Manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri Al-Qiyamah: 14 Dengan - TopicsExpress



          

Manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri Al-Qiyamah: 14 Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku, Ishaq, penulis buku ini, diperintah Guruku untuk menceritakan kisah sebuah perjalanan. Berkat rahmat Allah, hanya aku saja dari kelompok pengembara ini yang berhasil kembali. Ali dan Rami telah tiada. Aku melihat mereka masuk ke dalam api. Dan Jasus, yang berhati suci, pun melompat ke dalam api. Sementara yang terjadi pada orang bijak Yahudi dan putrinya, atau Si Kapten, sama sekali aku tak tahu. Mereka tak mau pergi saat kuminta pergi. Tetapi aku yakin pada satu hal: Jin jahat itu masih ada. Baalzeboul—Si Raja Jin. Akan Kami perlihatkan pada mereka tanda-tanda Kami pada segenap lengkung langit dan diri mereka sendiri Fushshilat: 53 Ketika fajar merekah di hamparan pasir, kumbang-kumbang menyeruak dari dalam gurun, bergegas merayap ke permukaan untuk mendoa. Binatang-binatang itu berjalan berbaris di sepanjang punggung bukit pasir, menghadapkan wajah ke matahari, lalu menundukkan muka, seakan bersujud penuh khusyuknya. Mereka mengangkat kaki belakangnya dan menyambut urapan hangat cahaya matahari. Lalu dikumpulkannya embun pagi yang menempel di tubuh mereka yang pejal, yang entah bagaimana muncul dari dinginnya malam di gurun. Tetes-tetes air bening pun menggelincir turun ke mulut-mulut yang telah menanti. Air mataku menetes tatkala menyaksikan pemandangan itu. Air mata yang terakhir. Aku berpikir, inilah pantulan dari Yang Maha Pengasih. Inilah jawaban dari doa setiap pagi. Ia mencurahkan rezeki bagi kehidupan. Andai saja hatiku memantulkan ketaatan para kumbang.... Andai saja keyakinan yang tak terbatas itulah yang melimpahi hatiku, bukan degup kecemasan yang melekat pada manusia, keraguan dan hasratku.... Bahkan kebingungan yang tertanggungkan akan merasuki nalar ketika pikiran berusaha matimatian memahami dirinya sendiri. Demikianlah, bukannya tanpa alasan jika Guruku memerintahku untuk menceritakan kisah ini. Ia mengetahui hasrat dan keraguanku. Bahkan sejak awal, mata hatinya yang sudah tak terhijab tahu dengan jelas keraguan dan hasratku ini. Aku berjalan lagi semalaman tanpa air, membelok ke barat, lalu ke utara melintasi erg di Tenere. Aku berharap bisa memotong jalan menuju Agadez. Kekuatanku hampir punah. Tiga jam sebelum cahaya pertama fajar merekah, tubuhku telah ambruk di sebelah bukit pasir kecil berbentuk bulan sabit. Kugali pasir untuk menutupi badanku agar memperoleh sedikit kehangatan untuk menahan gamparan angin dingin. Angin telah mereda. Bintang-gemintang di angkasa tak bersanding dengan rembulan. Anehnya, aku tak merasa takut, walau mungkin besok aku sudah tak mampu bertahan hidup lagi. Pikiranku begitu tenang dan jernih, melayang jauh menggapai bintang. Putus asa dan kesedihan yang selama ini meluapiku kini hampir lenyap, menghilang bersama surutnya cairan tubuh yang terus berkurang selama pengembaraan. Aku tak bisa menjelaskannya. Barangkali aku dikaruniai sedikit sakinah, kedamaian hati yang hanya bisa datang melalui kepasrahan kepada Allah. Atau mungkin aku sudah gila karena terpapar panas matahari dan kehausan. Saat menutup mata, aku tak merasa takut pada kalajengking, ular, atau hewan buas macam apa pun. Bahkan aku tak merasa jeri sedikit pun pada kematian. Pikiranku kosong dan muram, mengalir tak tentu arah hingga fajar mengembang. Saat semburat cahaya matahari membangunkanku, aku sempat berpikir bahwa diriku masih bermimpi. Aku, yang baru setengah tersadar, tak mengetahui ketika tiba-tiba muncul kumbang-kumbang gurun di sekitarku, bergerombol seperti noktah hitam raksasa di depan mataku yang terheran-heran. Tak pernah kulihat pemandangan seperti itu. Seketika aku berpikir, mereka akan menyantap tubuhku. Cepat-cepat aku keluar dari timbunan pasir dan merangkak menjauh. Tapi aku terkejut ketika sadar bahwa kawanan kumbang itu tak peduli sama sekali pada keberadaanku. Mereka bergegas naik ke bukit pasir membentuk barisan panjang mengejar matahari, seolah-olah dipanggil oleh muazin gaib untuk segera bersembahyang. Air mataku jatuh saat menyaksikan tetes-tetes air berguliran dari punggung mereka, seperti menjawab doadoanya sendiri. Lalu aku berusaha menahan nyeri di lututku untuk bersujud menyentuhkan dahi di atas pasir. Tak lama kemudian, sekelompok orang dari suku Tuareg mendatangiku saat aku masih bersembahyang. Mereka bergerak cepat menuju ke arahku. Mereka datang seperti hantu, mengendarai kudanya dengan pelan. Mereka memicingkan mata, menatapku penuh curiga. Mereka bertanya-tanya apakah mereka sedang bertemu dengan orang gila atau sesosok setan. Orang-orang itu mengikuti jejak di pasir ke arah barat, dengan dipandu oleh sebuah bintang yang mereka sebut Hajuj. Sepertinya mereka merasa menemukan sosok yang sangat aneh pada pagi ini. Aku menggeleng saat mereka memberikan isyarat padaku. Tapi aku tetap diam ketika mereka berbicara satu sama lain. Aku hanya sedikit paham kata-kata Tamashek, bahasa yang mereka pakai. Tetapi, aku tak tahu kenapa mereka membawaku ke kemah mereka meski aku memakai gandura. Kemudian aku diberi air dalam kantong kulit saat kami menunggu kedatangan modougou mereka. Kuucapkan puji syukur kepada Yang Mahakuasa dalam setiap tegukan. Dan di setiap tarikan napas aku bersyukur atas pertolongan-Nya. Pelan-pelan aku merasa kondisiku membaik. Selang beberapa saat, sang modougou datang dengan mengendarai kuda. Ia membawa pedang panjang bersarung merah. Ia mengenakan turban hitam yang menutup seluruh wajah kecuali mata. Melalui mata itu aku tahu, ia adalah Afarnou. Aku dan Afarnou pernah bertemu sebelumnya. “Wah!� serunya, tanpa turun dari kuda. “Kita ketemu lagi. Mana yang lainnya?� Ia berbicara menggunakan bahasa Prancis dan Arab dengan buruk. Namun, saat aku tak menjawab pertanyaannya, ia turun dari kudanya dan menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa menduga-duga apa yang sedang ditatapnya. Kemudian ia menjelaskan dengan pelan, seolah-olah berbicara kepada orang tolol, bahwa unta-untanya penuh dengan muatan garam dari tambang di Tisemt dan ia sedang menuju Damergu di Nigeria untuk menukarkan garam dengan rempah-rempah. Tapi, dengan sedikit menggerutu ia mau menyediakan satu anak buahnya dan dua untanya untuk mengantarku menemui ayahnya, Amenukal dari para bangsawan. Seekor unta disiapkan. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, aku dan pemanduku berjalan melintasi Tenere. Dalam dua hari kami sampai di Agadez. Di sini aku dijamu oleh istri Amenukal dan seorang perempuan tua di ruangan kecil di rumahnya yang sederhana. Yang kutahu, Amenukal ini punya kekuasaan atas tiga suku Kel Ahaggar dalam federasi suku yang longgar. Ia juga seorang Amrar atau “Ketua Genderang� sukunya sendiri. Itu adalah simbol terbaik dari otoritas ketua di kalangan suku yang menyukai perang seperti suku Tuareg ini. Tapi itu dulu. Masa penjajahan Prancis sudah mengubah hampir segalanya. Dengan hati-hati dan cermat, Amenukal menjaga kerajaan kecilnya seolah-olah kerajaan itu jubah kehormatannya. Ia lelaki tua yang amat ramah dan sopan. Dan ia selalu bersikap tenang dan berwibawa sebagai kepala rumah tangga. Kini ia berdiri di sisiku dan menatapku sedih. Tapi ia tak bertanya tentang keadaanku. Ia mengambil catatan yang kubawa tanpa berucap sepatah kata pun. Mungkin, baginya, aku bukan orang bodoh pertama yang ditemukan tersesat di tengah gurun. Atau mungkin ia mengharapkan imbalan. Tapi yang jelas, ia orang baik dan tuan rumah yang murah hati. Sepertinya ia menganut pepatah Arab “Lakukan kebaikan, dan jangan mengungkit- ungkitnya, dan yakinlah bahwa kebaikanmu akan mendapatkan balasan.� Akan tetapi, dua perempuan itu duduk setiap hari di depan pintu kamarku. Mereka berbisik penuh gelisah. Mereka bertanya-tanya apakah aku menjadi bodoh karena tergampar matahari gurun, atau karena terkena sihir; apakah aku sedang kebingungan atau terkena kutukan. Yah, mungkin itulah yang mereka pikirkan. Kini, pena, tinta, dan kertas putih ada di hadapanku. Tubuhku telah pulih, tapi mulutku tetap membisu. Aku tak pernah bicara sejak berlari ke gurun pasir. Aku tak pernah bicara kepada siapa pun kecuali pada diriku sendiri, penulis kisah ini. Kata-kata tak berguna, kecuali untuk menceritakan semua kisah secara lengkap. Syukurlah, Allah memberiku ingatan yang jernih.
Posted on: Wed, 17 Jul 2013 01:13:14 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015