuk yang lebih dihormati “Ya, terima kasih,” si dokter muda yang berdiri di hadapan Keiko membalas. Ia berpaling kembali kepada Keiko dan berkata, “Tunggu di sini sebentar, ya? Sebentar saja.” Ia mendudukkan Keiko di salah satu kursi yang ada di koridor. “Aku akan segera kembali.” Keiko mengangguk dan memandangi dokter muda itu berlari-lari kecil ke arah meja perawat dan menerima telepon. Ternyata pembicaraan itu tidak lama. Dokter itu baru saja meletakkan gagang telepon ketika seorang dokter yang terlihat jauh lebih senior menghampiri dan menepuk punggungnya. “Oh, Akira, baguslah kau sudah datang. Kami butuh pendapatmu tentang pasien kamar 1502. Bisa ke ruanganku setelah ini?” Mata Keiko melebar dan ia terpana. Sakit di pergelangan kakinya terlupakan sejenak. Dokter itu... Dokter Kitano...? Akira...? Kitano Akira? Kitano Akira yang itu?! Keiko tidak mendengar pembicaraan kedua dokter itu selanjutnya, karena tepat pada saat itu perawat yang tadi memanggil si dokter muda untuk menerima telepon lewat di depannya. Keiko cepat-cepat menahan si perawat. “Permisi, ada yang ingin saya tanyakan.” “Ya?” Perawat itu tersenyum kepadanya dengan ramah. Dengan ragu-ragu Keiko menunjuk ke arah si dokter muda yang sedang berbicara di dekat meja perawat. “Apakah benar dokter yang di sana itu Kitano Akira?” Si perawat memandang ke arah yang ditunjuk, lalu mengangguk. “Benar, Kitano Sensei adalah salah satu dokter di sini.” Keiko mengangguk-angguk setengah sadar. Tetapi benarkah Kitano Akira Sensei yang ini adalah Kitano Akira yang membantu Keiko mencari kalung yang jatuh tiga belas tahun yang lalu? Keiko tidak yakin. Ia ragu-ragu sejenak sebelum bertanya lagi, “Apakah Anda kebetulan tahu di mana Kitano Sensei bersekolah sewaktu SD?” Si perawat mengangkat sebelah alisnya dan menatap Keiko dengan tatapan heran. “Itu...” Keiko sadar pertanyaannya pasti terdengar aneh dan ia memaksakan tawa sumbang. “Saya hanya ingin memastikan apakah Kitano Sensei itu teman lama saya. Wajahnya terlihat tidak asing,” katanya mencari-cari alasan, lalu tertawa lagi. “Tidak apa-apa kalau Anda tidak tahu. Terima kasih.” Keiko membungkukkan badan dalamdalam dan si perawat pun berlalu dengan ekspresi heran masih tertera di wajahnya. “Nah, sekarang mari kuperiksa kakimu.” Kepala Keiko berputar cepat. Ternyata Kitano Akira sudah kembali berdiri di sampingnya. Sesaat Keiko tidak bisa berkata-kata karena terlalu tegang. “Kakiku baikbaik saja,” sahutnya pelan. “Sensei tidak perlu repot-repot.” Kitano Akira berkacak pinggang dan memandang Keiko dengan ramah. “Aku yang menabrakmu dan membuat kakimu terkilir. Setidaknya biarkan aku memeriksanya sehingga aku tidak terlalu merasa bersalah.” Akhirnya Keiko menyerah, hanya karena ia ingin berbicara lebih banyak dengan dokter itu. Kitano Akira mengajak Keiko masuk ruang periksa lalu memeriksa kaki Keiko sebentar. Ternyata kaki Keiko hanya terkilir ringan. Tidak ada masalah serius. Setelah itu pergelangan kaki Keiko diolesi obat dan diperban dengan hati-hati. “Selesai,” kata Kitano Akira sambil tersenyum kepada Keiko. “Beberapa hari lagi pasti sembuh. Kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu datang mencariku.” Keiko mengangguk. Ia mengamati dokter yang sedang membereskan peralatannya itu. Ia harus bertanya. Ia harus memastikan. “Sensei... Nama Sensei... Kitano Akira?” Si dokter menoleh dan mengangguk. “Benar. Apakah kita pernah bertemu?” Sulit mencari kalimat yang tepat. “Mungkin ini terdengar agak aneh,” kata Keiko sambil tersenyum salah tingkah, “tapi sepertinya Sensei adalah kakak kelasku sewaktu SD. Masih ingat nama sekolah Sensei sewaktu SD?” Begitu Dokter Kitano menyebut nama SD-nya, Keiko pn membelalak. “Benar,” bisiknya gembira. “Jadi kita pernah satu sekolah?” tanya Kitano Akira terkejut. “Dan kita saling mengenal?” Keiko menggeleng. “Kita tidak benar-benar saling mengenal. Kita malah belum berkenalan. Aku mengenal Sensei karena Sensei membantuku mencari kalung yang terjatuh.” Kitano Akira berusaha mengingat-ingat selama beberapa saat, lalu ia tersenyum menyesal. “Maaf, sudah lama sekali, aku hampir tidak ingat.” “Memang kejadian itu sudah tiga belas tahun yang lalu,” kata Keiko sambil mengangkat bahu. “Tentu saja Sensei sudah tidak ingat. Sewaktu kita bertemu, Sensei sudah SMP dan Sensei datang ke sekolahku untuk menemui salah satu guru, kurasa.” Kitano Akira kembali mengingat-ingat. “Ingatanku tentang masa kecil sudah agak buram, tapi samar-samar aku ingat ada kejadian seperti itu.” Ternyata laki-laki itu tidak ingat padaku, pikir Keiko sedikit menyesal. Namun ia bisa maklum. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Ia sendiri sudah melupakan banyak hal yang pernah terjadi selama tiga belas tahun terakhir ini. Ia tentu saja masih ingat pada Kitano Akira karena laki-laki itu adalah cinta pertamanya. Sedangkan bagi Kitano Akira, Keiko mungkin hanya seorang gadis kecil yang butuh bantuan dalam mencari kalungnya yang hilang. Sama sekali bukan sesuatu yang penting untuk diingat. Kitano Akira menatap Keiko sambil tersenyum ramah. “Tadi kaubilang kita dulu belum berkenalan. Kalau begitu...” Ia mengulurkan tangan kanannya. “Namaku Kitano Akira. Senang berkenalan denganmu.” Keiko ragu sejenak sebelum akhirnya menyambut uluran tangan pria itu. Ia pun balas tersenyum dan berkata, “Ishida Keiko. Senang bertemu lagi.” Enam SAMBIL duduk bersandar di sofa, Kazuto terpekur menatap layar laptop di hadapannya. Ia sudah terlalu sering memandangi foto-foto yang muncul silih berganti memenuhi seluruh layar laptop itu. Foto-foto yang dipotret dengan tangan dan kameranya sendiri. Foto-foto dengan objek yang sama. Foto-foto wanita itu. Ia tahu seharusnya ia tidak boleh lagi membenamkan diri dalam kenangan tentang wanita di foto itu. Ia tahu ia tidak pantas, tetapi ia merasa belum sanggup menghapus bayangan wanita itu dari pikiran, ataupun menghapus foto-fotonya dari laptop. Sampai sekarang. Lamunannya buyar ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Tangannya otomatis menurunkan layar laptop, lalu bangkit dan berjalan ke pintu. “Halo.” Kazuto mengerjapkan mata melihat Ishida Keiko berdiri di hadapannya dengan senyum lebar tersungging di wajah. “Oh, halo.” Kazuto minggir sedikit ketika gadis itu berjalan masuk ke apartemennya sambil menggigil. “Kau sudah pulang?” Biasanya Keiko belum pulang pada jam-jam segini. “Ya, aku diizinkan pulang cepat karena flu. Biarkan aku masuk dulu. Dingin sekali di koridor ini.” Keiko melepaskan sepatunya dan berganti mengenakan sandal Hello Kitty yang tersedia di jajaran sepatu dan sandal di samping pintu. Tadi pagi sebelum berangkat kerja, Keiko mampir lagi untuk menaruh sepasang sandal yang sudah lama tidak dipakainya di apartemen Kazuto. Biar praktis saja, ia punya sandal ganti di apartemen tetangganya itu. Kazuto menyadari suara Keiko yang sengau dan baru teringat gadis itu sedang flu. Ia cepat-cepat menutup pintu dan mengikuti Keiko ke ruang tengah. Ia juga menyadari langkah gadis itu agak timpang. “Hari ini kita tidak jadi makan gado-gado,” kata Keiko sambil berputar ke arah Kazuto. Tanpa menunggu jawaban ia melanjutkan, “Tadi aku ketemu Nenek Osawa di bawah. Beliau masak shabushabu dan kita disuruh ikut makan bersama. Dan ngomongngomong, kau punya sake? Persediaan sake Kakek sudah habis. Aku disuruh minta padamu, makanya langsung ke sini begitu pulang.” “Punya,” sahut Kazuto setelah mencoba mengingat-ingat. Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. “Kau sudah menuruti saranku dan pergi ke dokter?” Keiko mengangkat sebelah alis. “Sebelum aku menyebarkan virus ke mana-mana?” Ia tertawa kecil. “Tentu saja sudah. Ayo cepat cari sake-nya dan kita turun. Aku sudah lapar nih.” Kazuto tertegun. Ia menatap gadis di depannya dengan bingung. Tiba-tiba saja ia menyadari sesuatu. Tiba-tiba saja ia tahu kenapa kini ia sanggup melepaskan kenangan masa lalu itu. * * * Keiko menatap Kazuto berjalan ke lemari dapur dan mulai mencari-cari sake simpanannya. Ternyata tetangganya itu tidak memerhatikan kakinya yang diperban. Yah, tentu saja Kazuto tidak menyadarinya karena pergelangan kaki Keiko sendiri tertutup celana panjang. Tapi memangnya Kazuto tidak menyadari langkahnya agak timpang? Sebenarnya Keiko ingin laki-laki itu bertanya, sehingga ia bisa menceritakan kejadian di rumah sakit tadi siang. Memikirkannya saja sudah membuat Keiko tersenyum-senyum. Nah, siapa yang menyangka ia bisa bertemu kembali dengan cinta pertamanya setelah tiga belas tahun? Laptop yang setengah tertutup di meja menarik perhatiannya. Karena tidak tahu apa yang mesti dilakukannya sambil menunggu Kazuto, Keiko iseng-iseng menegakkan layar laptop dan melihat apa yang sedang dikerjakan laki-laki itu sebelum ia membunyikan bel pintu. Foto seorang wanita berambut panjang sebahu terpampang jelas di layar. Wanita yang tersenyum lebar ke arah kamera itu jelas orang Asia, tetapi di latar belakang foto itu terlihat patung Liberty. Siapa wanita itu? Sebelum Keiko sempat berpikir lebih jauh, fotonya lenyap dari layar dan digantikan foto lain. Masih wanita yang sama, namun di lokasi yang berbeda. Keiko mulai heran ketika melihat foto-foto selanjutnya juga menampilkan wanita yang sama. Apakah wanita ini model? Lalu foto berikutnya muncul dan Keiko tertegun. Kali ini wanita itu tidak sendirian di dalam foto. Nishimura Kazuto juga ada di sana. Sepertinya foto itu diambil di restoran. Mereka berdua duduk berdampingan dan tersenyum. Hanya saja si wanita tersenyum ke arah kamera seperti foto-foto sebelumnya, sedangkan Kazuto tersenyum memandang wanita itu. Dan itu bukan senyum biasa. Di dalam foto itu Kazuto tersenyum seakan-akan... “Ketemu!” Keiko tersentak mendengar suara Kazuto. Wajahnya terasa panas dan ia merasa seakan ia tertangkap basah mengintip rahasia orang lain. Perasaannya tidak enak. “Hanya ada satu botol,” kata Kazuto sambil berjalan mendekatinya. “Tidak apaapa, bukan?” “Tentu,” kata Keiko tergagap. Ia melirik laptop di meja dengan pandangan bersalah. Kazuto mengikuti arah pandang Keiko dan melihat layar laptop-nya sudah terangkat. Ia tersenyum. “Kau sudah melihatnya, ya?” tanyanya. Keiko mengangkat bahu serbasalah. Sebaiknya ia tidak berpura-pura bego. “Siapa wanita itu?” tanyanya. Kazuto menghampiri laptop dan mematikannya. “Wanita yang pernah kusukai,” jawabnya. “Oh.” “Tapi dia lebih menyukai sahabatku.” “Oh...?” “Mereka akan menikah,” kata Kazuto lagi. Keiko membuka mulut ingin menanyakan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia tidak tahu apakah pertanyaan yang ingin ditanyakannya itu terlalu pribadi. “Kau benar,” gumam Kazuto tiba-tiba sambil tersenyum samar, seakan bisa membaca pikiran Keiko. “Karena itulah aku datang ke Tokyo. Konyol sekali, bukan?” Keiko menggeleng. “Entahlah.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya ragu, “Lalu bagaimana sekarang?” Jeda sesaat sementara Kazuto berpikir-pikir. “Semenjak aku datang ke Tokyo, aku jarang memikirkannya. Dan akhir-akhir ini aku hampir tidak pernah memikirkannya.” “Bukankah itu bagus.” “Ya, kurasa itu bagus,” gumam Kazuto dengan nada melamun. Melihat laki-laki itu agak murung, Keiko buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Baiklah. Ayo, kita turun sekarang. Mereka pasti sudah menunggu kita.” Ketika Keiko akan berjalan ke pintu, ia mendengar Kazuto bertanya, “Kakimu kenapa?” Akhirnya! Keiko tersenyum dan berputar kembali menghadap Kazuto, lalu menunduk dan menarik ujung celana panjangnya ke atas, memperlihatkan pergelangan kaki kirinya yang diperban. “Terkilir sewaktu di rumah sakit,” sahutnya dengan nada gembira. “Tidak parah.” Kazuto mengamati kaki Keiko yang diperban. Kali ini keningnya berkerut. “Tidak sakit?” “Tentu saja sakit.” “Bagaimana kakimu bisa terkilir?” tanya Kazuto. Matanya kembali ke wajah Keiko. Aku menabrak seseorang di rumah sakit,” jawab Keiko cepat dan penuh semangat. “Hei, kau mau tahu siapa yang kutabrak?” “Siapa?” “Cinta pertamaku.” “Oh?” Hanya itu reaksi Kazuto, tapi Keiko tidak peduli. Ia sedang bersemangat dan ingin bercerita. “Dia sudah banyak berubah... Yah, itu memang sudah pasti. Lagi pula aku sendiri sudah lupa wajahnya tiga belas tahun yang lalu itu. Aku hanya ingat dia memakai topi biru.” Keiko terdiam sejenak, seperti sedang melamun. “Aku tidak akan mengenalinya kalau perawat itu tidak memanggil namanya.” Kazuto membuka pintu dan Keiko mengikutinya keluar. “Kau yakin memang dia orangnya?” tanya Kazuto sambil menutup pintu. “Ya, sudah kutanyakan langsung padanya.” “Dia juga masih ingat padamu?” Keiko tertawa pelan. “Tidak, dia tidak ingat. Kami dulu memang bukan teman sepermainan dan dia memang tidak mengenalku. Aku tahu tentang dia karena dulu dia pernah membantuku dan aku terpesona. Dia sangat ramah.” Kazuto tidak berkomentar. “Lihat.” Keiko mengayunkan kaki kirinya ke depan. “Dia juga yang membalut kakiku. Dia dokter! Keren, kan?” Kazuto menatap kaki kiri yang diacungkan itu, lalu beralih menatap tangga di depannya. Setelah berpikir sejenak, ia menyerahkan botol sake kepada Keiko, lalu berjalan ke tangga dan duduk di anak tangga teratas, memunggungi Keiko. “Apa?” tanya Keiko tidak mengerti. Kazuto menoleh dan menepuk punggungnya sendiri. “Ayo, biar kugendong sampai ke bawah. Kau pasti susah naik-turun tangga dengan kaki seperti itu.” Keiko ragu-ragu. Alisnya terangkat. “Kau yakin?” “Tentu.” “Aku lumayan berat.” “Kelihatannya memang begitu.” Keiko berkacak pinggang. “Nah, apa maksudmu sebenarnya?” “Oh, ayolah. Aku hanya bercanda,” sela Kazuto sambil tertawa kecil. “Aku mulai kedinginan, jadi tolong cepat.” Keiko menarik napas. “Sebaiknya kau tidak menyesal,” gumamnya sambil berdoa dalam hati semoga laki-laki itu tidak ambruk karena berat badannya. Setelah memantapkan hati, Keiko merangkulkan kedua lengannya di leher Kazuto dan membiarkan laki-laki itu menggendongnya. “Wah, ternyata kau...” Keiko memukul bahunya. “Sudah kubilang!” Kazuto tertawa dan berdiri tanpa kesulitan. “Aku hanya ingin bilang ternyata kau tidak seberat yang kuduga.” “Tidak seberat yang kauduga?” tanya Keiko sambil mengerutkan kening. “Jadi maksudmu aku terlihat gemuk?” Suaranya agak melengking. Kazuto menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dan menuruni anak tangga dengan hati-hati. “Apa katamu?” tanya Keiko sambil bergerak-gerak ingin melihat wajah Kazuto. Kazuto memperbaiki posisi Keiko di punggungnya sambil mendesah, “Kau sadar aku sedang menggendongmu turun tangga? Kalau kau tidak mau kita jatuh terguling sepanjang jalan, sebaiknya kau tidak bergerak-gerak.” “Tadi kaubilang aku tidak berat,” protes Keiko. “Kau memang tidak berat. Setidaknya tidak seberat yang kuduga.” Keiko kembali mengernyitkan kening tidak mengerti. “Lalu kenapa kaubilang kita bisa jatuh terguling kalau aku memang tidak berat?” “Karena kalau kau bergerak-gerak, aku bisa kehilangan keseimbangan. Itu masalahnya,” sahut Kazuto dengan nada seperti sedang menjelaskan kepada anak kecil berumur lima tahun kenapa manusia tidak bisa terbang seperti burung. “Tidak mungkin,” balas Keiko, masih tidak puas. “Kalau aku memang seringan bulu, meskipun sekarang aku berjumpalitan, kau tidak mungkin jatuh.” Kazuto tertawa. “Siapa bilang kau seringan bulu?” Keiko mengguncang-guncang bahu Kazuto. “Jadi menurutmu aku gemuk?” pekiknya. “Ayo, bicara yang jelas!” Tawa Kazuto semakin keras. “Aduh, kau mencekikku.” Keiko tidak bisa menahan diri untuk ikut tertawa, tapi ia tetap merangkul leher Kazuto erat-erat dan mengancam, “Jadilah pria sejati dan bicara yang jelas. Aku gemuk atau tidak?” Dan pembicaraan tentang cinta pertama Keiko pun untuk sementara terlupakan. * * * Kazuto tidak bermaksud memulai perdebatan tentang berat badan. Sebenarnya topik itu juga bukan topik yang suka dibicarakannya. Terlebih lagi dengan wanita. Tetapi lebih baik berdebat tidak jelas tentang berat badan daripada mendengarkan gadis itu bercerita tentang cinta pertama yang baru dijumpainya setelah bertahun-tahun. “Ngomong-ngomong, foto yang kaukirimkan padaku itu foto apa?” tanya Keiko. Kazuto tersenyum kecil mengingat foto yang dikirimkan ke ponsel Keiko tadi siang. “Kau tidak tahu?” ia balas bertanya. “Belum tahu?” “Sepertinya foto langit malam dan bintang,” jawab Keiko ragu-ragu. “Kau akan tahu saat kau akan tidur nanti. Tapi kau harus memadamkan lampu. Kau bahkan tidak boleh menyalakan lampu kecil di samping tempat tidurmu itu.” “Kenapa?” “Karena sesuatu yan gindah akan terlihat saat gelap,” sahut Kazuto penuh tekateki. “Aku masih tidak mengerti,” gerutu Keiko. Kazuto tertawa dan mengalihkan pembicaraan. “Semua lampu di apartemenmu sudah bisa menyala, bukan?” “Sudah,” sahut Keiko lega. “Berarti kau tidak akan bermalam di tempatku lagi hari ini?” tanya Kazuto ketika mereka tiba di depan pintu apartemen Kakek dan Nenek Osawa. “Bermalam...?” Keiko terdengar kaget. “Apa maksudmu? Kau membuatnya terdengar seperti...” Lalu gadis itu mulai mengomel dalam bahasa ibunya sambil mengguncang-guncang bahu Kazuto sekali lagi. “Aduh, tunggu...,” kata Kazuto susah payah di sela-sela tawanya. Tepat pada saat itu pintu apartemen 101 terbuka dan Sato Haruka berdiri di sana sambil emmandangi mereka dengan mata lebar dan alis terangkat heran. “Turunkan aku,” gumam Keiko kaku dan buru-buru turun dari gendongan. Kazuto menurutinya, walaupun ia tidak mengerti kenapa sikap Keiko tiba-tiba berubah. “Oneesan, aku sudah membawa Kazuto-san dan juga sake-nya,” kata Keiko riang begitu kakinya kembali menginjak lantai. Ia bergegas menghampiri Haruka sambil menyodorkan botol sake Kazuto. “Oh ya, bagus,” kata Haruka sambil memandang Kazuto dengan senyum lebar penuh arti. “Ayo, masuk, Kazuto-san. Semua sudah berkumpul dan sedang mengobrol di dalam. Mungkin kau bisa menyumbang obrolan menarik?” * * * “Siapa yang kaupilih?” Keiko sedang membantu Nenek Osawa di dapur ketika Haruka menghampirinya dan berbisik dengan nada mendesak. Keiko menoleh dan melihat mata tetangganya berkilat-kilat penasaran. “Apa maksud Oneesan?” gerutu Keiko salah tingkah, lalu kembali berkonsentrasi pada tugasnya memotong sayur. “Kau sangat mengerti maksudku,” sela Haruka tanpa ampun, masih dengan suara berbisik mengingat Nenek Osawa sedang mencuci sayur tidak jauh dari mereka. Haruka menyiku Keiko. “Tadi saat menelepon, kau bercerita panjang-lebar padaku tentang cinta pertamamu yang sudah jadi dokter itu. Kau begitu gembira dan tersenyum begitu lebar sampai kukira mulutmu bakal robek. Lalu tiba-tiba kau tertangkap basah sedang gendong-gendongan dengan Kazuto-san.” Mata Keiko melebar kaget. “Gendong-gen...?” Teringat Nenek Osawa ada di dekat mereka, ia merendahkan suara. “Oneesan!” Haruka menatapnya dengan mata disipitkan. “Kau suka yang mana?” Keiko membuka mulut ingin membela diri, tapi tidak jadi. Tidak ada gunanya mengikuti permainan Haruka. Jadi ia hanya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala. “Tapi menurutku Keiko-chan dan Kazuto cocok sekali.” Keiko dan Haruka serentak menoleh ke arah suara bernada kecil dan ramah itu. Nenek Osawa memandang mereka berdua sambil tersenyum cerah. Matanya berkilat-kilat senang. “Bukankah begitu?” “Tapi,” Keiko mencoba menyela, “kami sungguh tidak ada hubungan apa-apa.” “Ada hubungan juga tidak apa-apa,” timpal Haruka cepat. “Benar sekali,” dukung Nenek Osawa. “Senang sekali melihat kalian berdua bersama.” Keiko mengerjap-ngerjapkan mata. “Tapi... tidak, maksudku...” Kenapa dua orang itu tiba-tiba berkomplot melawannya? “Tentu saja kau tetap harus memilih salah satu,” tambah haruka, mengingatkan Keiko pada topik awal. “Menurutku Kazuto itu anak baik,” kata Nenek Osawa ringan sambil mengangkat bahu. Keiko mengembuskan napas dan menggeleng-geleng lagi. “Tapi aku tidak punya perasaan apa pun padanya. Aku tidak... menyukainya.” “Siapa? Kazuto-san?” Sebelum Keiko sempat menjawab pertanyaan Haruka itu, terdengar suara Nenek Osawa menyela, “Jangan berkata begitu kalau kau sendiri tidak yakin, Keiko-chan.” Keiko tertegun. Nah, apa maksudnya? Nenek Osawa memandangnya dengan ramah dan senyum yang seakan menyatakan ia tahu lebih banyak daripada Keiko sendiri. “Kita tidak mau mengatakan sesuatu yang nantinya akan kita sesali, bukan?” Untungnya Keiko tidak perlu menjawab karena tepat pada saat itu lagu Fly Highnya Hamasaki Ayumi terdengar. * * * Sementara para wanita sibuk di dapur, para pria duduk mengobrol di ruang duduk. Kakek Osawa sedang bercerita tentang masa mudanya dulu ketika ia masih bekerja sebagai petugas keamanan di sekolah menengah, salah satu topik yang paling disenanginya. Kazuto berpikir tidak mungkin semua kejadian yang diceritakan orang tua itu benar. Mungkin ada beberapa bagian yang dilebih-lebihkan. Tetapi baik ia maupun Tomoyuki tidak keberatan karena Kakek Osawa pintar bercerita dan selalu berhasil membuat mereka semua terhibur. “Hari Natal selalu membuat anak-anak senang. Anak-anak perempuan sibuk merajut syal atau topi untuk anak-anak laki-laki yang mereka sukai. Bahkan dulu ada satu anak perempuan yang merajutkan syal hangat untukku,” kenang Kakek Osawa. “Mungkin sebenarnya syal itu dirajutnya untuk anak laki-laki yang disukainya, tapi ternyata anak laki-laki itu menolak hadiahnya. Akhirnya karena tidak tega membuang syal itu, anak perempuan itu memberikannya kepada Kakek,” gurau Tomoyuki. Kazuto tertawa. “Kalian ini,” gerutu Kakek Osawa sambil mendecakkan lidah, lalu ia ikut tertawa kecil dan bertanya, “Lalu apakah kalian punya rencana istimewa pada Hari Natal tahun ini?” Tomoyuki mengangkat bahu. “Kalau aku tidak ada yang benar-benar istimewa. Paling-paling hanya berkumpul dengan beberapa temanku.” “Tidak ada kencan istimewa?” Kakek Osawa terkekeh. “Tidak ada gadis yang cukup cantik untuk menarik perhatianmu di kampus?” Tomoyuki mendesah dan menggeleng kecewa. “Bagaimana denganmu?” Kakek Osawa beralih ke Kazuto. “Ada kencan istimewa?” Kazuto mengangkat wajah. “Aku? Hmm, aku belum tahu.” “Belum tahu?” tanya Tomoyuki. “Kenapa?” “Aku belum mengajaknya.” Kazuto berhenti sejenak, lalu meralat, “Sebenarnya sudah, hanya saja tidak secara langsung. Dia juga tidak menanggapi dengan serius.” “Oniisan seharusnya bertanya langsung,” kata Tomoyuki memberi saran. “Zaman sekarang ini semuanya harus serba langsung. To the point. Benar tidak, Kakek? Oniisan harus bergerak cepat sebelum direbut orang lain. Lagi pula cewek juga tidak berbasabasi kalau mau menolak kita.” “Jadi kau pernah ditolak mentah-mentah?” tanya Kakek Osawa. Sementara Tomoyuki menceritakan salah satu kisah cintanya, Kazuto berpaling ke arah dapur. Ia melihat Keiko sedang memotong-motong sayur sambil mengobrol dengan Haruka dan Nenek Osawa. Bertanya langsung, ya? Bergerak cepat sebelum direbut orang lain. Hmm... Kazuto masih tetap mengamati Keiko ketika gadis itu tiba-tiba merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel yang berbunyi nyaring. Lalu gadis itu sedikit terkesiap dan menjauh dari Haruka dan Nenek Osawa. Kazuto tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Keiko, tapi ia berhasil menangkap satu patah kata ketika Keiko menjawab telepon. Sensei. Kemudian pandangan Kazuto terhalang ketika Haruka menghampiri meja sambil membawa piring dan sayuran. “Sayuran sudah siap. Kita bisa mulai makan,” kata Nenek Osawa yang menyusul dari belakang. “Di mana Keiko-chan?” tanya Kakek Osawa. “Oh, dia sedang menerima telepon di dapur,” kata Haruka sambil tersenyum lebar. “Telepon dari si dokter cinta.” “Dari siapa?” Kazuto bahkan tidak menyadari ia mengucapkan kata-kata itu dengan lantang dan jelas. “Si dokter cinta,” Haruka mengulangi. “Cinta pertamanya yang sekarang sudah menjadi dokter. Sepertinya si dokter berencana mengajaknya kencan. Menyenangkan sekali.” Kazuto menoleh kembali ke dapur. Ia teringat kata-kata Tomoyuki tadi. Oniisan harus bergerak cepat sebelum direbut orang lain. * * * “Terima kasih banyak,” kata Keiko riang sambil menepuk-nepuk pundak Kazuto ketika laki-laki itu menurunkannya di depan pintu apartemennya. Kazuto menegakkan tubuh dan mendesah. “Kau bertambah berat setelah makan.” Keiko tersenyum lebar. “Itu wajar, bukan? Lagi pula aku memang makan banyak tadi.” Kazuto mengangkat alis. “Aneh sekali. Kau tidak uring-uringan walaupun kubilang bertambah berat.” Ia menatap Keiko sejenak. “Sepertinya kau sedang gembira.” “Aku memang gembira.” “Karena mendapat telepon dari si dokter cinta?” “Dokter apa?” Keiko memandangnya tidak mengerti. “Cinta pertamamu itu.” Keiko mengangkat bahu, kembali tersenyum. “Ya, itu salah satu alasannya.” Ia menunduk menatap kaki kirinya, lalu kembali menatap Kazuto sambil tersenyum. “Ia menanyakan keadaan kakiku.” Kazuto diam sejenak, seakan sedang berpikir-pikir. “Cepatlah masuk,” katanya tiba-tiba. “Nanti flumu bertambah parah.” Agak heran, Keiko mengiyakan dan membuka pintu. “Keiko?” Kepala Keiko berputar. “Apa?” Dengan tangan memegang pegangan pintu apartemennya sendiri, Kazuto menoleh menatap Keiko. “Jangan lupa matikan semua lampu saat kau tidur nanti.” Kening Keiko berkerut samar. “Kau tahu aku tidak suka gelap.” Kazuto mengangkat bahu. “Coba saja dan kau akan lihat nanti.” “Lihat apa?” “Kalau kau tidak mencoba kau tidak akan tahu, bukan?” kata Kazuto sambil tersenyum, lalu masuk ke apartemennya, meninggalkan Keiko yang kebingungan sendiri. Tiba-tiba lagu Fly High terdengar dan membuat Keiko tersentak. Ia menggigil, lalu bergegas masuk ke apartemennya sendiri sebelum mengeluarkan ponsel. “Moshimoshi?” “Keiko?” Mendengar suara ibunya di ujung sana, Keiko secara otomatis langsung berbicara dalam bahasa Indonesia. “Halo, Ma!” Ia mengenakan sandal rumah dan mengempaskan diri ke sofa empuk, bersiap-siap mengobrol panjang-lebar dengan ibunya. Dua jam kemudian, ketika ia keluar dari kamar mandi setelah mencuci muka, bersiap-siap tidur, Keiko baru teringat kata-kata Kazuto tadi. “Matikan lampu?” gumamnya pada diri sendiri sambil berdiri di kamar tidurnya. Keiko berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu. “Tidak ada salahnya dicoba.” Ia berjalan ke sakelar lampu. Sebelah tangannya memegang dinding supaya ia tidak merasa tersesat dan tangan yang satu lagi menggapai sakelar lampu. Dengan sekali jentikan, lampu kamar tidurnya pun padam. Seketika itu juga Keiko mengerjap-ngerjapkan mata dan terkesiap. Langit-langit kamar tidurnya bertabur bintang! Bintang-bintang besar dan kecil memancarkan nyala kuning kehijauan yang samar. “Astaga,” gumamnya pelan. Perlahan-lahan tangannya terlepas dari dinding dan ia melangkah ke tengah-tengah kamar, masih tetap mendongak menatap langit-langit kamar tidurnya dengan takjub. “Bagaimana...? Astaga,” gumamnya sekali lagi. Kemudian ia menyadari foto yang dikirimkan Kazuto ke ponselnya adalah foto langit-langit kamarnya. Ternyata sementara mengawasi tukang listrik memperbaiki kabel, Kazuto melukis langit-langit kamar tidurnya menjadi langit bertabur bintang dengan cat khusus yang bisa menyala dalam gelap. Siapa yang menyangka laki-laki itu juga pandai melukis? Keiko teringat tulisan yang tertera di bawah foto yang dikirimkan Kazuto tadi siang: Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap? Keiko masih tercengang. Kemudian ia meraih ponsel dan menekan beberapa tombol. Setelah menunggu sesaat, hubungan tersambung. “Kazuto-san?” Ia mendongak menatap bintang-bintang yang menghiasi langit-langit kamarnya. “Kau apakah langit-langit kamarku?” Ia berhenti sejenak, lalu tersenyum. “Indah sekali. Terima kasih.”
Posted on: Mon, 09 Sep 2013 09:17:16 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015