عليكم بالحزن فإنه مصباح القلوب - TopicsExpress



          

عليكم بالحزن فإنه مصباح القلوب أجيعوا أنفسكم وأظمئوها Alaikum bil huzni, fainnahu mishbaahul quluub. Ajiiuu anfusakum wa azhmiuuhaa. Aku wasiatkan kalian: (terbiasalah) dengan duka, karena itu lentera bagi hatimu. Laparkan dirimu, buat ia haus senantiasa. (Rasulullah Saw, Nahjul Fashahah 666). Kemarin, waktu almarhumah bibi saya dishalatkan, paman saya sebagai wakil keluarga berkata: almarhumah diuji Tuhan dengan kesabaran. Saat kita dicoba dengan kesedihan, sebetulnya Tuhan sedang mengabsen kita. Begitu kata paman saya. Dalam hadis Nabi Saw di atas, Nabi mewasiatkan kesedihan. Bahwa ia adalah lentera kehidupan. Tapi sedih yang bagaimanakah? Laparkan dirimu dan buat ia haus senantiasa. Lapar dan haus pada apakah? Kalau anak saya menangis, saya selalu berkata: menangislah nak, it is good to cry. But, think it over, is it worth crying for? [menangislah Nak, menangis itu baik. Tapi pikirkanlah, apakah yang kamu tangisi itu memberi sesuatu yang bermanfaat?] Apa itu kesedihan? Apa itu lapar untuk diri? Apa itu hausnya juga. Apa kira-kira maksud Baginda Nabi Saw: terbiasalah dengan kesedihan. Lapar dan hauskan jiwamu? Air mata tidak selalu untuk kesedihan. Tangisan pun bisa untuk kebahagiaan. Ketulusan tangisan itu yang akan menerangi jiwa, lentera bagi hati. Bila datang saat-saat seperti itu, nikmati. Berteriaklah dalam batin sekeras-kerasnya. Lepaskan semua beban, pikiran, ganjalan dan keterikatan. Embrace and be one with the whole universe. Kesedihan terjadi manakala batin terikat pada sesuatu. Bisa ekspektasi, penyesalan, pengandaian dan sebagainya. Sedih karena kenyataan tak sesuai harapan. Sedih karena sesal akan satu perbuatan. Sedih karena andai yang tak kesampaian. Setiap sesal, ganjalan dan harapan semua akan dituntaskan sebelum kematian. Karena kasih sayangNya yang luas, Tuhan tidak ingin kita meninggalkan dunia dengan membawa sesal itu, dengan menyimpan ganjalan itu, dengan memendam harapan itu. Semua akan berkelebat di saat sekarat. Semua akan hadir di saat maut menghampiri. Semua akan diselesaikan saat tiba pelepasan. Ibarat seorang berdiri di halte bus, lalu bus itu datang menjemput kita. Satu kaki kita di dalam bus, satu kaki masih di halte. Atau keduanya sudah menjejak bus, tapi tangan masih menggenggam erat tiang halte itu. Bus itu kematian, halte itu dunia. Genggaman kita itu keterikatan. Waktu pergi sudah tiba, tapi kita tak mau berangkat juga. Waktu berlalu sudah datang, tapi kita tak sudi melepaskan. Semua kesedihan itu menunjukkan pada kita, ke mana seharusnya kita ikatkan diri kita. Itulah lentera jiwa. Setiap kali kita bersedih, lihat apa yang hilang dalam diri. Setiap kali kita bersedih, simak harapan apa yang tak terpenuhi. Setiap kali kita bersedih, tanyakan ikatan apa yang menghantui. Di antara sumber kesedihan terbesar kata Baginda Nabi Saw adalah keterikatan pada dunia, kecintaan pada dunia, keinginan pada harta benda, melihat apa yang ada pada orang lain dan membandingkannya pada kita. Karena itu, lepaskan keterikatan itu. Kosongkan diri kita. Lapar dan hauskan jiwa kita. Jangan lihat orang lain, tapi lihat diri sendiri. Jangan sibuk dengan kekurangan orang, tapi teliti aib diri. Jangan terpengaruh oleh apa yang ada pada orang lain, tapi lihat jauh ke dalam batin. Setelah itu, kesedihan batin bercampur kebahagiaan. Lalu hadir lagi kesedihan berikutnya: kesedihan perpisahan. Kesedihan ini karena kita terlepas dari Dia (atau mereka) yang seharusnya kita terikat. Kita merdeka dari hal yang selayaknya kita menghamba. Kita terbebas dari dia (atau mereka) yang sepantasnya kita menjadi budak. Setelah itu, ada kesedihan kecintaan. Inilah tangisan teladan suci untuk peristiwa-peristiwa seperti Asyura, syahadah dan sebagainya. Tangisan cinta. Kesedihan cinta. Pada tahap ini, batin sudah tak terikat apa pun juga. Semua kesedihan, penderitaan, kesulitan akan tampak indah. Karena lentera itu memenuhi hati dan menyelimutinya (consumes our hearts). Ketika Sayyidah Zainab ditanya tentang apa yang terjadi pada saudaranya, ia berkata: maa raaytu illaa jamiilan. Aku tidak melihat (semuanya itu) kecuali keindahan. Tangisan cinta. Kesedihan cinta. Sedih karena terikat, sedih karena tidak terikat, dan sedih (karena) cinta... Sedih yang manakah kita? Di manakah kita sekarang? Apa yang membuat kita berduka? Adakah keterikatan pada segala hal berbau dunia? Lepaskan segalanya. Biarkan lapar dan haus jiwa kita. Biar ia menangis dan sedih karena tak terikat pada yang seharusnya menawan kita. Jadikan duka itu senantiasa lentera. Di mana pun kita, bersyukurlah. Karena yang tak sedih sama sekali, alamat hilang lentera jiwa. Ikuti lentera itu, jangan sampai ia padam. Bukan cinta yang menyelimuti tapi dendam. Inilah yang akan membuat lentera itu temaram... Semoga sampai pada tangisan cinta, kesedihan cinta, ketika cahaya itu di mana-mana, memenuhi segala, mengisi setiap relung, setiap aliran darah dan aorta. Sebagaimama sabda Sang Sayyidil Awshiya: di antara ciri orang yang bertakwa, wujuuhuhum mabsuthah wa quluubuhum makhzuunah, berwajah ceria, berhati duka. Ada juga yang menyebutkan huznud daim sebagai cirinya, berduka senantiasa. Barangkali untuk itu, Sang Manusia mulia bersabda: terbiasalah dengan duka karena ia lentera jiwa. Get accustomed to it. Embrace it with all your love. Elevate yourself to the sorrowest of all sorrow. Di ujung sana, duka itu berbuah cinta. Di ujung sana, tangisan itu bahagia. Di ujung sana airmata itu sukacita. Maa raaytu illa jamiilan. [Miftah F. Rakhmat , Jum’at, 1 November 2013]
Posted on: Mon, 04 Nov 2013 07:14:02 +0000

Trending Topics



or-Tom-Hiddleston-GQ-Readers’-Best-Dressed-Man-topic-492259030869477">Vote for Tom Hiddleston! GQ Readers’ Best-Dressed Man
FEEL GOOD STORY: Peyton Edwards & I were back in the dairy isle at

Recently Viewed Topics




© 2015