MHMS Chap.3 Sunyi… Tidak ada suara apapun ketika Uchiha - TopicsExpress



          

MHMS Chap.3 Sunyi… Tidak ada suara apapun ketika Uchiha Sakura kembali membuka matanya menyapa dunia. Wangi pengharum ruangan rasa jeruk adalah satu-satunya yang menyambut indera penciumannya. Pukul delapan pagi, Sakura terbangun di kamar resort-nya sama seperti hari kemarin. Dengan Sasuke yang masih setia mengusap ubun-ubun merah mudanya sejak semalaman suntuk. Sasuke-kun... wanita itu menoleh menghadapi wajah suaminya yang lesu. Sasuke berbaring menyamping menikmati gestur wajah lelap Sakura. Ia tersenyum kecil menyahuti panggilan merdu wanitanya. Selamat pagi, Matahariku... Terhenyak. Sakura bergeming sesaat mendengar sapaan pagi khas Sasuke yang sudah lama tak didengarnya. Kalau diingat-ingat... itu adalah kalimat andalan Sasuke saat mereka masih berpacaran dulu. Dasar aneh. Apa yang membuat lelaki ini mendadak bersikap manis padanya? Belaian lembutnya, sorot mata tenangnya, dan sekarang... sebuah kecupan penuh sayang dengan halusnya berlabuh di kening nyonya Uchiha tersebut. Sakura mengusap area wajah Sasuke yang dapat digapainya, ada yang janggal dari raut tampan itu. Mata kelamnya terlihat sembab nan lelah, sedikit pucat juga pada warna kulitnya. Dia pasti tidak tidur... Mencari tahu sendiri apa penyebabnya, Sakura langsung teringat pada kejadian semalam dimana Sasuke datang menyelamatkannya dari tangkapan musuh. Ia ingat persis bagaimana rasa takutnya akan kematian benar-benar memuncak saat itu, sebelum akhirnya menyaksikan sendiri betapa kalapnya sang suami begitu mengetahui siapa pembunuh ayahnya lima belas tahun silam. Lalu... setelah itu... Akh… Sakura memijati keningnya yang terasa berat. Setelah itu... bagian ingatan yang kembali meremuk hatinya sebagai seorang wanita. Sakura harus menahan air matanya lagi mengingat untaian rantai kejadian tersebut. Dielusnya perut yang semalam terasa nyeri bukan main itu. Sekarang semuanya sudah kembali normal. Ia tidak tahu apa kelanjutan dari kasus pendarahannya semalam. Sasuke-kun... apa aku... k-keguguran? tanyanya takut-takut. ….. Pria itu tak mau menjawab. Ia justru membawa Sakura untuk tenggelam dalam dekapan hangat seperti yang biasa dimintanya di setiap pagi. Pelukan itu begitu sarat akan perasaan cinta seorang suami, ditambah seberkas penyesalan yang bergerak menjalar di hati membuatnya semakin tidak ingin melepaskan Sakura. Samar-samar Sakura dapat mendengar Sasuke bergumam kata maaf dengan suara sangat rendah. Istri Uchiha Sasuke itu menggelengkan kepala, sama sekali bukan kata maaf yang diinginkannya. Tapi bagaimana nasib calon anak mereka yang naas itu. Ne... jawab aku, Sasuke-kun... apa aku keguguran? tanyanya lagi dengan suara kian melirih. Wanita ini sudah dapat menerka apa jawaban Sasuke yang terus berdiam diri itu. Satu persatu tetes air matanya mulai berlomba membasahi pipi. Sakura mengeratkan pelukan Sasuke seraya menangis sekeras mungkin. Kebahagiaannya menjadi seorang ibu sudah tergantikan oleh rasa kecewa yang tak terbendung lagi perihnya. Ia kecewa dengan dirinya, dengan suaminya, bahkan dengan kehidupan pernikahannya sendiri. Segalanya terlalu menyayat untuk dirasakan. Sasuke-kun... hiks, kenapa, Sasuke-kun...! Sasuke terus menenangkan getaran punggung istrinya dengan usapan lembut. Isakan Sakura yang semakin mengeras kian mendesak Sasuke pada satu sudut makna kata penyesalan. Uchiha bungsu itu kembali merasakan hujaman benda keras tak kasatmata dalam rongga dadanya. Ia benci mengakui ini, tapi yakinlah bahwa mentalnya kini pun tengah hancur berkeping-keping menanggung dilema kehidupan yang berat. Karena melihat Sakura menangis di hadapannya adalah hal yang paling dibencinya seumur hidup. Ironis. Uchiha Sasuke yang sudah mengenyam puluhan misi berbahaya dengan nyawa sebagai taruhannya, menyandang status agent profesional dalam divisinya, tak mengenal apapun itu definisi rasa takut pada musuh, nyatanya gagal besar dalam melindungi keluarganya sendiri. Ya... keluarga kecilnya yang baru saja berbentuk fondasi rapuh itu tak bisa ia pertahankan lebih lama dari satu malam. Semua angan-angannya untuk menjadi seorang ayah harus tersingkir dalam sekejap mata. Maaf... maafkan aku, Sakura... . . . . Naruto © Masashi Kishimoto My Honeymoon, My Mission A Naruto FanFiction by Asakura Ayaka AU/ OC/ Violence Scene/ Lemon . Chapter 3 : Fragile . . . . Kita bukan organisasi pembunuh, Agent Uchiha! PRAK! Sama seperti kemarin, Helina Ranovich datang dan kembali mengusik pagi mereka berdua. Kali ini wanita itu menghempas sebuah stop map berisi laporan misi yang telah dijalankan Sasuke. Bukan tanpa alasan juga wanita itu membentaknya, Sasuke jelas melakukan kesalahan fatal kemarin malam. Kita hanya ditugaskan untuk menangkap, bukan menghabisinya! Dimana akal sehatmu, hah?! cecarnya lagi. Sasuke hanya berdiam. Belum cukup menyelesaikan masalah dengan istrinya, kini datang satu wanita lagi yang menyeretnya ke dalam masalah baru. Pikiran Sasuke benar-benar terputar dalam kondisi yang pelik, dimana sebagian besar masih melayang pada kondisi Sakura yang kini sedang meringkuk dalam kamarnya. Sisanya ia gunakan untuk merenungi perbuatan gegabahnya dalam misi semalam. Memang salahnya, karena sudah menembak mati Hozuki Suigetsu. Momochi Zabuza juga tak lebih baik nasibnya. Tersangka pembunuh Uchiha Fugaku itu tengah sekarat kritis berkat siksaan fisik yang dihadiahkan Sasuke tadi malam. FBI tidak akan bisa menginterogasi jika tahanannya saja mengalami kerusakan pita suara. Kau harus datang ke sidang pertanggungjawaban di markas pusat minggu depan. ujar Helina. Aku tidak bisa. Sasuke spontan menolak. Apa maksudmu tidak bisa?! Helina menoleh tak percaya, oh... ya, istrimu lagi, eh? lanjutnya dengan menyunggingkan senyum sinis yang segera dibalas tatapan membunuh Sasuke. Keduanya tengah diliputi kabut emosi tebal saat ini. Tidak bisakah kau membedakan mana urusan yang lebih penting?! FBI sudah— AKU TIDAK PEDULI! Aku sudah benar-benar pusing dengan semua keadaan ini! Sasuke berteriak sekuat tenaga dalam ruangannya yang luas, ia mengatur napasnya yang memburu, mencoba meredam letupan emosi diri sendiri. Istriku... dia jauh lebih penting dari apapun. Jangan harap kau berhak mengatur urusan kami. Wanita berkebangsaan Rusia itu membuang napas kesal, berani sekali pria ini memakinya sarkastis. Memangnya dia ini siapa, eh? Dengar, Agent SS-1. Kau tidak memiliki satupun otoritas untuk membantah tim evaluator sepertiku. Aku bisa menahanmu jika kau sengaja tidak hadir dalam sidang evaluasi. Kau tidak sedang dalam posisi diizinkan membantah, sadarlah dengan siapa kau berhadapan sekarang! Helina meninggikan suaranya tanpa ragu, membuat pria di depannya kehabisan kata-kata dalam sekejap. Belum sempat membantah lagi, dua sosok yang sedang berdebat keras itu dikejutkan dengan suara pintu kamar yang terbuka pelan. Sakura...? Ada apa? Sasuke beranjak mendekat. Nona Helina. Saya mohon dengan sangat untuk tidak berteriak dalam ruangan kami. Karena ini bukan tempat Anda, saya minta Anda pergi sekarang juga. Sakura menegaskan suaranya tanpa menghiraukan Sasuke yang menatapnya kaget. Biar saya yang bicara dengan suami saya. Agent Uchiha pasti hadir dalam sidangnya nanti, Sakura! Apa yang k— —Anda tidak perlu khawatir. Sekarang pergilah. . . ##### . . Laki-laki harus bertanggung jawab. Setidaknya itulah inti perdebatan kecil Sakura pada Sasuke di pagi menjelang siang ini. Sakura sendiri yang meminta Sasuke untuk hadir dalam persidangan misinya di Wasington D.C nanti, yang mana artinya adalah wanita itu bersedia untuk ditinggalkan Sasuke sekali lagi dalam bulan madu sepuluh harinya. Jika dihitung dengan waktu, jarak Hawaii-Washington memang hanya dua jam bila ditempuh dengan pesawat. Namun hal itu tak juga meluruhkan kekhawatiran Sasuke akan kondisi psikis istrinya. Karena bagaimanapun Sakura baru saja mengalami pukulan besar dalam hidupnya. Tidak mungkin pria ini membiarkannya sendirian tanpa pengawasan. Bisa-bisa Sakura sudah lompat dari tebing karang menuju lautan saat dirinya kembali dari sidang. Oh ayolah... ini bukan cerita New Moon, Sasuke. Berjanjilah kau tidak akan melakukan hal yang macam-macam saat aku tidak ada. Sasuke menepis imajinasi negatif dalam kepalanya. Aku tidak apa-apa… aku akan menunggumu, seperti biasa. Sakura tersenyum getir mengatakan itu. Ya... memang sudah biasa dibuat menunggu. Merasa tersindir secara halus, Sasuke tak kuasa lagi menatap istrinya yang terus membuang ratapan sendu ke jendela kamar. Iris emerald itu nampak kosong tak berarti, entah apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. Sejak awal suaranya terdengar begitu serak dan dingin, sangat senada dengan raut lemas di wajah putih pucatnya. Matahari dalam dunia bungsu Uchiha itu meredup drastis laksana tertutup awan kelam. Kedua tangannya bergetar saat memeluk lututnya sendiri, terlintas dalam benak wanita itu untuk mengucap kata cerai pada suami yang begitu ia cinta segenap hati. Tidak pernah disangkanya... seperti inilah rasanya menikah. Begitu mematah arang dan menyiksa batinnya. Sasuke-kun... aku ingin bertanya sesuatu padamu. Boleh...? Katakan, Sakura menarik napasnya dalam-dalam mengumpulkan keberanian. Sejujurnya ia sangat gentar untuk menanyakan hal ini, tapi biarlah. Jawaban dari Sasuke berikutnya merupakan kunci kelanjutan dari keputusan besar yang akan dibuatnya setelah ini. Bisakah... hidup kita bahagia...? Hidup dengan normal dan menjadi orang tua yang dicintai anak-anaknya, ragu-ragu Sakura memberanikan diri untuk menatap manik obsidian Sasuke—lelaki itu balas memandangnya, selagi semuanya belum terlalu jauh, aku hanya ingin memastikan jika pilihanku selama ini tepat... atau justru salah besar. imbuh Sakura ambigu. Sasuke menautkan alisnya heran, apa maksudmu? Aku ingin sesekali menjadi manusia paling egois yang hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri. Tidak seperti Sasuke-kun, yang selalu menjalani tugas demi menyelamatkan nyawa orang lain di dunia ini. Bisakah aku tak peduli dengan semua itu? Perihal dunia, orang lain, keseimbangan antara kejahatan dan kebajikan dalam asas keadilan. Aku ingin mengabaikan semuanya. Aku hanya ingin merasakan bahagia... dalam hidupku sendiri. bibir Sakura mengukir senyum sekilas, sebelum akhirnya ekspresi penuh harap itu berubah kecut. Tapi Sasuke-kun pasti tak sejalan pikiran denganku, aku tahu. Karena suamiku... adalah seorang agen rahasia yang lebih mementingkan dunia luar dibanding urusannya sendiri. Bahkan menomorduakan istrinya yang tengah hamil. ….. Aku juga sudah meragukan cintamu. Jujur aku sangat kecewa padamu. Sakura tersenyum kecut. Cukup, Sakura. Bicaramu sudah terlalu— Aku tidak peduli, SAKURA! Apa aku salah?! sahut Sakura tajam, aku sudah menerima segala konsekuensinya. Menikah denganmu adalah keputusanku. Hidup denganmu adalah pilihanku. Tapi, pernahkah kau berpikir dalam cinta juga harus ada sebuah pengorbanan?! mendadak Sakura kembali menangis dalam teriakannya yang menantang Sasuke, kau bilang kau mencintaiku, tapi apa yang sudah kau korbankan untukku, Sasuke?! Kau hanya memaksaku untuk ikut masuk dalam duniamu yang keras, kau justru mengorbankan satu kebahagiaan terpenting kita! Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaanku selama ini?! Kenapa selalu saja aku yang harus mengalah pada keputusan sepihakmu! Aku benci hidup dalam peraturan pribadimu terus-terusan, aku muak dengan keegoisanmu yang tidak pernah berubah sedikitpun! Demi apapun, mati-matian Sasuke berusaha keras untuk tidak membalas istrinya yang tengah meradang hati. Dirinya terus membiarkan Sakura menampari batinnya dengan kata-kata menusuk. Air mata itu, keluhan itu, semuanya benar-benar murni berasal dari nurani istrinya yang rapuh. Sekejam itukah dirinya selama ini...? Sudut pandang tiap orang memang berbeda-beda, dan ini adalah kali pertama Sakura berani memprotesnya telak. Kadang cinta juga tak berarti harus memiliki, tak harus selalu bersama... benar kan, Sasuke-kun? Samar-samar Sakura melihat rahang Sasuke mulai mengeras menahan amarahnya yang terpupuk. Lelaki itu paham betul kemana inti pembicaraan istrinya akan berujung. Berpisah. Satu makna yang paling ditangkap Sasuke. Ia langsung mengambil langkah menghalau sinar matahari dari jendela membias wajah pilu Sakura. Diusapnya dagu wanita itu dengan ibu jari dan telunjuknya, kemudian mengangkatnya sedikit untuk menantang iris teduh itu dengan jeratan onyx pekatnya. Sekelumit rasa takut menggerogoti hati Sakura melihat tatapan mata suaminya yang begitu tajam mengintimidasi penuh, pria itu tidak sedang main-main. Kau ingat ini baik-baik, Uchiha Sakura. Melepasmu, adalah hal terakhir yang ingin kulakukan di dunia ini. Seperti apapun kau meminta, aku tidak akan menceraikanmu, tidak akan pernah… sekalipun jika kau berani mengkhianatiku. Deg! Tidak... mana mungkin aku... Kau ingin hidup bahagia? Kita akan mulai secepatnya. Aku akan melakukan apa yang kau minta. tanpa perlu menunggu reaksi lawannya lagi, Sasuke kembali menimpali kata-katanya sendiri lebih lanjut, Sebagai gantinya aku ingin kau melupakan kesedihanmu. Aku tahu saat ini kau sangat marah dan kecewa padaku. Aku mengerti perasaanmu. Tapi apa salahnya mencoba kembali tersenyum seperti biasa, makilah aku sepuasmu sampai kau lelah. Kalau masih belum cukup, kau boleh mengambil pistol dalam laci sana untuk membunuhku sekarang juga. Itu tidak akan sulit, karena aku juga tidak akan lari dari masalah. Manik giok Sakura lantas membelalak tak percaya atas kata-kata Sasuke yang diucapnya barusan. Tak ada keraguan tersirat dalam iris gulita itu. Sakura tahu bahwa lelakinya tengah bersungguh-sungguh menawarkan nyawa tanpa syarat. Emosinya yang semula menjulang tinggi perlahan runtuh tak berdaya membayangkan dirinya harus kehilangan sesuatu yang berharga lagi—cintanya. Sedikit banyak Sasuke telah berhasil menyadarkan jiwa Sakura yang sempat terombang-ambing sentimental. Kenapa... kau berkata seolah aku bisa hidup tanpamu. Kau tahu aku membutuhkanmu lebih dari apapun, Sasuke-kun... Sakura menyingkirkan jemari Sasuke dari dagunya dan tertunduk pasrah. Bagaimanapun ia hanyalah seorang wanita biasa yang masih membutuhkan sandaran hidup, tidak mungkin dirinya bisa bertahan tanpa Sasuke di sisinya. Bodoh jika lelaki itu justru menawarkan kematian di tangannya. Kalau begitu berhentilah membicarakan omong kosong yang tak ada gunanya. Sasuke turut merunduk mengejar arah pandang Sakura dan menghapus genangan air mata di sisi pipi pucat itu, ia mencoba tersenyum simpul pada wanitanya walau sakit. Belum ada seminggu kita menikah... tapi masalah yang kubuat sudah separah ini. Aku memang lelaki yang buruk. Aku tidak pantas menjadi seorang suami, apalagi ayah. Ia menertawakan dirinya sendiri. Sakura menengadah cepat dan menggeleng, tak mau pria ini terus menyalahkan dirinya sendiri. Jangan seperti ini, Sasuke-kun... hiks, aku janji akan tetap mencintai Sasuke-kun seburuk apapun itu! ujarnya manja dan meremuk tubuh suaminya dengan lingkaran tangan. Sekelebat bayangan ucapan sumpah pernikahan mereka melintas dan berhasil memberinya sedikit ketenangan diri. Maaf... ak-aku sudah bicara tidak-tidak padamu. Aku tidak akan mengulanginya. Sasuke-kun jangan mati, aku tidak mau sendirian, hiks... jangan tinggalkan aku seperti ini. Sasuke mengangguki permohonan susah payah Sakura dalam pelukannya. Setitik air mata pun turut hadir di pelupuk netra kelam pria itu. Rasanya cukup pedih sekaligus bahagia mendengar janji tulus istrinya di tengah kondisi demikian. Memang benar, tidak ada orang tua yang tidak mencintai anaknya, terutama ibu. Amarah Sakura jelas berasal dari naluri keibuan protektifnya terhadap si jabang bayi yang telah tiada. Mengungkapkan seluruh beban hati memang pasti menguras emosi, namun ini sudah lebih dari cukup untuk membuat keduanya kembali saling merengkuh kasih dari awal. Pertengkaran rumah tangga yang diakhiri tangis sesenggukan, merupakan hal yang tak pernah mereka bayangi sebelum berangkat ke Hawaii. Sasuke telah memetik pelajaran penting dari sini untuk tak mengundang lagi air mata suci istrinya. Beri aku satu kesempatan lagi, Sakura... . . ##### . . Siang berganti malam dan hari terus berlalu seiring membaiknya hubungan Sakura dengan Sasuke. Sedikit demi sedikit sepasang pengantin baru itu kembali mendapatkan mood-nya berkat usaha keras diri masing-masing di setiap waktu. Senyum dan tawa telah mengikis rasa sedih atas peristiwa kehilangan yang menimpa. Akhirnya sesuai niatan Sasuke, ia bisa menikmati bulan madunya dengan sempurna bersama Sakura. Tanpa misi, tanpa morning sickness, tanpa mual saat makan, dan pastinya lagi tanpa perlu tangisan. Meski tak dipungkiri Sasuke juga ingin bisa segera menyentuh istrinya di atas ranjang, ia lebih memilih untuk memulihkan psikis Sakura dulu sebelum meminta jatah fisik lelakinya. Beberapa kali dirinya berupaya untuk memanjakan sang istri dengan segenap tawaran yang dimiliki, tapi hasil yang didapat paling-paling hanya seulas senyum dari wanita itu, maksimalnya adalah sedikit tawa singkat. Tidak lebih. Hey, tersenyumlah. Kita akan foto di sini. Ini akan jadi kenangan berharga saat kita pulang. hasut Sasuke di depan air terjun yang kini menjadi background fotonya bersama Sakura. Kamera sudah on timer pada tripod, Sasuke sudah nyengir se-OOC mungkin, tapi ekspresi Sakura nampak masih iya-iya engga-engga saat jepretan kamera DSLR Sasuke menyambut. Hasilnya sudah bisa ditebak seperti apa. Sasuke yang tipikal perfeksionis dalam dunia fotografi itu akhirnya memutuskan untuk melakukan sesi foto ulang sampai mendapat gambar yang benar-benar memuaskan. Pun hal ini sukses membuat Sakura jengkel sendiri. Terang saja, kenangan pahit Sakura gagal menjadi ibu bukanlah sesuatu yang dapat ditutupi secara sempurna. Demi itu juga Sasuke rela menghabiskan waktu dan kesabaran hanya untuk menuruti segala macam permintaan Sakura, termasuk petualangan hariannya berwisata outbond di pulau Maui, serta bonus kejutan-kejutan kecil romantis lainnya yang tak pernah istrinya duga. Pagi ini, misalnya. Sakura sudah diajak snorkeling menyusuri indahnya alam bawah laut Hawaii oleh Sasuke. Sempat-sempatnya lelaki itu juga mengajaknya berciuman dalam beningnya air bersaksikan ikan-ikan kecil yang melintas dan warna-warni terumbu karang. Satu ciuman kilat yang manis, ditambah aksi berpelukan hangat serta seutas kata cinta yang menggetarkan hati keduanya. Aku mencintaimu… sangat. well, pikirkan sendiri siapa yang sudah mengatakan itu. Jangan lupakan soal pura-pura tenggelam juga, Sasuke melakukannya alih-alih mendapat napas buatan dari Sakura, yang pada akhirnya justru mendapat jitakan keras di kepala mencuatnya itu. Oh... how sweet you are. Sebenarnya modus juga, sih. Semua Sasuke lakukan hanya untuk memancing pikiran Sakura ke arah lain yang bisa membuatnya lupa akan tragedi lalu. Sekalian memberi kode pada wanita itu jika sebenarnya ia butuh sesuatu yang lebih-lebih dari sekedar ciuman. Tapi… yah, sepertinya Sakura masih tergolong polos untuk bisa menangkap pesan tersirat suaminya beberapa hari ini. . . Umm... Ak-Aku tidak bisa... tolak Sakura saat Sasuke memeluk tubuhnya dari belakang. Sasuke masih pantang menyerah, ia genggam dua tangan Sakura dengan tangan besarnya. Lalu membisiki arahan-arahan lanjutan diiringi hembusan nafas menggelitiknya yang seksi. Untuk sepersekian detik Sakura merasakan bulu romanya sedikit bergidik, sudah lama juga ia tak mendapat sensasi aneh begini dari suaminya yang… ehm—sangat menggoda. Kau bisa, sayang... cobalah. Seperti ini. Sasuke menginstruksi lembut. Sambil berwajah semu merah, Sakura nurut-nurut saja saat Sasuke membimbing tangannya untuk bergerak. Debaran jantung si tunggal Haruno tersebut makin tak wajar saja karenanya, jari-jari kurusnya sedikit gemetar kala memegang benda panjang dan keras dalam genggamannya. Iya, benar begitu... lebih kuat sedikit. tambah Sasuke padanya. B-Begini...? Hn... lebih ke atas lagi. Ah... maksudmu begini? Ck, ketinggian. Tidak akan kena bolanya. Eh? Hm, jangan berpikir aneh dulu. Yang mereka lakukan saat ini adalah kursus main golf a la Sasuke. Sakura masih saja stuck pada praktek mengayun stik golf berat yang sejak tadi terpegang. Ini sudah percobaan kedelapan belas kali dan semua ajaran Sasuke hasilnya nol besar. Tidak sekalipun Sakura berhasil memasukkan bola ke lubang yang ada di lapangan. Ini memalukan, pikir Sasuke. Lagi-lagi Sakura menggeram frustasi saat pukulan bolanya terlalu keras dan meleset jauh hingga masuk ke danau kecil-kecilan. Tuh, kan! Kubilang juga apa, aku tidak bisaaaa! Kau memang tidak becus mengajariku. Sudahlah ganti permainan saja! Sakura menggerutu sendiri dan membuang stiknya sembarang arah. Tidak diketahuinya jika saat ini Sasuke sedang mengumpat dalam hati. Seperti mengatainya sebodoh keledai yang tidak tahu terima kasih. Kini tiba saatnya pembalasan. Setelah harga diri Uchiha-nya terinjak-injak lantaran diejek pelatih tidak becus dua puluh tiga kali dalam sehari, Sasuke akhirnya menantang si pengejek untuk adu bermain tenis di lapangan kosong saja. Keterlaluan jika permainan semudah itupun masih harus diajari. Tenis?! Kau pikir aku tidak bisa? Ayo buktikan! seru Sakura percaya diri, melupakan fakta mutlak jika suaminya ini seorang dewa olahraga. Kau siap? Sengaja tidak ingin mengalah, Sasuke mengambil bagian menyerang pertama. Dengan soknya ia ber-show off ria menunjukkan kebolehannya dalam bermain tenis di lapangan. Di awal-awal set pertama Sakura memang bisa mengimbangi baik secara teknik maupun kecepatan, namun makin kesini semuanya jelas makin sulit. Sasuke benar-benar tak memberinya ampun. Biarpun nafas tercekat dan keringat mengucur basah, Sakura tak diberi kesempatan untuk melawan sedikitpun. Bahkan ada satu serangan Sasuke yang entah disengaja atau tidak malah mendarat keras di jidat lebar sang istri. AW! Sakit, Sasuke-kun! Tak meminta maaf pula, pria itu hanya mengucap Ups dan mengangkat bahunya berlagak polos. Cih, awas kau ya! Dasar *#$?+^%-&! Tak jarang Sakura berteriak-teriak menuntut keadilan bak seorang aktivis politik, atau lebih mirip seperti buruh yang sedang menuntut kenaikan gaji perusahaan yang hampir bangkrut. Pasalnya Sasuke terus saja menyerangnya dengan pukulan telak serasa tengah berkompetisi di turnamen Wimbledon, sukses membuat Sakura terlihat konyol di lapangan yang disaksikan belasan bule pengunjung resort. Tidak sedikit juga yang menertawakan kecupuan Sakura pagi ini. Payah. Segitu saja kalah. ejeknya langsung. Sakura asli sudah K.O berat sekaligus malu di ujung sana. Ini yang terakhir. Bersiaplah, Maria Sharapova. Sasuke memasang kuda-kuda servis mautnya sekali lagi. Sambil memantulkan bola tenis di tangan kirinya, lelaki berambut emo itu menyeringai dan sengaja membakar emosi istrinya lebih panas. Kalau bisa membuatku out, besok kau akan kuijinkan memakai bikini ke pantai. Deal? Nani?! Sakura refleks tertohok mendengarnya. Kyaaaaa ini kesempatan emas, ganbatte Sakura! inner-nya berteriak kegirangan. Setelah sekian lama diperintah memakai kemeja rapi layaknya orang hendak tes kerja di pantai, akhirnya tiba satu peluang besar yang mau tak mau harus membuatnya memeras otak. Kira-kira trik apa yang bisa mengalahkan suaminya ini? Hmmm… Belum sempat berpikir strategi perlawanan apa-apa, bola hijau kecil dari raket Sasuke sudah datang dan memantul cepat di lapangan. Sekuat tenaga Sakura balas memukul sambil menjeritkan kata andalannya—Shannarroooo!—yang sial oh sialnya terlalu kuat sampai-sampai Sasuke tak sempat menangkis, malah justru menghindar dan… PUK…! ….. Dasar bodoh. Kau yang out! HAH?! Sakura menganga lebar, kenapa malah jadi dirinya yang out? Bukannya tujuan awalnya adalah… T-Tidak mungkin! Sasuke-kun pasti curang, iya kan! Wanita bermahkota pink pucat itu melempar raketnya kesal ke arah net kala melihat Sasuke tersenyum-senyum menyebalkan. Sial, ini pasti memang hanya perangkap untuknya. Sasuke berjalan mendekati sambil memutar-ayunkan raket di tangannya. Satu telapaknya meraih ujung pundak Sakura untuk menariknya dalam sebuah rangkulan rapat. Ckck... sayang sekali. Padahal besok hari terakhir kita di sini sebelum pulang ke Tokyo. Aku kasihan padamu, Istriku. Aku tahu kau membawa banyak bikini untuk dipakai. ujarnya berpura-pura kecewa berat. Baik, Uchiha Sasuke memang tidak pernah kehabisan akal liciknya. Terutama dalam urusan mem-bully wanita satu ini. Dasar jahat! Kenapa kau selalu saja menyebalkan! Ugh! Sana pergi! Pulang saja sendiri ke Tokyo! Aku mau pakai bikini sekarang! Sakura melepas paksa rangkulan Sasuke dan menimpuki tubuh suaminya dengan bola tenis yang ada di lapangan dengan candaan. Bagai sudah tak peduli pada khalayak umum, sepasang Uchiha itu tak henti mengumbar kemesraan walau dengan cara aneh seperti ini. Beberapa sorot mata envy tertuju pasti ke arah mereka, Sakura tak mempedulikan itu. Yang jelas kini dirinya merasa bahagia dengan kehadiran Sasuke sebagai pembangkit mood-nya. Siang ini... aku akan berangkat ke Washington D.C. Kau tidak apa-apa kutinggal sendirian? pertanyaan Sasuke sejenak memudarkan senyum cerah istrinya yang semula merekah ruah. Sakura teringat jika hari ini adalah jadwal sidang evaluasi Sasuke di markas pusat FBI. ….. Dalam satu tarikan napas, ia mencoba menguatkan hati dan mengikhlaskan kepergian Sasuke demi penyelesaian tugasnya. Baiklah… jangan khawatir, aku sudah tidak apa-apa. tutur Sakura dengan senyum hangat, selesai sidang langsung pulang, ya? Jangan lama-lama perginya~ Sasuke mendenguskan tawa kecilnya, Sakura yang dulu manja sudah kembali, ternyata—tidak lagi sesensitif seperti saat hamil kemarin. Namun entah kenapa raut wajah Sasuke langsung berubah muram begitu mendengar kata sidang terlontar dari mulut Sakura. Tibalah saat-saat klimaks untuk menepati janjinya minggu lalu. Walau berat hati, Sasuke harus menjalani semuanya sesuai rencananya sendiri. Siap tidak siap… . . . To be Continued . . .
Posted on: Thu, 24 Oct 2013 13:54:45 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015