MAUT !!! ( Yang punya Jiwa penakut Jangan Baca. Ngeri ! ) “Lusi, - TopicsExpress



          

MAUT !!! ( Yang punya Jiwa penakut Jangan Baca. Ngeri ! ) “Lusi, ayo sholat bareng!” Ucap Hasni, saudaraku. Aku pun mengangguk pelan sambil masih terus berkutat pada majalah yang sedang kubaca. “Iya. Duluan aja ya.” Ucapku malas. Hari ini aku memang sedang malas- malasnya. Bangun dari tiduranku saja tak mau. Apalagi sholat. Belum harus wudlu dulu. Ahh.. Belum lagi tubuhku lemas begini. Aku memanglupa sahur tadi pagi. Aku bangun kesiangan. Ya biasalah, semalam aku tak pergi terawihan. Aku pergi belanja. Sampai pukul sebelas malam, aku baru pulang dan langsung tidur. Dan sial sekali, tak ada yang membangunkanku sahur. Biarlah. Kuat- kuatkan saja. Ku masih membaca majalah denganmata terkantuk-kantu k. Aku benar-benar kekurangan tidur. Juga kekurangan makan. Ahh, lapar dan haus sekali aku. “Lusi, cepat bangun! Jangan tidur. Sholat dulu, nanti tidur. Cepet!” Titah Hasni tiba-tiba. Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju toilet. Niatku pergi wudlu. Ahh, dasar Hasni, dia terlalu disiplin dalam agama. Aku tak suka satu sifatnya ini. Kunyalakan keran air perlahan. Segerombolan air mulai keluar dari keran. Aku melihat betapa jernih dan segarnya air itu. Rasanya seperti bisa menyegarkan kembali dahagaku. Hatiku merasa seperti ingin meneguknya walau seteguk. Tenggorokan ini sudah hampir kehausan. Aku dehidrasi! Kulirik ke sekitar tempatku. Tak ada siapa- siapa. Bisikan syetan terus mendukungku untuk segera meminum air tersebut. Walau aku tahu tak ada syetan jin di sini, tapi sejatinya diriku adalah jin dari manusia. Kuteguk perlahan air itu, terasa segar sekali. Air dalam keran itu sudah benar-benar bisa mengisi kekosongan di tenggorokan ini. Rasanya aku seperti hidup sekali. Bayangkan saja, saat haus-hausnya berpuasa, aku dapat meneguk satu tegukan air jernih nan segar itu. Rasa hausku sudah tak ada lagi. Ini Segar! Aku selesai meneguk air itu. Segera kututup keran air cepat. Pandanganku liar menatap sekitar. Itu hanya tuk memastikan agar tak ada satu pun yang melihatku tadi. Perasaan lega menghampiriku ketika tak ada satu pun orang di sekitarku. Segera aku pun pergi ke kamarku. Kukunci kamarku rapat. Aku ingin tidur. Tak boleh ada satu pun orang yang menggangguku. Termasuk HASNI. — Hari ini aku tak terlambat bangun sahur. Mungkin karena kemarin akutidurnya pukul empat sore. Aku tak sama sekali sholat tarawih. Bahkan berbuka puasa pun tidak. Ahh, pantas saja perutku sangat lapar. Akupun bangun dan beranjak menuju dapur. Di sana ada Ibu sedang memasak. Aku pun melangkah menuju toilet untuk membersihkan wajah dan buang airkecil. Setelah selesai, ya aku pergi ke meja makan. Di meja makan, semua anggota keluargaku sudah ada. Nenek, Kakak, Adik, Ibu, Ayah, maupun Hasni. Mereka sudah siap untuk sahur. Aku pun duduk di samping Adik dengan seulas senyum pada mereka. Namun aneh, mereka malah memberiku cibiran. Aku pun menyondorkan piring ke arah Ibu. “Ibu, bawakan nasinya!” Ucapku manja. Karena memang, nasi kami ada di dekat Ibu. Ibu pun mengambilkan sekepal nasi untukku dengan sedikit keras. Seperti tak ikhlas. Tidak biasanya. Aku sedikit mencibir. Ketika aku akan mengambil laukku, paha ayam, malah diambil terlebih dahulu oleh Hasni. “Hasni, itu bagianku!” “Kau bisa memakannya yang lain. Itu sama ayam!” Bentaknya. Aku mengalah. Biarlah aku dapat dadanya. Aku pun hendak mengambil apel. Kebetulan apelnyatinggal satu lagi. “Hupp…” Tiba-tiba apel itu direbut Adik. “Adik, itu bagianku!” “Sudahlah! Kau ini sudah besar! Mengalah untuk yang lebih kecil!” Ucap Nenek so bijak. Lagi-lagi aku harus mengalah. Tak apalah. Semoga saja bisa menghapus dosa aku batal kemarin. Hihihhh… — Hawa siang ini begitu menyengat. Padahal hujan. Aneh, ya? Kurasakansebuah hembusan angin. Bukan angin sepoy. Melainkan angin hampa. Tak terasa sedikit pun ketenangan di hidupku hari ini. Apa mungkin karena aku batal kemarin,ya? Juga tak sholat. Juga malah membeli petasan dan mercon? Ahh, buat apa juga aku memikirkan yangseperti itu. Biar saja. Itu uangku. Itu diriku. Dari kejauhan, tiba-tiba kutangkap sebuah bayangan. Bayangan tiga orang yang tengah memakai jubah hitam. Semuanya jubah hitam. Mereka terlihat memandangku. Memandang dengan pandangan tajam. Bulu romaku tiba-tiba berdiri. Kurasakan getaran di tubuhku. Keringat dingin menghujam dan menghujani diriku. Aku sedikit bergidik melihat mereka semua. Sambil menatap kiri-kanan, aku masih tetap waspada keadaan sekitar. Aku pun perlahan mulai berdiri dan hendak menjauh dari tempat duduk ini. Aku merasa tak enak di pandang seperti itu. Aku pun beranjak menuju rumah. Ketika hendak masuk pintu, tiba-tiba tiga orang itu sudah ada didepanku. Satu sebelah kiri, satu sebelah kanan, dan satu lagi di depanku. YA! DI DEPANKU! Aku pun melihat mereka hendak menyentuhku. Segera aku berjalan mundur. “Apa yang akan kalian lakukan? Apa?!” Ucapku dengan jantung sangat berdebar. Ketiga makhluk yang tak aku kenali itu terus mengikutiku sampai akhirnya aku tertangkap. Mereka menyeretku keras. Mereka menyeretku entah ke mana. Aku terus meronta-ronta menta di lepaskan. “Kalian akan membawaku ke mana? Lepaskan aku! Lepaskan!” Ujarku sambil meronta. Mereka masih tetap diam dan menyeretku keras. Memang hanya dua yang menyeretku. Satunya lagi terus berjalan di depanku. “Ke mana aku! Aku tak mau! Tak mau!!!” Teriakku sambil mencoba melepaskan pegangan mereka sekeras mungkin. “Lepaskaaannn!” “DIAM!” Gertak seseorang yang berjalan di depan. Kedua orang aneh yang menyeretku pun melepaskan keras genggamanku. Seseorang yang ada di depan menatapku tajam lagi. “Apa yang akan kau lakukan padaku? Apa!” “Aku adalah malaikat pencabut nyawa. Hari ini aku akan mengambilmu atas Izin Tuhan- Ku.” “Apa maksudmu! Aku tak mau mati sekarang!” Tukasku cepat. Darahku seakan mendidih mendengar ucapannya. “Salah siapa? Kau tak menjalankan hidupmu dengan benar! Allah sudahmemberikan banyak waktu untukmu. Lantas, mengapa kau malah menyia-nyiakann ya? Kau malah tertawa-tawa. Kapan kau akan ingat terhadap Tuhan yang yang telah menciptakanmu? Kapan kau akan bersyukur akan nikmat Tuhan yang telah banyak terlimpah padamu? Kapan kau akan mendirikan sholat yang sudah menjadikan kewajibanmu? Kau bahkan tak pernah ingat kepada Tuhanmu sendiri. Hidupmu kau isi dengan hal-hal yang tak sama sekali berguna! Maka dari itu, untukapa kau hidup? Kau sudah pantas MATI! Kau sudah pantas disholatkan jika tak bisa mendirikan sholat! Tak ada manfaat sama sekali di hidupmu! Tak ada! Dan sekarang saatnya untuk mengatakan selamat tinggal pada surga duniamu!” Ucapnya lantang. Aku menelan ludah. Hatiku rasanya ingin mengucapkan istighfar. Bibirku rasanya ingin mengeluarkan kata-kata memohonampunan. Namun entah mengapa, aku merasa tak bisa. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjalku untuk mengatakan itu. Air mataku berlelehan di pipi. Rasa penyesalan mulai tumbuh di hatiku yang keras ini. Rasa sesal yang mendalam mulai hadir di jiwaku yang sudah kotor dan lusuh oleh dosa. Para malaikat pencabut nyawa itu pun menyeretku menuju pemenggal kepala. Aku sudah pasrah akan segala yang terjadi pada diriku. Walau aku merasa sangat berat sekali untuk melakukan semua ini. Ampuni aku Ya Allah. Aku sudah terkulai pasrah di atas papan pemenggalan. Hatiku terus berdzikir dan meminta ampunan. Air mataku masih terus berderai menyadari betapa bodohnya diriku. Aku sungguh bodoh. “Astaghfirullah , Astaghfirullah. Ampuni aku Ya Allah. Jika Kau hendak mengambil nyawa ini, ambil saja! Jika Kau hendak melempar tubuh ini ke neraka, lempar saja! Aku sudah pasrah akansegalanya. Tak mungkin aku bisa kembali dan memulai lagi kehidupan baru yang lebih baik. Jika Kau berkenan memberikanku kehidupan baru untukku lagi, aku berjanji. Aku bersumpah! Aku tak akan menyia-nyiakan waktu dan tak akan ingkar terhadap-Mu. Aku sungguh belum siap untuk melihat diriku dibaluti kain putih yang akan menjadi pakaian terakhirku. Aku tak sanggup. Aku mohon, ampuni aku Ya Allah.” Lirihku pasrah. Besi pemenggal kepala itu mulai turun perlahan. Kupejamkan mataku yang masih terus-terusan mengeluarkan air mata. Aku sudah pasrah jika besi tajam itu memutuskan leherku ini. Leher yang awalnya selalu kubukakan untuk kaum Adam. “Astaghfirullah ,” Mataku tiba-tiba terbuka. Terlihat ada semua keluargaku tengah menangisiku. Apa aku benar-benar sudah MATI? “Lusi, kau tak apa-apa?” Tanya Hasni cepat. Aku sedikit bingung menatap mereka. “Kau tadi pingsan ketika hendak pergi ke toilet. Jika kau tak kuat puasa, tak perlu puasa saja. Jadinya seperti ini. Kita semua khawatir. Uhh…” Tukas Kakak. Aku mengernyitkan dahi. Bukankahtadi aku hendak dibawa oleh malaikat-malaik at itu? Atau itu hanya mimpi belaka? Tapi mengapa begitu nyata? Atau itu sebuah mimpi penyadar? Penyadar untukku yang tak pernah ingat Tuhan? Ya Allah, Astaghfirullah. Aku sudah hampir lupa akan segala tentang-Mu. Aku sudah terlalu terlena dengan dunia ini. Aku sudah terlalu menyia-nyiakan waktu. Aku tak pernah berfikir bahwa hidup itu sangat singkat. Aku tak pernah berfikir bahwa maut itu akan selalumengikuti kita kapan pun itu. Aku tak pernah ingat. Jika saja diriku tak lalai, aku pasti tak akan mengalami hal mengerikan ini. Ini semua pasti untuk kebaikanku. Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah berkenan menyadarkan hamba-Mu yang lalai ini. Engkau telah membukakan pintu hidayah untukku. Ya Allah, aku berjanji. Aku tak akan pernah mengulangi kelalaianku lagi. Tak akan pernah mengulangi kebodohanku lagi. Tak akan. Walau pun sampai MAUT menjelang. - SEKIAN -
Posted on: Tue, 30 Jul 2013 00:44:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015