REMEMBER WHEN #11 NO COPAS NO BULLY FREYA POV How much - TopicsExpress



          

REMEMBER WHEN #11 NO COPAS NO BULLY FREYA POV How much do you still want me to love you? -Toto, Lea- *** Aku berjalan keluar dari rumah Anggia dengan langkah gontai. Masih terkejut dengan pengakuan Anggia barusan. Dia dan Adrian…. Tadi Anggia kelihatan begitu hancur. Dia diam saja di depan kanvasnya, memainkan kuas, mencelupkannya terus-menerus pada warna hitam pekat, tapi tidak kunjung menyapukannya pada lukisan yang baru separuh selesai itu. Seakan-akan, kapan saja dia akan mencoreng garis hitam besar di atas kanvas dan merusakkan semuanya. Awalnya, aku tahu dia sama-sekali tidak percaya padaku. Tapi, lama-kelamaan, dia melunak. Dan, aku sudah berjanji untuk tidak pernah merebut Adrian dari sisinya karena hanya itu yang dapat mempertahankan hubungan mereka. Sejak awal, Adrian memang bukan untukku. Sebuah mobil meluncur mulus ke arah perumahan Anggia, lalu berhenti di dekatku. Aku mendongak, agak terkejut, dan melihat Adrian keluar dari mobil. Wajahnya cemas. “Lo abis dari rumah Anggia? Gimana dia?” Benci. Aku benci melihat Adrian, sangat benci. Anggia sudah menyerahkan semuanya, tapi itu saja tampaknya masih belum cukup untuk Adrian. “Udah mendingan. Lebih baik lo jenguk dan minta maaf ke Anggia, bahkan kalo lo harus berlutut dan memohon sekali pun, lo tetap harus minta maaf.” Adrian mengulurkan sebelah tangan untuk menyentuhku, tetapi kutepis kasar. Dia terperangah. “Lo kenapa? Kok marah?” “Gue salah menilai lo.” Cowok tidak bertanggung jawab. Pengecut. Mementingkan diri sendiri. “Setelah apa yang udah lo lakukan sama Anggia, sekarang lo pergi nggak bertanggung jawab. Pergi minta maaf dan jangan pernah sakitin sahabat gue lagi.” Muka Adrian pias seketika. “Anggia bilang..?” Aku mengusap air mata yang tanpa sadar telah mengalir bebas. “Semua ini sebuah kesalahan, dan gue akan anggap nggak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Gue nggak bisa nyakitin Anggia dan Moses lagi….” Wajah Moses terbayang di benakku. Dia tidak boleh sampai tahu. “Freya.” Adrian memegang tanganku dan enggan melepaskannya walau berusaha kutepis. “Itu yang kamu mau?” Wajahnya tampak sedih, memandangku seakan untuk terakhir kalinya. Pertanyaan itu mengandung begitu banyak arti. Kami berdua sama-sama tahu jawabannya, tetapi kali ini Adrian memberikanku kesempatan terakhir untuk menjawabnya, untuk mengambil keputusan, untuk memulai atau mengakhiri. Aku mengangguk. Menepati janji kepada Anggia, ingin melindunginya, ingin setia kepada Moses, ingin menghargai diri sendiri, dan ingin memberikan kesempatan kedua pada Adrian untuk memperbaiki apa yang telah berubah. “Kita akhiri saja sekarang.” Adrian memandangku lama, sampai akhirnya dia mengangguk, menerima keputusanku. “Oke. Gue akan anggap… nggak ada apa-apa di antara kita berdua.” Dia mengulurkan sebelah tangan untuk menjabat tanganku. “Deal? Gue akan kembali ke Anggia dan menyayangi dia dengan sepenuh hati. Gue nggak tahu apa gue bisa, tapi gue akan coba. Dan lo.. lo tetap jalanin hubungan dengan Moses, seperti nggak terjadi apa-apa. Itu kan yang lo mau?” Benar. Tapi, kenapa rasanya begini sakit? Tanganku gemetar menyambut jabatan tangannya. Dengan sekali tarik, ia merengkuh tubuhku ke pelukannya, lalu berbisik di telingaku, “Terakhir kali gue peluk lo seperti ini, Freya. Selamanya mungkin nggak akan bisa lagi.” Setetes air matanya menyentuh leherku, dan aku mengucapkan selamat tinggal dalam hati. *** MOSES POV Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela mobilku. Entah kenapa seharian ini hujan terus, padahal tadi sempat berhenti sebentar. Meeting OSIS telah selesai, ketua baru sudah dipilih, dan aku mengundurkan diri dengan lega. Sebentar lagi, persiapan ujian nasional dimulai, dan murid-murid kelas tiga harus bekerja ekstra keras demi kelulusan. Aku terpaksa mengantar portofolio OSIS milik Anggia ke rumahnya karena hari ini dia bolos meeting, padahal posisinya sebagai sekretaris sangat penting. Aku juga harus menyelesaikan beberapa laporan yang belum diselesaikannya. Freya bilang, Anggia tidak enak badan, jadi pulang lebih awal. Kompleks perumahan Anggia sangat asri. Rumahnya yang paling besar di kompleks itu. Walau aku hanya pernah ke sana sekali, aku masih ingat interiornya yang mewah. Kebunnya luas dengan garasi berisi empat mobil mewah yang berjejer rapi, pos satpam kecil di tepi pekarangan, dan pagar tinggi besar yang melindungi rumah besar di dalamnya. Anggia memang lebih beruntung dibanding kebanyakan orang, tapi kurasa bahkan materi tidak bisa menjamin kebahagiaannya karena saat ini dia mulai kehilangan hal-hal yang lebih penting. Aku melihat sedan hitam terparkir sembarangan di pinggir jalan, tak jauh dari rumah Anggia. Seperti mobil Adrian karena sedan itu sudah dimodifikasi bagian depan dan belakangnya. Aku memperlambat laju mobil, sedikit merunduk untuk melihat plat mobilnya. Kaca jendelaku buram oleh air hujan. Dua sosok tubuh sedang berpelukan. Itu Adrian, kan? Tidak salah lagi, pasti Adrian, dengan punggungnya yang lebar dan tubuh yang tinggi. Orang itu juga mengenakan seragam sekolah kami. Gadis di pelukannya tidak terlalu jelas kelihatan, mungkin Anggia. Apa mereka bertengkar di jalan, ya? Aku hampir berhenti, tapi tidak jadi. Mereka pasti butuh privasi. Lebih baik langsung kutitipkan portofolio ini di rumah Anggia; tidak ada bedanya. Aku hampir melaju melewati mereka ketika Adrian melepaskan pelukannya. Gadis yang bersamanya itu mendongak. Heh. Itu… Freya? Rambut pendek, tubuh kurus tinggi….. Klakson mobil di belakangku membuatku kaget. Aku segera memarkir di depan mobil Adrian, lalu turun. Mereka berdua terlonjak kaget oleh bantingan pintu mobilku. Lebih terkejut lagi, pasti, karena melihatku. Mataku menangkap tangan Freya, masih digenggam Adrian. “Ada apa?” Suaraku serak, meminta penjelasan. Apa yang sedang mereka lakukan? Tadi pelukan di jalan, sekarang berpegangan tangan. Dan, kenapa Freya seperti habis menangis? Wajah Freya pucat pasi, demikian juga dengan Adrian. Sorot matanya sendu, seperti yang tidak pernah kulihat sebelumnya. “Ada apa?” Aku mengulangi pertanyaan itu, pada waktu yang bersamaan sangat takut untuk mendengar jawabannya. “Nggak apa-apa, cuma nggak enak badan….” Freya menukas cepat-cepat, gugup. “Aku mau pulang, Mos. Adrian mau ke rumah Anggia.” “Tadi…” kalian sedang apa? “Nggak ada apa-apa.” Freya mengulang, tapi aku tetap berdiri di sana dengan perasaan tak enak, menunggu penjelasan. Aku yakin ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan. Untuk sesaat, mataku bertemu pandang dengan Adrian. Kami saling menatap, lama, sampai akhirnya dia berkata, lirih. “Moses, gue sayang Freya.” Langkah Freya terhenti. Sama seperti detak jantungku. Berhenti satu detik. Mungkinkah aku salah dengar? Atau Adrian cuma bercanda? Jika bercanda, kenapa raut wajahnya begitu serius? *** FREYA POV Di sepetak tanah kosong, tak jauh dari kediaman Anggia, dengan hujan gerimis yang turun, kami bertiga berdiri lunglai dengan perasaan yang kacau. Entah bagaimana Moses tiba-tiba kebetulan melewati kompleks perumahan ini dengan mobilnya. Melihat aku dan Adrian berpelukan. Klise, memang, tapi itulah yang terjadi. Ketidaksengajaan menjadi kebetulan; mungkin itu takdir yang disengaja karena kami memang sudah tidak diperbolehkan bohong lagi. Moses masih berdiri memandang kami berdua, meminta penjelasan. Tangannya terkepal, air hujan membasahi kaca matanya, tapi dia tetap berdiri di sana, menunggu. Aku harus bilang apa? “Gue sayang Freya.” Adrian akhirnya mengakui. Aku sangat menyayangkan keputusannya berkata jujur. Aku membencinya karena telah mengakui segalanya, yang berarti melukai perasaan kami semua. Aku membenci diriku sendiri karena tak sanggup berkata jujur, dan membiarkan Adrian yang selalu melakukannya untukku. Aku tidak suka rasa sakit ini, menusuk-nusuk hatiku dan tidak mau pergi. “Gue nggak tahu sejak kapan, tapi gue sayang Freya. Anggia udah tahu yang sebenarnya. Gue salah sama kalian berdua. Maaf.” Rahang Moses mengeras, wajahnya menegang. “Kalian pacaran di belakang gue dan Anggia?” “Bukan begitu!” Aku menjawab cepat. Bukan begitu kejadiannya. Moses salah paham. “Jadi?” Moses tertawa getir, matanya menatap kami tajam, sekali lagi meminta kejujuran. “Kalau nggak pacaran, terus diam-diam salinng sayang? Diam-diam jalan bareng? Atau bahkan udah ciuman?” Tidak ada yang menjawab. Semua sudah terungkap. “Oh, jadi begitu.” Moses menyindir, suaranya semakin parau. “Kapan dong mau cerita-cerita?” Bukan maksudku untuk menutupi kesalahan dari Moses, tetapi saat itu aku merasakan keinginan yang amat sangat untuk melindunginya. Aku tidak ingin hubungannya dengan Adrian berantakan hanya karena kesalahan dua orang egois. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku tahu sebenarnya aku hanya takut dia membenciku. Aku takut dia mengetahui seperti apa aku yang sebenarnya. “Mungkin gue cuma kalian anggap orang tolol. Kalau tadi nggak kepergok, mungkin besok-besok udah pacaran di belakang gue dan Anggia. Mungkin selamanya nggak akan ada yang tahu, kalau kalian pintar menyembunyikannya. Iya, kan?” “Bukan begitu, Mos.” Adrian berusaha menjelaskan. “Loe kan sahabat gue….” “Gue nggak butuh sahabat macam lo.” Moses menyahut tenang, lalu menarikku ke dalam mobil, membanting pintunya keras, dan duduk di balik kemudi. Mesinnya dinyalakan, lalu mobil melaju cepat keluar dari kompleks perumahan itu. Bayangan Adrian masih terlihat dari kaca spion, makin lama makin samar, dan hilang begitu mobil berbelok. *** ADRIAN POV Tangan gue berhenti di gagang pintu kamar Anggia. Mama Anggia tadi menatap gue dalam-dalam lalu mengangguk, seakan udah tahu apa yang terjadi. Gue ingin melanjutkan apa yang diinginkan Freya, seperti tadi dia bilang ke gue, bahwa semua ini harus berakhir. Gue ingin tanya balik ke Freya, apa yang berakhir? Selama ini, bahkan nggak ada hubungan apa pun yang berhasil kita mulai. Tapi, gue diam saja, nggak kepingin ada air mata lagi. Gue harus melanjutkan hidup, kembali seperti sebelum gue merusakkannya. Dan, Moses. Freya mungkin akan membenci gue karena udah membeberkan seluruh rahasia kita. Namun, di satu sisi… gue merasa berutang sama Moses. Gue merasa bersalah. Dia harus tahu yang sebenarnya, walau artinya gue akan memperumit kekacauan ini. Tadi dia menatap gue dengan tajam, menunjukkan secara gamblang semua dosa-dosa yang udah gue lakukan. Seolah ingin menuduh, gue udah menghancurkan hidup Anggia, hidup Freya, hidupnya, dan gue masih meminta lebih. Anggia duduk diam di depan kanvas, mengenakan kaus putih hasil lukisan gue. Waktuanniversary pertama, kami masing-masih melukis di atas sehelai kaus putih sebagai kado untuk satu sama lain. Lukisannya indah—wajah gue digambarnya dengan begitu sempurna. Sementara karya gue acak-acakan, bentuk yang menyerupai seorang gadis dengan gaun merah dan senyuman lebar, tapi Anggia bilang itu lukisan terindah yang pernah dia lihat. Kini dia memakai kaus itu lagi, kali ini dengan muka habis menangis. “Anggia.” Dia menoleh, lalu tersenyum. Dia sedang menangis, tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Nggi, gue harus gimana? Gue menghampiri dia dan memeluknya erat. “Maaf ya, Anggia. Cuma kamu yang seharusnya ada di sini… sekarang, besok, dan sampai kapan pun. Janji kita begitu, kan?” Ya, janji itu. Gue pernah berjanji begitu. Dia diam saja, tapi gue merasakan anggukan kepalanya. Kita akhiri semuanya di sini, bahkan untuk hal yang belum dimulai sekali pun. Biarlah Anggia menganggap semuanya sudah selesai, bahwa sebenarnya memang tidak ada yang perlu dia risaukan. Bersambung… ^_^ Follow: @Kintannn14 @syaviraNazmi @CerbungKeren
Posted on: Wed, 30 Oct 2013 12:12:40 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015