halaman 5 botak. Maka kau pun digolongkan barang tua. Kalau - TopicsExpress



          

halaman 5 botak. Maka kau pun digolongkan barang tua. Kalau barang antik, masih lumayan. Ada harganya. Mungkin disenangi oma-oma pengumpul barang antik. Tapi, kalau rongsokan? Wah, wah, minta ampun." "Jadi, bagaimana harus kubuat?" "Nah, kembali ke soal gadis yang bernama Irawati itu. Mumpung dia bilang sedang tertarik pada kau, ya, jadikanlah dia kekasihmu." "Kalau hanya untuk keamanan saja?" "Ya, kapan-kapan cari yang lain." "Artinya, aku harus mengalami kekonyolan yang sama?" "Jangan lihat tindakannya menipu kau. Lihat saja tindakan kau yang memanfaatkan dia. Aman. Tenteram. Senang. Itu akan membahagiakan jiwa." Tody menggeleng-geleng. "Kukira kau bisa memberi advis yang ilmiah berdasarkan ilmu psikologimu," keluhnya. "Yah, itu berdasarkan ilmu." "Ilmu playboy!" "Kau mau mencari cinta yang sejati, sekali nemplok langsung pada kau? Wah, itu payah. Kalau kau ngotot, akhirnya kau jadi pastor. Daripada begitu, lebih baik sekarang kau masuk seminari. Belum terlambat. Orang tuamu di Flores sana akan senang sekali." Tody mengeluh. Anton mengipas-ngipaskan buku ke lehernya. Hawa di warung itu semakin pengap. "Oke, bayarlah. Kita omong-omong di bawah pohon cemara itu," kata Anton. Lalu dia mendahului keluar. Cukup lama Widuri membiarkan ruangan itu hening. Cuma suara mesin tik dari ruangan sebelah terdengar. Di sudut ruangan, duduk Irawati. Dia pun dibalut senyap. Matahari mencorong di langit. Kemudian Widuri merasa bosan membaca. Pori-pori kulit menganga dalam sungkupan hawa siang yang terik. Widuri mengangkat kepala, dan tersenyum kepada Irawati yang menatapnya. "Panas ya?" kata Widuri. Irawati mengangguk. "Konstruksi bangunan ini memang kurang baik. Angin tidak bebas bertiup dari luar." Di kejauhan, pucuk cemara bergoyang diterpa angin. Menimbulkan imaji sejuk. "Mari, kita keluar," kata Widuri kemudian. Irawati mengikutinya. Kedua gadis itu berendengan di sepanjang jalan di kampus. Cemara menderaikan daunnya. Seperti sajak Chairil Anwar. Rambut Widuri yang tergerai hingga bahu berberaian dalam hembusan angin dari selatan. Jalan yang mereka susuri memanjang ke depan. Matahari menimpakan sari-sari panasnya ke aspal yang tak terlindung pepohonan. Uap panas menari-nari di permukaan aspal. "Kau disuruh apa sama Mas Tody." Tiba-tiba Widuri bertanya membuat Irawati gelagapan. "Eh, tidak, tidak apa-apa," jawabnya kemudian. Dan, keduanya diam lagi. Celepak sepatu masing-masing berdesir-desir di pasir. Mereka berjalan dari kelindungan pohon yang satu ke kelindungan pohon yang lain. Gedung Induk Universitas Gadjah Mada megah dalam balutan cat putihnya. Langit biru dan awan mengapas putih. Jantung Kampus Gadjah Mada itu dari kejauhan terlihat anggun. Teriakan-teriakan senior yang membentak cama-cami semayup dibawa angin. Widuri menatap ke arah teriakan-teriakan itu, sedang Irawati melangkah dengan kepala tertunduk. "Kau sering sakit, Dik Ira?" "Saya? Ah, tidak. Kenapa?" "Kenapa kau gampang pingsan?" "Saya pun tak tahu. Cuma, saya kepingin pingsan kalau hati saya jengkel." "Waktu Mapram dulu, saya pun pernah pingsan. Tapi, memang karena badan saya lemah. Dulu saya sakit-sakitan. Dan, penakut. Saya takut pada semua senior." "Kabarnya Mapram dulu lebih berat?" "Yah, lebih berat. Dulu tak pernah pulang di bawah jam dua belas malam. Bahkan sampai jam satu, jam dua. Apel pagi jam lima. Siang terbakar panas, malam kedinginan. Betul-betul sengsara. Tapi, yah, bisa juga dilalui. Solidaritas antarteman sangat tebal. Mereka, para cama, akan mengantar teman-teman putri pulang. Kadang-kadang ada juga Kakak Senior yang mengantar." Langkah mereka tetap beraturan. Irawati memperhatikan seekor burung yang menyambarnyambar pucuk pohon cemara. "Dik Ira dengan siapa biasa pulang?" Irawati gelagapan lagi. Burung yang diperhatikannya tadi membubung tinggi ke angkasa. Tinggal titik hitam di langit. "Dengan teman," katanya pelahan sekali. "Teman se-Mapram?" "Ya, eh...." Widuri meliriknya. Dan, dia melihat kecanggungan di wajah Irawati. Sementara itu, Irawati sendiri sedang berpikir, kenapa harus takut? Kenapa harus ragu-ragu? "Dengan Mas Tody," katanya tuntas, dan melirik Widuri. Akan halnya Widuri, gadis ini hanya menatap kerikil di jalanan. Pacarnyakah lelaki itu? Pacarnyakah? Kalau bukan, pikir Irawati, kenapa dia mendadak menatap ke tanah? Kenapa dia tak berani membalas tatapanku? "Rumah kalian berdekatan?" tanya Widuri. "Tidak," jawab Irawati. "Ooo," kata Widuri pelahan. Maka Widuri - mahasiswa ekonomi tingkat tiga itu - menapaki jalan dengan membisu. Cemara tak bosan-bosannya bergoyang. Gerumbul semak di pinggir jalan tetap berbunga cantik walau tak terpelihara. Rumput-rumput ada yang berbunga kecil-kecil sebesar pentol korek api, berwarna putih dan ungu. Seekor kumbang menggeremet di bunga liar itu. "Haus?" kata Widuri. "Ya," kata Irawati. "Mari kita ke kafetaria sana." Mereka melintasi jalan setapak yang dihampiri kerikil dan pecahan genteng. Batu yang terinjak berbunyi berderik-derik. Jalan berkerikil itu melintang dalam ujud perempatan. Dan, suara dari samping, "Hai, Ira!" Anton dan Tody. "Hai, Wiwik!" tambah Anton. "Dari mana, Mas Anton?" tanya Widuri. Anton menunjuk warung di luar kampus. Tody bertatapan dengan Irawati. Dan, ah, ah, ah! Memang lain. Mata gadis itu tersipu-sipu, pikir Tody. Kemudian dia berabh memandang Widuri. Cepat sekali Widuri meloncatkan pandangan ke tempat lain. "Kami mau minum," kata Widuri. "Ikut?" Anton menggeleng. Dia lantas menepuk-nepuk perutnya. Widuri mengangkat bahu, lalu menarik tangan Irawati. Dan, sebelum melangkah, Irawati melontarkan pandang lagi, membuat Tody menelan ludah yang agak tersekat. Berjalan beberapa langkah, Tody menoleh lagi. Lalu menoleh kepada Anton sebab terdengar Anton tertawa kecil. Kedua gadis itu lenyap di pintu kafetaria. Anton tertawa lagi. Lebih keras dari sebelumnya. "Ngetawain apa?" Tody dongkol. "Ngetawain cinta!" "Hah, gila!" Mereka kembali melangkah. Ujung sepatu sandal Anton menendang-nendang kerikil sehingga beberapa butir kerikil bertemperasan ke rerumputan di pinggir jalan. "Kelihatannya mereka akrab," kata Anton. Tody tak menimpali. "Widuri kesepian," lanjut Anton. "Oh, ya? Kenapa tak kaupacari?" "Mana dia mau?" "Kenapa tidak?" "Karena dia tahu aku sudah punya pacar." "Kan ada gadis-gadis yang bangga sebab bisa merebut pacar gadis lain." "Tapi, dia bukan tipe itu." "Bah! Sejauh mana sudah kaukenal dia?" "Berdasarkan analisa, Bung." "Ah, analisamu sering ngawur." "Eh, jangan meremehkan. Sudah berapa orang yang terganggu jiwanya berhasil kusembuhkan." "Iya, menghadapi orang senewen kau memang bisa. Tapi, yang waras tunggu dulu." "Lebih mudah menghadapi orang normal daripada yang mengalami gangguan jiwa." "Tapi, kau tak bisa menyembuhkan dirimu sendiri." "Bajingan!" "Ya, kau pun perlu menyembuhkan diri sendiri. Kenapa kau tak pernah puas pacaran?" "Siapa bilang tak pernah puas? �Kan aku sudah stop untuk yang sekarang. Setelah dia, tidak akan pindah lagi. Dia betul bakal jadi ibu anak-anakku." "Betul nih?" "Tunggu saja tanggal mainnya." "Wah, hebat." "Ya, memang hebat." Anton tertawa mengakak. "Jadi, kita tak perlu melihat cewek cantik di Fakultas Sastra itu?" "Kenapa tidak?" kata Anton cepat. "Katamu tak bakal pindah lagi?" "Tukar pacar memang tidak. Tapi, melihat-lihat �kan boleh saja? Setiap keindahan, di mana pun tempatnya, harus dinikmati. Ibarat melihat lukisan, aku senang lukisan Rusli. Tapi, itu �kan tidak menutup kemungkinan untuk melihat pameran Nashar, Zaini, atau Affandi. Nah, mari kita lihat cewek yang seperti bintang film Prancis itu." "Pacarmu tidak bakal cemburu?" "Wah! Ini bukan ngecap. Tapi, dia memang orang yang paling sempurna. Dia memahamiku dan mempercayaiku. Itulah sebabnya aku tak akan mencari yang lain sampai kapan pun. Sebab, aku tak akan bisa mendapat gadis yang melebihi dia." Mereka melangkah lebih bergegas. Tetapi, baru kira-kira sepuluh langkah, Anton memperlambat langkahnya. "Eh, omong-omong soal Widuri lagi. Berdasarkan analisaku, dia mencintai kau, Tody." Tody berhenti, dan katanya, "Antooon, Anton. Tiap gadis mencintaiku. Aduh, aku bisa bunuh diri nanti." "Ini sungguh-sungguh. Soalnya, waktu kita rapat pembentukan panitia Mapram ini tempo hari, waktu kau dipilih jadi ketua, dua bulan yang lalu ya....?" "Hm." "Sehabis rapat malam itu, kami, aku dan Widuri, pulang bersama." "Wow! Kaucium dia?" "Ah, diam dulu! Sepanjang jalan, dia banyak sekali menanyakan kau." "Seberapa banyak? Berikan angka-angka statistik. Jangan mengada-ada." "Hampir sembilan puluh dua persen percakapan mengenai kau." "Apa saja yang kalian bicarakan?" "Dia yang bertanya. Aku cuma berfungsi menjawab kayak komputer." "Apa yang ditanyakannya?" "Apakah kau sudah punya pacar...." "Hah! Tidak mungkin!" "Kenapa?" "Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis Jawa seterus terang itu. Tak mungkin se-blak-blak-an itu." "Ya, memang bukan pertanyaan langsung sepersis kalimat itu. Dari pembicaraan hilir-mudik sepanjang jalan itu, maksudnya kutangkap, itulah kira-kira." "Lalu, apa jawabmu?" "Kubilang, kau tak punya pacar. Belum punya pacar." "Terus?" "Dia diam." "Terus?" "Kucubit tangannya." "Terus?" Tody tambah antusias. "Kutanya dia, apakah dia mau jadi pacarmu." "Terus?" "Mau?" desakku. "Terus?" "Ah, mungkin dia sudah ada yang punya," katanya." "Terus?" Tody lebih bersemangat. "Terus, terus, terus becak kami masuk lobang di dekat rumahnya, lalu tamat." "Ah, brengsek!" keluh Tody sembari menghembuskan napas jengkel. "Ini sungguh-sungguh, Tody." "Bagaimana bisa membedakan imajinasimu dengan fakta-fakta? Kau sudah ketularan pasienpasienmu!" "Kalau tak percaya, apa boleh buat?" "Andainya betul, kenapa baru sekarang kauceritakan?" "�Kan baru sekarang kita ketemu sejak rapat itu? �Kan aku riset ke luar daerah selama ini? Lalu sibuk di biro konsultasi itu. Bagaimana bisa menceritakannya?" "Ah, kau memang pikun!" "Kau pun, ketemu-ketemu terus mengajukan persoalan!" Anton bersiul-siul. Lagu Blowing in The Wind baru sepotong, dia memutus dengan siulan yang panjang ke arah seorang gadis yang mereka papasi. Tody mengangguk menyalami gadis itu. "Gila kau! Itu asisten di fakultasku," kata Tody dengan suara tersekap. "Oh, ya? Lumayan juga pinggulnya." "Jangan kurang ajar kau!" "�Kan di tingkatmu tidak ada asistensi-asistensian?" "Walaupun begitu, dia asisten di fakultasku!" "Ho, aku juga asisten di fakultasku. Malah kalau perlu, dia kujadikan pasienku." "Ah," kata Tody. Mereka kembali melangkah. "Nah, ternyata ada dua gadis mencintai kau. Widuri dan Irawati," kata Anton. "Itu semua dugaan-dugaanmu." "Selain itu, mungkin masih ada gadis lain. Siapa tahu? Ya, kita harus punya kepercayaan pada diri sendiri. Setiap gadis mungkin saja mencintai kita. Yang jadi soal cuma kesempatan. Moment! kita harus menciptakan moment yang tepat." Tody membisu, menekuri tanah yang akan dipijaknya. Anton meliriknya, mengawasi tubuh lampai yang berjalan diam-diam itu. Meneliti rambut Tody yang tersisir rapi. Rambut yang hitam, dan - paling tidak - sekali dalam dua puluh hari dipangkas. Sempat pula Anton menatap baju tetoron Tody yang rapi dan dimasukkan ke celananya yang berwarna gelap itu. Sepatunya yang mengkilat itu, pikir Anton, setiap pagi minimal memerlukan waktu dua puluh menit untuk mempersiapkan itu semua. Anton tersenyum seraya memandang kulit sepatu sandalnya. Lalu dia menendang kerikil lagi. Dan, keduanya tiba di jalan beraspal yang membelah kampus. "Jangan terlalu ragu-ragu. Punyailah keberanian," kata Anton. "Pilih satu di antara kedua gadis itu." "Ah, kau membuat aku bingung," kata Tody. "Kenapa harus bingung?" "Urusan dengan cami itu saja sudah memusingkan kepala. Kau tambah lagi dengan soal Widuri. Itu membuat aku canggung menghadapinya. Padahal kami harus sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan di kampus ini." "Untuk sementara, urus dulu cami itu. Sedikit agresiflah. Dan, andainya kau jatuh cinta, jangan cinta tanpa reserve. Kalau dia banyak tingkah, kau tidak terlalu kecewa." Tody menggeleng-geleng. "Tak sanggup?" kata Anton. Tody membisu. "Jadi, masih mau bercinta kayak Nabi-Nabi?" Tody tetap memperhatikan batu-batu di jalan. "Kalau kau mau bercinta kayak Nabi-Nabi, kau harus baca lebih teliti kitab-kitab suci. Perempuan kayak apa yang bisa merebut hati Nabi-Nabi, dan perempuan kayak apa yang menjadi istri mereka. Setahuku, dalam kitab suci tak ada disebut-sebut wanita yang jadi nyonya Nabi karena keistimewaan dirinya. Oh, ya, ada. Nabi Ibrahim. Dia punya istri dua orang, dan keduanya tak banyak cingcong. Nah, kau bisa meniru jejak Nabi Ibrahim." "Uf, kau tambah sinting!" keluh Tody. "Itu hanya sekadar advis. Boleh diturut, boleh tidak. " Tody berdecak jengkel. "Kau tak pernah serius," katanya. "Kau kelewat serius," kata Anton. "Hidup ini singkat, Anton. Kalau tidak serius, bagaimana jadinya?" "Karena hidup ini singkatlah makanya kita harus menikmatinya dengan humor. Kau tak tahu kenapa kau harus lahir, dan kapan kau mati. Jangka hidup kita sama sekali tak terduga. Kita datang dari misteri, dan akan kembali ke alam misteri yang tak seorang pun mengetahuinya bagaimana keadaan di situ. Lalu, apakah selama jangka waktu yang tak bisa diduga lamanya ini kita harus berkerut kening terus-menerus? Alangkah sia-sianya hidup." Tody diam-diam mencerna ucapan itu. "Hei, jangan termenung!" kata Anton. "Termenung sambil berjalan itu betul-betul buruk untuk peradaban." Tody membisu. Mereka berjalan ke selatan. Angin berdesah di gerumbul semak di pinggir jalan. Rambut Anton berkibaran. "Kau ada persoalan, cepat datang ke tempatku. Cuma, tunggu sampai aku berada lagi di kota ini. Soalnya, besok aku ke luar daerah lagi, melanjutkan riset tempo hari. Selama aku tak di sini, kau harus easy going. Paham?" Tanpa sadar Tody mengangguk. "Tak peduli apa motif cami itu. Kalau dia bilang menyukai kau, sukai pula dia. Jangan pikir-pikir terlalu dalam kenapa dia menyukai kau. Apakah karena kau ketua, karena kau hampir dokterandus, karena segala macam, jangan pedulikan. Pokoknya bercinta. Kalau dia cuma isengiseng atau mempermainkan kau, kau pun harus siap menganggap pengalaman itu sebagai keisengan pula. Itu namanya bercinta dengan reserve. Paham?" Seperti robot, Tody mengangguk. Cemara Sepi DI SUDUT yang gelap, Gedung Gadjah Mada, Widuri tegak diam-diam. Cama-cami sudah bersiap-siap untuk pulang. Tinggal apel malam. Lampu-lampu di kantor panitia menyala terang. Anggota panitia masih banyak yang bekerja. Lalu, dari pintu, keluar Tody. Di sudut yang gelap itu, mata Widuri tak berkedip. Kemudian keluar pula Irawati. Dia tersenyum. Dari kejauhan, Widuri melihat senyum itu samar-samar. Maka dia menghela napas dalam-dalam sepenuh dada. Keduanya, Tody dan Irawati, meninggalkan kantor itu. Lalu Widuri pun meninggalkan sudutnya yang gelap. Dia berjalan pelahan ke kantor panitia. Tak ada bulan di langit. Makin kelam. Pohon cemara yang tegak hanyalah berupa bayangan kehitaman, bayangan yang menuding bintang-bintang. Tody berjalan membisu dengan tangan di saku celana. Langkah Irawati berayun di sampingnya. Gadis itu melirik lelaki berpakaian necis yang berjalan di sampingnya. Lalu dia membandingkan dengan pakaiannya yang lusuh. Pakaian untuk Mapram. Andainya bukan sedang Mapram, dia bisa melihatku dalam pakaian apik, pikir Irawati. Dan, dia ingat fashion baru di Majalah Femina. Dan, dia ingat pula bagaimana teman-temannya selalu menertawakan lelaki-lelaki yang terlalu necis. Lelaki abad pertengahan, kata mereka. Pemuda-pemuda modern lebih suka pakaian yang sedikit acak-acakan, tetapi tetap mengikuti mode. Jalan memanjang di depan Tody dan Irawati. "Kok diam saja sih?" kata gadis itu. "Hm?" gumam Tody dan mencabut tangannya dari saku. Irawati mengayun-ayunkan tasnya. Topi Mapramnya yang berbentuk kerucut didekap di dadanya. Atribut-atribut Mapram lainnya ada di dalam tasnya. "Tinggal dua hari lagi," katanya. "Lalu mulai kuliah," kata Tody. "Bagaimana biar bisa naik tingkat tiap tahun ya?" "Belajar." "Bagaimana cara belajar?" "Belajar ya belajar." Gadis itu tertawa halus. Tody mendongkol. Merasa diejek. "Baca saja buku �Bagaimana Belajar Efisien�!" katanya. "Bagaimana caranya mempelajari buku itu?" Tody menghembuskan napasnya keras-keras. Jengkel. Merasa dipermainkan. Memang gadis itu sengaja mempermainkannya. Terbukti, dia tersenyum-senyum. "Kita naik becak saja," kata Tody. "Tapi, tadi sudah janji mau jalan," kata gadis itu. "Sekarang naik becak," kata Tody tandas. "Nggak mau, ah!" "Kalau begitu, kau pulang sendiri." "Alaaa, Mas Tody. Begitu saja marah." "Siapa marah?" "Ooo, nggak marah to?" Dan, gadis itu memegang tangan Tody. Dan, lelaki itu mengherani keagresifan itu. Belum pernah dia menemukan gadis seberani ini. Belum pernah. Lebih-lebih gadis yang berasal dari lingkungan Keluarga Jawa. Maka Tody semakin bertanya-tanya. Gadis macam apa sebenarnya yang berjalan merendenginya ini! Jari-jari gadis itu halus dan hangat. Lunak, tetapi mencekam. Lalu Tody membalasnya. Dan, keduanya terus berjalan. Dingin merambat dari malam yang kian tua. Angin yang bertiup, giris mengenai kulit. Tetapi, telapak tangan keduanya tetap hangat. Dan, semakin hangat. Dering bel semayup. Mereka melintasi Bioskop Royal, yang memajang poster film silat. Nama Wang Yu tertulis besar, berhadapan dengan poster film dengan nama peran utama Chen Chen. "Mas Tody suka film silat?" tanya gadis itu. "Suka." "Apa sih bagusnya?" "Tak tahu. Pokoknya suka." "Lha iya, tapi �kan ada sebabnya. Ceritanya, aksinya, atau apa...." "Ah, entah!" Tody berdecak. "Selain film silat?" tanya gadis itu lagi, mengusik. "Koboi." "Kok senang?" "Senang melihat pemandangan-pemandangan padang rumput. Itu mengingatkan pada daerahku." "Di mana?" "Nusa Tenggara." "O, jauh." Tody diam. Sepatunya berdetuk-detuk di aspal. Lampu-lampu jalan bersinar redup. Tiga tiang listrik mereka lalui dengan membisu. Alangkah kakunya lelaki ini, pikir Irawati. Alangkah angkernya. Tapi, masakan tak bisa ditaklukkan? Alangkah agresifnya gadis ini, pikir Tody. Bagaimana latar belakang kehidupannya sehingga sikapnya sebebas ini? Apakah dia semacam gadis yang pernah diceritakan Anton? Gadis yang bisa ditemui di depan bioskop lalu diajak nonton dan minum-minum di restoran, diantar pulang, kemudian dicium di bawah kerindangan pohon di depan rumahnya? Semacam gadis itukah dia ini? Mereka saling menaksir-naksir. Berbincang-bincang, tetapi masing-masing dengan dirinya sendiri. Lelaki ini, kata hati Irawati, barangkali tipe anak sekolahan. Yang dunianya cuma di balik dinding sekolah. Yang gemetar bila mencium seorang gadis. Cuma, sekarang telapak tangannya hangat. Lalu Irawati mempererat cekalan jarinya. Tody merasa jarinya diremas. Dia melirik. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahunya. Rambutnya beberapa helai lepas dari kucirnya dan menyenggol-nyenggol leher Tody. Geli. Tody menatap sekilas.... berkeliling. Lengang. Maka dia membiarkan kepala gadis itu tersandar di situ. Adapun Irawati, selesai meremas jari Tody tadi lantas mengendorkannya. Dia mengira lelaki itu akan melepaskan pegangan tangannya, lalu memindahkan tangan itu ke bahunya. Dan, Irawati bersiap-siap merangkul pinggang lelaki itu. Tetapi, itu semua tidak terjadi. Tidak terjadi. Tidak terjadi. Dan, mereka terus berjalan. "Sehabis Mapram ini Mas Tody harus datang ke rumah, ya?" Tody cuma menggumam. "Mau?" kata gadis itu sembari menggeser kepalanya sehingga wajahnya menghadap wajah Tody. Begitu dekat. Sampai terasa tiupan udara dari hidung gadis itu oleh Tody. Tody mengangguk. "Betul?" Suara gadis itu mengajuk. "Ya." "Janji?" Lebih mengajuk lagi. "Ya." Betul-betul anak sekolahan, pikir Irawati. Andainya dia berpengalaman dengan gadis-gadis, dia tentunya akan melihat bahwa ketika "Janji?" itu diucapkan mereka berada di bawah keremangan rindangnya pohon mahoni. Di situ, seharusnya dia berkata, "Ini janji." Dan, mencium. Tetapi, itu tak terjadi. Tak terjadi. Tak terjadi. LONGDRESS-kah namanya? Dan, pakaian itu membuat Irawati bagaikan dewi yang melangkah hati-hati menginjak bumi. Pakaian itu berwarna putih. Lunak-mengkilat. Tiap kali gerakan, walau bagaimanapun halusnya, menguar keharuman dari tubuh pamakainya. Keharuman yang menyejukkan. Sepanjang jalan yang dilintasi becak, Tody menikmati keajaiban itu. Menikmati keharuman yang mengambang serta kelunakan kulit gadis itu manakala mereka bersentuhan lengan. Eyeshadow membuat mata gadis itu tambah redup mempesona. Tanpa itu pun sebenarnya alisnya yang lancip dan bulu matanya yang lentik telah menjadi mata itu menawan. Mereka ke Malam Inaugurasi. Sementara tangannya ditindih tangan gadis itu, Tody melayangkan pikirannya ke rumah gadis itu. Pada ibu gadis itu. Seorang perempuan berkulit kuning, halus, dan bersih. Matanya lunak dan senyumnya lembut. Suaranya juga lunak. Dalam bayangan Tody, perempuan tua itu belum pernah marah seumur hidupnya. Betapa beda dengan gadis ini. Maka Tody kian bertanya, bagaimana mungkin dari rahim seorang ibu yang selembut itu muncul gadis sebinal Irawati? Perempuan tua itu setidaknya akan mewariskan sedikit kelembutan kepada anak gadisnya ini. Bukan kebinalan. Tetapi, gadis ini sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sifat ibunya. Secara fisik, dia memang lembut, sekarang. Dengan pakaian putihnya yang panjang menutup kaki, lengan telanjang mulus, dia nampak setulus Malaikat. Gerak-
Posted on: Mon, 16 Sep 2013 06:49:57 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015